Belajar Menulis dari Shafak Hanım



Syarat wajib menjadi seorang penulis adalah banyak membaca. Ketika pikiran kita di "input" banyak bacaan-bacaan, maka proses menulis tidak lagi menjadi hal yang sulit. Kata-kata akan mengalir dengan sendirinya.

Pada dasarnya kata-kata yang kita keluarkan dalam bentuk tulisan itu adalah bagian dari tabungan kita. Kita telah menabungnya terlebih dahu, dengan demikian mereka bisa tertransformasi dalam bentuk tulisan. Kita menabung kata-kata itu dengan cara banyak membaca.
Selama winter break ini, saya telah membaca tiga buku. Dua diantara adalah karangan Elif Shafak, penulis asal Turki. Saya mengakui bahwa Shafak adalah penulis yang hebat. Sebenarnya pengakuan saya sangat tidak dibutuhkan, karena saya bukanlah siapa-siapa. Tapi, yang bisa anda jadikan acuan adalah semua testimoni dari press-press terkenal yang dimuat dimuka buku-bukunya; Sunday Telegraph, Irish Time, Independent dan lain-lain.

Saya sangat yakin bahwa kwalitas menulis Shafak layak berdiri berderetan dengan para novelis wanita Inggris abad Victorian seperti George Eliot. Dari dua buku Shafak yang saya baca, yang membat saya terperangah adalah :

1. Betapa complex-nya cerita yang dinarasikan oleh Shafak, sama halnya seperti buku karangan George Eliot.
Marian Evan (nama asli George Eliot) pernah menulis sebuah essay yang berjudul "Silly Novels by Lady Novelists." Inti dari essay itu adalah dia sangat bersikeras bahwa wanita sebenarnya bisa menulis hal-hal yang lebih kompleks dari apa yang telah mereka lakukan. Namun kenyataannya pada saat itu penulis wanita lebih terkenal dengan karya-karyanya yang sentimentalist. Tentang cinta-cintaan dan hal-hal yang berbau emosi.

Akhirnya Marian Evan bukan hanya omong doang, dia juga telah membuktikan omongannya itu melalui novel-novelnya yang telah dipublikasikan. Walaupun pada buku-buku itu dia tidak mencantumkan nama aslinya, melaikan ia lebih memilih nama "George Eliot" untuk mewakilinya. Alasannya adalah kalau dia menggunakan nama perempuan maka karyanya akan di anggap remeh oleh kritikus masa itu, yang dikuasai oleh para lelaki. Saat ini nama George Eliot masuk dalam tokoh wanita yang membawa revolusi untuk kemajuan wanita. Dan, menurut saya hadirnya generasi lanjutan seperti Elif Shafak adalah bukti suksesnya virus yang ditularkan oleh George Eliot.

2. Daripada menggunakan satu narator, Shafak malah mengotak-atik sistem narasi dalam novelnya. Yang pada akhirnya menjadikan novelnya unik dan krearif. Salah satu bukti konkritnya adalah buku Honour.

3. Penggunaan waktu yang dikotak-katik.
Daripada menceritakan seluruh isi cerita secara beraturan dari A ke Z, Shafak malah memainkannya secara tidak beraturan. Dari bab satu hingga bab akhir, imajinasi pembaca akan dibawa berjalan ke masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang.

4. Tidak ada tokoh yang dispesialkan. Semua tokoh memiliki hak yang sama untuk diceritakan. Yakni, kita pembaca tidak akan dikecewakan karena penasaran apa yang terjadi dengan tokoh itu. Mungkin Shafak percaya bahwa tidak ada cerita yang lebih rendah. Semua cerita kodratnya sama. Yang menjadi permasalahan adalah penulis. Apakah dia mampu menjadikan cerita simpel itu menjadi menarik.

5. Tema yang diangkat oleh Shafak sangat kaya. Tidak hanya terpatok pada cinta yang cliche, tapi juga ia membaurkannya dengan kultur masyarakat setempat, politik, ideologi, mistis dan lain-lain. Inilah salah stu alasan saya membandingkannya dengan George Eliot.

Walaupun ketika saya memposting foto bukunya di Facebook, salah satu teman Turki saya langsung berontak dan melebelkan kata pembohong padanya. Katanya isu sejarah yang dia paparkan dibuku itu sangat tidak benar. "Sebagai seorang mahasiswa sastra saya bisa kok, membedakan antara fiksi dan non-fiksi," kilahku pada teman itu. Terlepas dari semua kontrofersi tentang si Shafak dinegara asalnya, menurut saya tulisan dia sangat layak dibaca. Setidaknya bagi para calon penulis yang ingin belajar sistem menulis yang unik ala Elif Shafak.

0 comments: