AYAH karya ANDREA HIRATA [reaksi pembaca]

Ceritanya berasa hidup di bab ketika Sabari rela menumbalkan dirinya demi menutup aib yang akan menimpa Lena, jika melahirkan anak tanpa AYAH. Sejak bab itu, watt ceritanya cukup konstan hingga halaman terakhir. Apalagi ketika mengetahui bahwa hadirnya 'penyu' dalam cerita ini bukan tanpa alasan.

Karena telah membaca buku Hirata yang lain, wajar rasanya jika saya mengatakan bahwa unsur budaya masyarakat melayu dalam novel ini cukup kental, sama halnya dengan novel-novel Hirata yang lain. Sempat saya berfikir bahwa, sudah saatnya Hirata mencoba hal baru. Opini saya berubah berangsur-angsur ketika menyelesaikan bab demi bab, terutama bab ketika Sabari menumbalkan dirinya demi Lena dan seterusnya. Sebagai pembaca ingin rasanya ketika membaca buku seorang penulis, kita diberikan sedikit surprise. Jangan sampai terlalu banyak kesan familiaritas dalam setiap buku yang di tulis.

Tema yang dibahas dalam novel ini:
#budaya sahabat pena yang sempat buming di tahun 90 dan tahun-tahun sebelumnya
#budaya beradio (hal yang sudah pernah Hirata bahas di novel sebelumnya, termasuk di Laskar Pelangi)
#Unrequited Love
#Penyebutan novel 'Love in the Time of Cholera'
#Budaya berpuisi (Terdengar familiar)
#Hubungan Antara Ayah dan Anak
#Pertualanagn Menjelajahi Nusantara (khususnya Sumatra)

Hal yang sedikit membuat sesak dari buku ini adalah halaman-halaman paling awal dan akhir, dimana testimoni dari seluruh media yang ada di planet bumi ini dicantumkan, dan cover-cover novel Andrea Hirata yang yang di publish di negara lain di pasang semua. Siapa yang tidak mengerti bahwa ini semua demi kepentingan advertisement. Tapi cukup berimbangalah dengan gaya tulisan Andrea Hirata yang penuh hiperbola. Apalagi dalam penyebutan nama-nama perempuan yang sahabat Sabari coba dekati. Mungkin hal yang seperti yang membuat awal-awal novel cukup menarik nafas..

Dalam novel ini ada kombinasi film-film yang diperankan Adam Sandler dan film/novel garapan Nicholas Sparks. Pernuh hiperbola dan sentimen. Juga mengandung pesan moral.

Gaya penulisan yang kental dalam novel ini:
  1. Kemunculan penulis yang pada awalnya berfungsi hanya sebagai pemapar cerita tetapi kemudian berubah menjadi komentator.
"Tentu tokoh kita tidak membiarkan begitu saja perbuatan Dinamut yang kurang ajar itu." Hal 368
Hal ini sedikit beralasan ketika membaca sampai akhir. Karena di akhir bab narator kemudian mengambil kuasa untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita ini adalah cerita yang narrator dapat dari seorang temannya yang ia kenal ketika mereka sama-sama tinggal di Bandung. Dalam istilah lain, kalau di bab-bab sebelumnya kehadiran narator yang mengikut campuri cerita kadarnya sedikit, didalam bab terkahir akhirnya penulis secara penuh mengambil kuasa.

  1. Foreshadowing
Foreshadowing adalah salah satu figure of speech yang berfungsi sebagai pemberi aba-aba bahwa akan terjadi sesuatu di dalam bab tertentu dalam novel atau cerita tersebut.
Dalam novel ini penggunaan kura-kura adalah contoh dari Foreshadowing. Awalnya kita menganggap kehadiran kura-kura dalam novel ini hanyalah sebuah penghias cerita, tapi ternyata kura-kura menyimpan cerita yang sangat menarik yaitu untuk mengenalkan karakter lain dan kehidupannya di dunia lain, Australia.

  1. Sistem bab yang zigzag
Kalau kita membaca secara teliti, kita akan menemukan bahwa cerita dalam novel ini tidak berlangsung secara berurutan dari A sampai Z. Tapi berawal dari tengah, kemudian kembali ke masa lalu, kemudian kembali ke masa kini. Penggunaan sistem penulisan berbeda ala post-modernist selalu membuatku tertarik untuk membaca. Namun dalam buku ini ada sedikit harapan pribadi, seandainya Andrea menyantumkan tahun di setiap judul bab. Itu akan memudahkan kita sebagai pembaca untuk mensyncronisasi cerita didalam momori kita.

Kalau ada yang berargumentasi bahwa kalau itu dilakukan maka ke-asyikan membaca akan hilang? Tidak juga. Penggunaan gaya tulisan ini bukanlah hal yang baru. Buku-buku karya Elif Shafak hampir semua menggunakan teknik ini. Dan dia juga selalu memberikan kode di awal bab, bab ini lanjutan dari cerita dalam masa mana, dan seterusnya. Begitu rasanya akan lebih terorganisir dan mudah di mengerti.

Sekian…


Adhari
Mahasiswa S1 Jurusan Sastra

4 comments:

irabooklover said...

Wah, Adhari mahasiswa sastra ya? Kereeen :D

Baru tahu sama istilah foreshadowing sama sistem bab zig zag. Terima kasih buat pengetahuan barunya ^^

Setuju kalau sistem bab yang zig zag itu, kalau ada tahunnya, pasti lebih mudah dimengerti.

Aku baru ngeh kalau pernah baca buku dengan sistem bab seperti itu, ada tahunnya, dan memang lebih mudah dimengerti. Unsur "ke-asyikan"-nya memang tetap bisa ada. Tapi kalau seperti itu, momen "aha"-nya sepertinya bakalan beda sama momen "aha" novel Ayah yang awal-awalnya memang bikin aku bingung setengah mati, tapi ngangguk-ngangguk puas pas ketemu benang merahnya.

Tapi penasaran juga sih kira-kira gimana serunya kalau misalnya babnya ada tahunnya XD

adhari'sabroad said...

Halo Ira, terimakasih udah mau klik link yang aku sematin di kolom komentar postinganmu. Iya aku anak Satra (Sastra Inggris tepatnya). Kerjaan kita tu ngeliat beginian hehe.. Karena kebiasaan menganalisa di kelas, akhirnya pas baca sendiri pun jadi otomatis menganalisa baik dari segi teknik bernarasi maupun tema dll.

Sastra di Indonesia unik sih ya. Walaupun jujur aku belum baca sastra klasik Indonesia. Baru kontemporer aja, itu pun belum semua. Ira hebat lo udah baca banyak banget buku. Tetap lestarikan budaya membaca dan menulis ya. Di era semua serba video ini, blog aja sudah kehilangan pamor. Begitu juga membaca. Semoga membaca dan menulis gak punah hikss hehe

irabooklover said...

Whoaaaah....Sastra Inggris??? *superdoublekereeeen*


Iyaaa, aku senang kok kamu sematin link di kolom komentar. Lebih seru kalau gitu, jadi bisa ngomongin buku yang sama-sama barusan sudah dibaca dan direview.

Sastra klasik sama kontemporer itu yang kayak gimana? Tipe-tipe novel Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, dkk gitu kah? Aku sudah baca sejak SMP kalau yang itu, *nyombong* XD

Aku memang suka baca, tapi aku payah soal bahasa dan sastra, taunya bacaaaa aja :D

Membaca dan menulis gak akan punah, tenang aja XD. Di daerahku banyak kok yang suka baca, tapi mereka jarang "ngomongin" apa yang mereka baca aja, tipe silent reader lah.


adhari'sabroad said...

Kayak tulisannya Pramoedya, N.H Dini, Mochtar Lubis, Buya Hamka dll gitu lo.. Aku pingin banget baca Pramoedya tapi belum punya akses aja.

Wah keren udah punyak akses ke buku sejak kecil. Aku baru mulai suka baca buku di SMA. Lebih tepatnya sih baru mulai punya akses ke buku itu pas SMA. Jadi, koleksi bacaanku masih dikit lah kalau buku-buku Indonesia. Palingan buku-buku yang udah aku baca itu cuma dari penulis yang heboh di awal 2000an kayak Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Dewi Lestari.

Pas kuliah langsung baca buku sastrawan Inggris, jadi langsung teralienisasi deh ke sastra-sastra Indonesia. Terus pas lagi pingin baca buku oleh penulis Indonesia, gak bisa nemu disini.

Amin.. semoga budaya menulis dan membaca gak punah deh :)