Waktunya Mereflekasi Hubungan: Jika Mengakhiri Lebih Baik

Nge-blog masih menyisakan racun yang ia tusukkan pada tubuh proses kreatifku beberapa tahun lalu. Aku masih terbuai oleh tusukan anak panah dari dewa cinta yang untus langsung dari kayangan Perbloggan. Walaupun tak sering aku memiliki perasaan ganda: antara senang dan kecewa. Senang, karena menulis memiliki efek terapi bagiku. Setiap kali satu tulisan selesai, itu dengan otomatis meningkatkan kwalitas gizi kepercayaan diriku bahwa aku mampu melakukan sesuatu. Kecewa, karena ternyata walaupun aku merasa sangat bangga atas apa yang aku kreasikan melalui tulisanku, tulisan-tulisanku masih gagal untuk mengikat minat pembaca. Tulisan ku masih gagal menjerat minat pembaca untuk mengutarakannpendapatnya tentang tulisan tersebut.

Tulisan pada hakikatnya hanyalah pendapat individu. Layaknya sepeti pendapat atau opini lainnya, tidak akan lengkap tanpa komentar dari pada pembaca. Sama halnya seperti berada di forum debat, tapi lawan debat memutuskan untuk berekting diam. Saya jadi bingung apakah argumentasi saya besifat mutlak benar, atau malah sebaliknya, salah dengan sesalah-salahnya sehingga mendapat jawaban pun tidak layak.

Iya, memiliki peliharaan pribadi berupa blog memang multifungsi. Pada momen-momen tertentu ia berubah menjadi psikiater yang mampu menangkan diri dengan mengatakan: "rileks, tarik nafas dalam-dalam, sekarang keluarkan. Sudah merasa enakan? Sekarang ceritakan apa yang ada dalam pikiranmu yang membuat dadamu sesak?"

Dilain waktu blog bertransformasi menjadi cermin ajaib yang akan menjawab dengan jujur pertanyaanmu. Layaknya cermin yang ada di dongeng-dongeng, cermin ini pun sangat langsung ke akar permasalahan. Kalau tulisanmu minim komentar, artinya kamu tidak memuaskan pembaca. Artinya kamu adalah penulis kelas rendahan.

Aku sangat sadar akan hal itu. Karenanya, sejak awal aku membuka aku blog ini, aku langsung bertekad untuk mempergunakan blog ini untuk medewasakan gaya menulisku. Berefleksi ke 3 atau 4 tahun yang lalu, ku akui aku merasa lebih baik. Sekarang aku pribadi lebih percaya diri dengan gaya tulisan yang aku lampirkan.

Ketika blog saja gagal untuk mengikat pembaca, rasa-rasa aku memang perlu berfikir ulang tentang niatku menjadi penulis profesional. Setidaknya untuk sementara waktu. Menulis adalah profesi yang sangat mahal. Bayaran untuk menulis ini bukanlah uang, tapi waktu. Siapa yang bisa meminjamkan waktunya untuk para penulis? Mereka butuh waktu minimal beberapa bulan atau tahun untuk mengasingkan diri dan mengerumuni dirinya dengan bacaan. Setelahnya mereka menulis karya yang sangat penuh akan makna. Karya yang mampu membuka mata para pembaca akan keberadaan kehidupan lain selain hidupnya sendiri. Atau terkadang, karya itu juga berfungsi sebagai statement akan keadaan yang mereka sedang alami. Mereka mengalaminya, namun mereka tidak mampu untuk mengungkapkan nama perasaan yang mereka alami. Terjadilah proses pengidentifikasian, lalu kata seperti "karakter dalam tulisan ini sangat menggambarkan pribadiku" pun terucap.

Cita-cita ku untuk menjadi penulis tidak akan mati begitu saja. Saya tidak akan dikalahkan oleh sisi cengengku. Namun sisi realistisku mengatakan, untuk saat ini akun akan fokus untuk mengumpulkan amunisi agar kedepannya bisa menulis dengan leluasa. Setelah lulus kuliah sarjana S1 aku mungkin akan melanjutkan S2 atau mungkin akan langsung kerja. Iya, aku akan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar aku bisa pensiun dini dan beralih ke profesi sejatiku. Aku tidak masalah untuk bekerja pada bagian yang mungkin aku tidak suka, kalau memang itu adalah satu-satunya jalan untuk bisa menulis.

Sungguh mustahil jika suatu haru aku langsung berteriak, aku tidak perduli untuk cari duit. Aku hanya ingin menulis. Ada banyak hal perlu dipikirkan terutama keluarga. Aku tidak mau keputusanku hari ini akan membuatku menyesal dikemudian hari. Satu hal yang akan membuatku menyesal dikemudian hari adalah ketidakmampuan mengakomodir keperluan anakku dalam menuntut ilmu, dalam berpacu di dunia pendidikan. Karena aku sadar betapa kekuranganku berasal dari ketidakmampuan lingkunganku untuk berpartisipasi dalam membuat diriku untuk benar-benar bisa. Jadi, benar menulis adalah satu-satunya hal yang aku impikan. Namun, aku tidak serta-merta menyerahkan jiwa dan ragaku padanya. Mengingat idealisme dan realitas adalah bagaikan air dan minya, mereka tidak akan bisa kawin.

0 comments: