Trilogi Soekram (Reaksi Pembaca)


Liburan summer kali ini, ternyata, aku dihadapkan pada disituasi ala 9gag yang sering memuat foto-foto bernada "ekspektasi" dan "realitas". Dimana aku yang sebelum summer dengan semangatnya memuat ekspektasi bahwa liburan summer nanti akan membaca buku sebanyak-banyaknya. Paling utama aku bersemangat sekali ingin membaca semua jurnal yang nantinya akan bermanfaat buat graduation paper atau makalah kelulusan. Bahkan ketika baru saja menyentuh Indonesia (Medan) aku langsung bersemangat memborong buku-buku dari Gramedia. Alhahasil aku membawa 3 buku ke Tanah Gayo: Trilogi Soekram, Supernova terbaru dan Amba.

Ternyata ekspektasi tidak sesuai dengan realitas. Summer kali ini, yang juga bertepatan dengan kali pertama ku menyentuh tanah Indonesia setelah empat tahun merantau jauh ke negeri orang, memaksaku untuk tidak egois mengahbiskan waktu sendiri membaca. Aku pun lebih banyak mengahbiskan waktu dalam acara keluarga, pernikahan dan kondangan sejenis. Selebihnya aku pun direpotkan oleh urusan perubahan nama di pengadilan. Jadilah kegiatan membacaku terbengkalai.

Satu-satunya buku yang aku pegang selama dua bulan ini adalah Trilogi Soekram yang sekarang ini akan aku buat reaksi setelah membacanya (review).

****** 

Seperti yang tertulis jelas dalam judulnya novel karya sastrawan besar Indonesia ini adalah sebuah novel beruntun yang nantinya akan mengelurkan Trilogi Soekram 2 dan 3. Setidaknya itu lah rencana bagaimana cerita ini akan diterbitkan.

Dalam perjalanan ceritanya, Trilogi Soekram (1) ini juga memiliki alur cerita yang terbagi oleh tiga keadaan. Pertama, kronologi dimana seorang karakter cerita fiksi yang bernama Soekram menghadiri seorang editor yang kebetulan adalah teman dari pengarang cerita itu. Kehadiran tokoh Soekram ini adalah untuk menuntut nasibnya yang terbengkalai akibat kematian si pengarang. Akibatnya, si editor di paksa untuk melanjutkan cerita ini.

Kedua, ternyata si pengarang belum meninggal. Sesaat setelah si editor menerbitkan cerita hidup tokoh fiksi benama Soekram, si pengarang menemui sang editor dan menuntut untuk meluruskan cerita. Karena ternyata cerita yang beredar telah di rubah oleh Soekram sendiri demi kepentingannya pribadi. Salah satu obsesi si Soekram adalah menjadi abadi. Dan menurut Soekram keabadian bisa diraih dengan penerbitan cerita tentang dia,

Ketiga, Soekram melanjutkan cerita hidupnya sendiri. Cerita tentang kehidupan si Soekram juga agak terbelit-belit. Di bab pertama si Soekram di ceritakan sedang menuntut ilmu di luar negeri. Selama di luar negeri Soekram terlibat dalam hubungan gelap dengan wanita lain. Padahal Soekram sendiri telah menikah dan memiliki buah hati.

Cerita si Soekram berlanjut di Indonesia. Kebetulan studinya sudah selesai dan sekarang Soekram telah menjadi seorang guru besar disalah satu universitas di Indonesia. Ternyata keadaan Indonesia sedang tidak baik. Sedang ada demo besar-besaran untuk mengkritisi pemerintahan. Bahkan ada upaya untuk melengserkan pemerintahan saat itu oleh mahasiswa-mahasiswa. (Referensi ke kejadian tahun 99)

Selanjutnya tiba-tiba cerita Soekram berlanjut ke pulau Sumatera atau lebih tepatnya ke Padang. Di Padang tokoh si Soekram bertemu dengan karakter-karakter satra Indonesia yang melegenda seperti Datuk Meringgih, Siti Nurbaya, dan bahkan Kartini. Namun, dalam pemaparannya apakah tokoh-tokoh ini singkron dengan cerita aslinya? Silahkan baca cerita kengkapnya :D :D

Yang spesial dengan buku ini:
1. Cerita dalam cerita atau yang sering disebut dengan meta-fiction.
Akan ada banyak sekali cerita dalam novel ini. Pertama cerita tentang si pengarang, editor dan tokoh fiksinya. Kedua, cerita tentang kehidupan tokoh fiksi yang bernama Soekram yang sangat berbelit-belit.

2. Ada proses dikonstruksi atau Deconstruction.
Dalam novel ini ada sebuah upaya untuk merubah atau mengganti cerita yang sudah ada. Misalkan cerita tentang Siti Nurbaya dan Datuk Meringgih. Didalam cerita aselinya kita tahu bahwa Datuk Meringgih adalah tokoh antagonis, namu dalam buku ini ia berubah menajadi protagonis. Si Nurbaya juga, seolah-olah, di daulat menjadi tokoh feminis yang mengupayakan penyetaraan gender terhadap perempuan minang dengan bersekolah dan memiliki pikiran berbeda dari wanita umumnya.

3. Referensi ke karya sastra Indonesia yang melegenda
Didalam buku ini sering di singgung robohnya surau-surau. Seolah SJD sedang mengasah kekayaan bacaan pembaca akan karya sastra Indonesia. Dengan referensi mengingatkan pembaca akan karya A.A Nafis "Robohnya Surau Kami."

Terakhir, novel ini sangat kaya sekali akan pengetahuan tentang dunia perpolitikan, filosofi, dunia sastra Indonesianya. Karenanya, saya dengan sangat bangga sekali ingin merekomendasikan novel ini kepada semua pencinta dunia bacaan Indonesia. Dan saya juga ingin menyatakan betapa ternyata dunia sastra Indonesia gak kalah bagusnga kok dengan dunia sastra dunia. Ayoo... majukan sastra Indonesia dengan membaca karya-karya sastrawan Indonesia. Dan semoga saja nanti kita juga bisa berkontribusi untuk memperkaya literatur Indonesia. Maju terus sastra Indonesia. :) :)

0 comments: