Tepat pukul 11.20 waktu Turki Ayah saya menelpon dan mengabarkan kalau
kakek saya telah meninggal.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun..

Beliau ini adalah sosok yang sangat kami sanjungi. Seumur hidupnya
penuh dengan sejarah.

Ingat sekali kalau sedang kumpul keluarga, kami selalu diceritakan
tentang sejarah hidupnya. Dimana beliau mengikuti perperangan melawan
penjajahan belanda. Sampai-sampai ia harus tinggal di gunung-gunung
untuk bergrilia betahun-tahun.

Beliau adalah contoh teladan yang baik bagi kami anak cucunya.

Dimasa tuanya juga ia tak mau diam. Ia mencoba untuk memperjuangkan
pembangunan mesjid di kampung kami, Mesjid Nurul Yakin. Demi mesjid
ini ia rela pulang pergi ke kantor pemerintahan untuk meminta
sumbangan dana. Bahkan pegawai di kantor pemerintahan sampai kenal
dengan wajahnya. Gajinya yang sedikit sebagai veteranan pahlawan
perjuangan juga tak jarang dimasukkan untuk pembangunan mesjid.
Alhamdulillah, akhirnya mesjid Nurul Yakin sudah berdiri tegak
walaupun tidak semegah mesjid-mesjid lain. Setidaknya cita-citanya
untuk membangun mesjid sudah tercapai.

Selamat jalan kakek ku..
Selamat jalan pahlawan ku..
Semoga amal ibadah mu diterima disisinya..
Kami anak cucu mu bangga punya kakek seperti-mu..


*Almarhun Abdul Karim A. Mastani
Seorang Pejuang Kemerdekaan
Kakek yang memiliki tauladan yang baik
Mendengar kota asalmu terkena bencana dan kamu tak mampu melakukan
apa-apa itu bukanlah perkara mudah. Permainannya adalah batin. Rasa
bersalah. Rasa tak berguna. Itu kerap kali berkecamuk.

Selama ini gempar-gempor, aku ingin buat kabupaten kota ku jadi
seperti negara ini. Tertata indah. Banyak taman. Aku ingin para petani
makmur. Aku juga mau mereka seperti para petani disini, memperlakukan
diri mereka sendiri secara manusiawi. Biarlah para mesin besi itu yang
bekerja giat.

Tapi hari ini, Aku hanya bisa menatap kelam ketika semua mereka
menitiskan air mata. Bukan air mata bahagia karena semua misi ku
tentangnya berhasil tetapi bencana telah meluluh lantakkan rumah
bahkan landang pencaharian mereka.

Ketika mereka harus berada di tenda darurat ditengah dinginnya kota
pegunungan yang ekstrim itu, aku hanya bisa terdiam berharap mereka
yang bertangan dingin bisa cepat datang dan memberikan pertolongan.

Entah siapa yang harus kusalahkan. Tuhankah? Tidak. Hidup ini penuh
dengan sebab-akibat. Tentu tak kan ada akibat kalau tidak ada sebab
yang terlanjur diperbuat. Biarlah semua menjadi cermin kehidupan untuk
masa depan.

Bangkitlah negeriku...
Bencana bisa saja tak henti melanda..
Tapi kau harus tetap berdiri tegak..
Hapus coretan hitam itu dengan tinta hijau pegunungan Dataran tinggi Gayo..
Redam marahnya tuhan dengan keramahan kita sebagai penghuni kota dingin..

Sungai Seyhan, Adana

Adakalanya hidup terasa asing untuk dijalani. 
Bahkan untuk sekedar melambaikan tangan tanda sapaan pun enggan untuk dilakukan. 
Ketikaitulah hidup terasa hampa. Tak berdaya.

Lain lagi ketika bibir mungil sumringah. Terpampang wajah bahagia.
Semangat membara. Semua berjalan indah sedia kala. 
Itu karena ada setruman cinta damai pada kehidupan.

Berdamai dengan dunia. 
Berdamai dengan semua situasi ketika sedang atau tidak sedang mood. 
Memberikan energi positif pada kehidupan.

Seberkas titik hitam nun jauh disana tetap menanti kehadiran tinta pemutih. 
Tinta yang bisa menjadikan ia tidak berbeda. 
Atau barangkali cahaya yang bisa memukul rata keberadaannya.

Hiduplah kau penuh dalam kedamaian hati. 
Hati yang tentram. Damai. Lalui semua dengan api cinta.
Sabancı Camii Adana, Turkey
Masih lekat diingatanku 4 tahun yang lalu. Setiap kali bulan ramadhan
tiba selalu disuruh tampil menjadi tontonan di surau itu. Surau tempat
kami melaksanakan shalat tarawih. Kalau mereka ingin belajar agama
dariku tentu tidak mungkin. Ilmuku masih sekecil jagung. Kemungkinan
lain palingan mereka mau mengetes kemampuanku setelah mondok . Iya,
itu alasan yang paling masuk akal.

Tapi taukah kalian, setiap kali pengumuman pengisi materi dihari
berikutnya namaku yang disebut aku selalu mungkir dan sudah berniat
untuk shalat di mesjid yang lain. Aku masih suka anxiety kalau harus
berbicara di hadapan orang lain. Wajar lah, masih bocah. Setiap kali
gugup ku datang itu sangat berefek pada cara berbicaraku yang
ikut-ikutan lomba kecepatan dengan detak jantung. Alhasil para
pendengar jadi seperti peserta lomba lari yang disemangati. Telinga
mereka juga ikut-ikutan lomba kecepatan menangkap apa yang ku
sampaikan.

Kini 4 tahun berlalu dan sekarang Aku sudah menjadi mahasiswa.
Seandainya hari ini aku berada disana, akan kutunjukkan hari ini aku
sudah lebih siap menjadi pemateri. Bukan sebagai guru atau penasehat,
tapi aku siap menjadi pembagi pengalaman. Kurasa, sudah cukup banyak
pengalaman yang mengikuti perjalanan hidupku. Aku siap untuk berbagi
itu semua.

Kira-kira beginilah isi materi yang akan aku sampaikan kalau aku
berada disana :
Assalamualaikum Wr. Wb

Saya ucapkan terimakasih banyak kepada bapak-bapak dan ibu-ibu
sekalian karena telah memperkenankan saya kembali berdiri disini.
Rasanya baru kemarin saya duduk disudut sana dengan muka luguku
menghadiri acara-acara keagamaan seperti maulid dan lain-lain. Rasanya
juga baru kemarin saya malu-malu dipanggil untuk berdiri petama
kalinya disini karena status saya sebagai santri. Tidak disangka waktu
berjalan begitu cepat. Hari ini saya sudah kuliah bapak-bapak dan
ibu-ibu. Status saya hari ini adalah mahasiswa.

Seperti yang ibu dan bapak-bapak ketahui, sejak saya lulus SD saya
sudah memutuskan untuk meninggalkan kampung kita tercinta ini, guna
menuntut ilmu. Saya sudah berjalan melewaki tingkat kabupaten untuk
tiga tahun lamanya. Juga, saya sudah melewati hidup selama tiga tahun
tingkat provinsi. Dan hari ini saya sedang merasakan hidup di tingkat
negara asing bapak-bapak ibu-ibu.

Setelah melewati perjalanan jauh itu, saya sering merenung dan pada
akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan bahwa satu hal yang saya
sangat syukuri, Saya sangat bersyukur telah lahir dan menghabiskan
masa kecil saya yang penuh bimbingan agama di kampung kita yang
tercinta ini. Sejauh apapun perjalanan kita. Sebanyak apapun duri yang
kita temui sepanjang perjalanan. Satu yang bisa menjaga diri kita,
Satu yang akan selalu membuat kita hidup dalam penuh pendirian. Itu
adalah basic agama. Alhamdulillah sejak saya kecil saya sangat
mendapat itu. Mendapatkan bimbingan yang cukup dibidang agama.
Sehingga kemanapun nantinya saya berlabuh, saya tahu apa yang harus
saya lakukan. Saya telah mengetahui batasan-batasan sampai mana saya
bisa berbuat sesuatu.

Kebetulan setahun terakhir saya tinggal di Turki. Turki bukanlah nama
asing ditelinga kita. Sejarah telah mencatat betapa kerajaan Islam
termegah berdiri disana. Turki ustmani. Tapi, itu dulu bapak-bapak
ibu-ibu. Hari ini seandainya kita berada disana, kita tidak akan
menemukan lagi jejak kemegahan Islam itu. Semua sirna. Bahkan kita
bisa saja kita keliru, apakah ini negara Islam atau negara barat. Cara
mereka hidup, berpakaian sungguh tidak mencerminkan Islam. Alkohol
bisa dengan mudah ditemukan diwarung-warung kecil.

Kita bisa, masih bisa lihat kerajaan megah itu, Top kapi sarayi
namanya. Tapi tidak dengan jiwa islaminya. Masyarakatnya sudah jauh
dengan agama. Proses skularisme dan penghilangan hal-hal berbau arab
yang diterapkan Mustafa Kemal Atatuk sukses pesat. Jadilah generasi
Turki seperti yang terlihat hari ini.

Itulah mengapa saya sangat bersyukur hidup dan besar di negara
Indonesia yang masih membebaskan kita hidup dengan keyakinan kita
tampa ada paksaan. Dan, Alhdulillah saya terlahir di kampung ini
dengan para warganya yang sangat agamis. Ini sudah menjadi basic yang
sangat berguna bagi saya dimasa kini maupun masa yang akan datang.

Malam ini juga saya ingin mengucapkan banyak sekali trimakasih untuk
bapak-bapak dan ibu-ibu semua yang telah menjadi lingkungan yang baik
bagi masa kecilku. Karena, seperti yang kita ketahui lingkungan adalah
faktor yang paling berpengaruh atas prilaku kita dimasa kini.

Assalamualaikum Wr. Wb


Ah... Ini masih seandainya kalau Aku disana. Tapi, kalau Aku benar-benar 
disana entahlah apa aku bisa menghilangkan anxiety ku..