https://mail.google.com/mail/u/0/images/cleardot.gif

Siapa sangka semua akan berakhir menjadi CINTA. Awalnya aku memilih Sastra Inggris hanya karena kesenaganku mendengar dan mengucapkan bahasa Inggris. Tak pernah sedikitpun terbesit dipikiranku untuk mendalami sastra. Walaupun pada kenyataannya “bulu roma” ku sering naik ketika mendengar bacaan puisi di acara-acara hari kebangsaan; terutama tentang kritik permasalahan negeri. Itu rasanya seperti vitamin bagiku; dapat membangkitkan kembali rasa nasionalisme yang rontok ulah parah petinggi negeri.

Aku tak pernah membayangkan bakal tersenyum-senyum bagai ABG yang sedang jatuh cinta ketika membaca puisinya Shakespeare. Bahkan mendengar nama Shakespeare pun awalnya aku bingung. "Jenis makanan apa itu" begitulah kira-kira gelutuk ku ketika seseorang menanyakanku 3 atau 2 tahun lalu. Tapi kalau kau ingin menanyakan pendapatku tentang dia saat ini, mungkin aku akan menjawab dengan lantang dia adalah guru kata-kataku.

Hebat bukan! Kalaulah kita mengenal Aristotle sebagai tokoh pilsuf yang serba bisa di hampir disemua jenis ilmu pengetahuan, namun lihatlah Shakespeare cukup dengan gelar ahli kata-kata. Dia bisa menyulap kata-kata menjadi “sebuah hal” yang mereka sebut puisi. Dengan kata-katanya juga ia telah melahirkan drama-drama romatis tapi bukan picisan seperti sinetron-sinetron yang ada di stasiun TV tanah air. Lihat saja, bahkan Romeo & Juliet sudah dibuat versi 2014.

Ini adalah sonnet Shakespear yang paling aku sukai:

SONNET 130
My mistress' eyes are nothing like the sun;
Coral is far more red than her lips' red;
If snow be white, why then her breasts are dun;
If hairs be wires, black wires grow on her head.
I have seen roses damask'd, red and white,
But no such roses see I in her cheeks;
And in some perfumes is there more delight
Than in the breath that from my mistress reeks.
I love to hear her speak, yet well I know
That music hath a far more pleasing sound;
I grant I never saw a goddess go;
My mistress, when she walks, treads on the ground:
   And yet, by heaven, I think my love as rare
   As any she belied with false compare.


Keistimewaannya adalah, di masa Shakespeare, ketika semua pujangga atau sebut saja rivalnya Shakespeare membuat puisi yang hyperbole; yang penuh kata-kata indah. Shakespeare malah membuatnya sederhana. Dia berani keluar dari hal yang biasa. Lihat saja, tak ada sedikitpun ia memuji kekasihnya. Ia menyebutkan apa adanya. Yang paling mengejutkan adalah pada line 8, yang menyebutkan bahwa nafas kekasihnya bau busuk. Namun lihatlah di baris berikutnya, ia pada akhirnya menekankan bahwa bagaimanpun keadaan kekasihnya ia tetap mencitainya apa adanya.



Dengan berkuliah di sastra, aku juga semakin menyadari bahwa aku adalah orang yang baru bagun dari tidur panjang. Aku tak pernah mengetahui secara dalam bahwa jauh sebelum kita ada, telah ada suatu peradaban yang mengerti tentang seni, bahkan lebih mengerti dari para seniman yang ada pada masa sekarang sekalipun. Lihat saja pada jenih pakaian pada masa Elizabeth atau  pakaian era renaissance, siapa yang tidak ingin berada di masa itu. Kalau semua orang berkesempatan untuk teleport, mereka pasti ingin teleport ke era itu.  Juga didalam Sastra Inggris kita bisa belajar sejarah dunia terutama Eropa. Ini semakin membuka mata kita bahwa peradapan kita jauh sekali tertinggal. Kalaupun di Indonesia ada kerajaan tapi tak ada yang semegah di England. Setidaknya kita melihat sisa peninggalan itu, kalaupun ada.

Pada intinya saat ini aku sangat menyukai apa yang aku lakukan. Belajar menjadi hal yang menyenangkan, terlebih ketika setiap minggu ketemu dengan dosen yang  hebat. Sebenarnya nggak semua sih, setidak ada tiga. Salah satunya native Amerika, bisa belajar English dari native itu rasanya keren banget. Selebihnya guru lokal tapi mereka juga tak kalah keren. Pengalama international mereka menjadikan cara mengajar mereka sangat enjoy. Ketiga guru ini menjadikan seminggu itu balance. Kalu 2 hari ada pelajaran yang membosankan dan menguras emosi. Itu menjadi terbayarkan ketika masuk kelas mereka.

“Tidak ada yang menyenangkan selain belajar dibidang yang kita sukai dan diajar oleh orang yang expert dibidangnya.”

Walaupun aku sudah jatuh hati dengan sastra, ini bukan berarti aku lupa dengan HI (Hubungan International) lho.. HI tetap menjadi satulah yang ku incar, namun bukan berarti Sastra Inggris nggak keren. Tetep keren. Hanya saja, Hmm.. Anggap saja Sastra Inggris dan HI itu seperti cita-cita dan hoby. HI ada cita-cita dan Sastra Inggris adalah hoby. Seperti mimpiku, aku pernah berhayal "Selama hidupku setidaknya aku harus menulis satu buku; terserah itu fiksi atau non-fiksi" yang jelas aku ingin punya buku. Mungkin memorial atau fiksi biography. Ntahlah. Tapi kalau nanti aku berkesempatan melanjutkan S2, aku ingin kembali menggeluti HI. Jadi ilmunya tetap terpakai, kuliah sastra untuk melancarkan impian untuk menulis buku. Kuliah HI karena ingin jadi Diplomat. Amin..

Mungkin awalnya semua cuma jawaban spontan tapi sekarang setelah hampir setengah tahun kulewati semua akhirnya terjawab. Bahwa kenapa saya memilih Sastra Inggris, karena memang Sastra Inggris itu deserves to be loved; dengan semua kelebihannya. Mungkin jawabannya cliché, karene bahasa Inggris bahasa dunia. Tapi itulah faktanya. Lihat saja, bahasa apa yang hampir diseluruh Negara orang mengerti. Setidaknya gaya gagap. Kata orang sih, kalau bisa bahasa Inggris gak bakal matilah hidup diluar negeri.


Jawaban lainnya adalah, aku baru sadar alasan kenapa aku belum berkesempatan kuliah di HI. Aku sadar kalau Inggrisku masih amburadul. Mungkin sekarang Allah ngasih kesempatan ke aku untuk memperbaiki inggris dulu, sembari menikmatik keindahan sastra. Terbuai ria membaca kata-kata yang penuh hyperbole atau exaggerated. Juga belajar menggunakan euphemism, agar
bahasa-bahasa vulgar dapat terkurangi. Intinya belajar untuk bertutur dengan baik lah.

Sebenarnya semua bahasa sama, memiliki sisi sastra yang glamour. Tinggal kita saja yang memilih untuk tercantol dibahasa mana. Tidak terkecuali dengan bahasa Indonesia. Belajar bahasa asing mungkin juga termasuk ide yang baik, kita dapat belajar banyak hal tentang sastra. Lalu hasilnya kita dapat adaptasikah pada Sastra Indonesia, sehingga memabah warna sastra di Indonesia. "Belajar bahasa inggris untuk diadaptasikan dalam memajukkan sastra Indonesia" mungkin begitulah “jawaban anak kemarin sore”nya. Namun kenapa tidak?


Adhari
Feb 26, 2014

The photo is taken from Syukri Muhammad Syukri's facebook
Menjadi perantau bukanlah perkara mudah. Ada banyak tuntutan yang harus siap kita hadapi. Terutama permasalahan makanan. Kalau masih sebatas didalam negeri ini mungkin bukanlah permasalahn besar. Walaupun pada kenyataannya masih ada perbedaan lidah pada orang Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Contohnya, pada umumnya orang Sumatera lebih suka makanan pedas sedang di Jawa (tergantau daerahnya) lebih suka makanan manis. Rasa manis pada makanan di Jawa terkadang menjadi masalah bagi perantau asal Sumatera. Tapi itu sudah tidak lagi menjadi masalah pada era sekarang ini. Banyak makanan suatu daerah yang juga sudah tersedia di kota lainnya. Seperti warung padang yang ada diseruh pelosok Indonesia. Sudah dipastikan hampir semua lidah orang Indonesia cocok dengan masakan padang. Walaupun didaerah tertentu jenis makanan ini mengalami modifikasi rasa, seperti rasa lebih manis atau pedas.
Lain cerita kalau keadaannya adalah merantau di negeri orang yang makanannya 100% berbeda. Belum lagi kalau makanan pokok Indonesia –nasi- tidak tersedia. Jam makan bisa-bisa menjadi benacana besar dalam hidupnya. Terutama dibulan-bulan atau tahun awal perantauan yang merupakan masa-masa adaptasi. Setidaknya itulah yang kurasakan selama berada di Turki ini. Bukan hanya tahun pertama bahkan sampai sekarang.

Seperti halnya di Indonesia masyarakat Turki juga memiliki lidah yang berbeda-beda. Masyarakat di bagian timur Turki pada umumnya menyukai makanan yang berbumbu-bumbu (spice). Salah satu kota yang memiliki cita rasa makanan yang cocok dengan lidah Indonesia adalah Adana. Untuk itu kalau bertandang ke Turki sangat disarankan mengunjungi Adana atau mampir ke restoran yang menyediakan masakan khas Adana. Salah satu makanan andalannya adalah kebab Adana. Kebab Adana sangat masyhur di Turki bahkan sampai ke negara-negara Eropa. 

Kalau bagi mahasiswa lain tahun pertama mungkin adalah tahun-tahun terberat untuk beradptasi terhadap makanan namun itu tidak sepenuhnya terjadi padaku. Kebetulan tahun lalu saya berkesempatan untuk tinggal di Adana selama hampir setahun. Dan seperti saya katakana tadi bahwa makanan di Adana sangatlah cocok dengan lidah Indonesia. Sehinga saya tidak terlalu sulit untuk beradaptasi. Hanya saja butuh beberapa saat untuk mengganti nasi dengan ekmek (sebutan untuk roti pada bahasa Turki). Hal lain yang menjadi keberuntungan mahasiwa Indonesia yang berada di Adana adalah adanya cabe super pedas yang kota lain di Turki tidak miliki. Namanya Cin biberi. Menemukan makanan pedas di Turki sangatlah sulit. Untuk itu sangat dimaklumi kalau mereka sangat berbangga hati dengan adanya cabe itu.

Namun tahun ini aku kembali harus merasakan masalah peradaptasian makanan karena sekarang aku tinggal di bagian Ege Turki, Manisa. Bagian Ege Turki sangat terkenal sebagai daerah tourist, terutama kota Izmir. Letak manias Izmir hanyalah 40 menit perjalanan dengan bus. Untuk itu tidak terlalu sulit menemukan makanan asal kota lain disini. Hanya saja dibutuhkan dompet tebal untuk menyicipinya. 

Keunikan para perantau Indonesia di Turki adalah kegemaran mem-post foto makanan. Bagi mereka yang tinggal di apartmen atau tempat yang memungkinkan untuk memasak ini adalah anugerah. Mereka bisa memasak makanan Indonesia berbekal bumbu sachet yang mereka bawa pada libur musim panas sebelumnya. Melihat postingan makan itu di FB, Twitter, Instagram, Whatsapp dan media lainnya sangatlah menyedihkan. Hal ini membuat kerinduan terhadap tanah air semakin bergejolak.

Sebagai seorang yang berasal dari timur Sumatera, alias Aceh bagian tengah, alias Dataran Tinggi Gayo, makanan yang paling kurindukan adalah taruk jepang. Ini adalah salah satu makanan khas dataran tinggi Gayo, setidaknya itu yang ada dalam persepsiku. Secara bahasa taruk jepang berarti pucuk labu siyem. Labu siyem atau di tempatku disebut taruk jepang ini ternyata juga bernama Manisa (baru saja saya check di Wikipedia, kebetulan?). Sayuran ini hanya di rebus sederhana dengan taburan sedikit garam yang mebuatnya special adalah cecah agur. Cecah agur adalah kombinasi cabe mentah yang diulek dengan terong belanda. Kedua makanan ini adalah makanan langka yang bahkan sangat sulit ditemukan didaerah lain di Indonesia. Itu menjadikannya sangat special bagiku. 

Satu hal lagi yang mebuatku ingin segera pulang, Depik. Depik atau rasbora tawarensis adalah ikan endemik Danau Lut Tawar, danau yang terletak di Takengon. Ikan ini bebentuk seperti ikan teri hanya saja ia hidup di air tawar dan memiliki rasa yang berbeda. Nama masakan lokal yang spesial untuk ikan ini adalah depik pengat atau depik dedah.


*Ditulis setelah sarapan pagi dengan ekmek + telur dadar. Kau bisa bayangkan bagaimana air liurku mengalir membayakan semua masakan itu. Oh Tuhan aku ingin segera pulang.