Bagi yang ingin bertanya tentang apapun silahkan menghubungi saya melalui ketiga akun sosial media yang tertulis di atas. Anda juga boleh berkomentar langsung di setiap tulisan yang saya postingan.
Salam,
Adhari K
Salam,
Adhari K
Sign Up for Email Updates
I have always
been interested in writing since I was a kid. At first it is just a go with a
stream kind of process. One of my classmates in primary school had an
interesting notebook called diary, which makes me very jealous because back
then having diary, for me, represented someone's intelligence. I wanted to have
what she had, but in more boyish way. Later, I found a term that less feminine
than diary, a Journal - is what it called. I've been keeping journal since
then.
Over the course
of year, I evolve from someone who kept journal for the sake of attention
(wanted to be seen smart) to become someone who found his passion in writing
itself. It did not happen until I met a friend in high school who did writing
and pursued writing as more than a hobby.
I was not born
into a family of intellectual, I mean there are members of our family who
succeeded in academic world. But oftentimes they become so distant from us. As
if to say that "our hometown" is not a place for intellectuals.
Therefore, they (now it includes me) stay in other places. What I realize from
this whole thing is that this is what holding us from becoming an intellectual
in early age.
I don't blame it
on them. Because I do realize that even if they attempted to HELP, it wouldn't
be easy. Distance makes everything so difficult. Now, for example, I wanted to
teach my nieces to love reading books from early age. But then again, I have never
been around for three years and I have never yet encountered a way to do it
from far. Technology is around. But technologies' hand don't reach all people.
It shakes its hand only with certain people. The rest left untouched.
University life
begun. And I ended up studying literature, a major that I know nothing of - at
all, literally! Even its definition, I have no idea what it was - let alone the
courses. So, it was a kind of putting myself into a dark room without knowing either
it's safe or not. What if it had poisonous animal in it? I could have infected
and died.
The unexpected
happens. Later I realized that literature is actually a perfect place for 'the
lost' to stick their body on, until they figure out their ways. Literature
teaches us multiple studies at the same time; psychology, philosophy, history,
journalism, etc. Even if ones ended up not liking it, they could still use
literature as a means of finding their identity. Many stories talk about how to
rediscover yourself after so many years flying on the air of unknown. So, you
will learn a lot of thing while studying literature.
What I learn, as
someone who has a big crush on writing world, is the secret of writers. I know
that to be a writer someone has to encounter the three phases of life, James Joyce describes it as an epiphany .
First, someone needs to have a sense of wholeness, meaning he needs to be able
to see an object more than just an object. Two, harmony - he needs to see the
connection between cause and effect. Three, radiance - the nodding moment when
you examine the first two phases.
"After the
analysis which discovers the second quality the mind makes the only logically
possible synthesis and discovers the third quality. This is the moment which I
call epiphany. First we recognise that the object is one integral thing, then we recognise that it is an organised
composite structure, a thing in fact:
finally, when the relation of the parts is exquisite, when the parts are
adjusted to the special point, we recognise that it is that thing which it is. Its soul, its whatness, leaps to us from
the vestment of its appearance. The soul of the commonest object, the structure
of which is so adjusted, seems to us radiant. The object achieves its
epiphany." - James
Joyce's Stephen Hero
Knowing
these things led me to a moment of realization on why I haven't produced any
literary work until now. Perhaps, James Joyce's theory has some quality of
truth too. I need to experience life more. I need to read books written by the
legends more often, and steal their secrets. Eventually apply them to my
process of writing.
Had I
met this world sooner, I would have been able to stand a step further than just
wondering how I can write. Had I been exposed to literature sooner, I would
have known 'how to write'. I have met my demon who tells me 'what to write';
yet, I can't help but to disappoint them for I know nothing how to put them
into words.
I am obsessed with the idea of teaching my nieces to love books from the very young age, in a hope that one day they could love
to write as well. So that, if I fail to
become a writer, at least they could one day become ones.
Di dunia yang
penuh dengan HARAPAN ini kita sepatutnya melihat kedepan. Tidak ada yang tahu
persis apa yang akan terjadi di masa depan.
Mempertahankan
budaya adalah suatu hal yang baik. Namun, jika budaya itu sendiri mengandung
'sifat yang menyulitkan' di masa depan, alangkah baiknya jika mengadopsi budaya
yang berasal dari kultur luar.
Pengadosian
budaya luar selalu menjadi momok yang menakutkan bagi semua bangsa tanpa
terkecuali, karena pada dasarnya hal yang semua bangsa inginkan adalah hal yang
sebaliknya - menjadi panutan bagi bangsa lain. Ambisi seperti inilah yang
menjadi salah satu alasan penjajahan di masa lalu.
Topik seperti ini
bukanlah topik masa lalu. Bahkan hari ini banyak bangsa yang masih berambisi
untuk merealisasikan ide ini kekehidupan nyata. Ada bangsa yang secara sadar
ingin menghapus pengaruh bangsa luar dinegaranya disegala bidang, termasuk
bahasa. Jika dimasa lalu ada kata yang diadopsi dari bahasa lain, maka saat ini
usaha yang ia ingin terapkan adalah menghapus 'kata' itu dari kamus bahasa
negara itu, jika perlu.
Kondisi dunia
yang penuh dengan egoisme dan ambisi seperti inilah yang menjadi penghalang
tertegaknya PERDAMAIAN di muka bumi ini. Apa salahnya mengadopsi budaya luar
demi mempermudah berlangsungnya hidup. Kenapa harus berambisi mendominasi
budaya lain. Jika ada hal yang besar yang datang dari budaya A, pasti akan
diadobsi oleh budaya B.
Nasionalisme,
tentu tidak selalu berujung pada ketertutupan mental. Penggunaan kadar
nasionalisme yang benar akan berujung pada hal yang menguntungkan, seperti
tidak mudah dibodohi oleh negara lain. Mengingat hal seperti mungkin saja
terjadi.
Namun, alangkah
indahnya dunia ini jika kita bisa hidup seperti manusia-manusi pra-BERBOHONG
ditemukan, seperti yang terjadi didalam film "The Invention of
Lying," sehingga kita tidak perlu mencurigai bangsa luar untuk menikuk
dari belakang.
Hari ini hal yang
saya secara sadar inginkan adalah bangsa Indonesia, bangsaku sendiri, untuk mendaposi sistem pemberian nama pada
anak. Didunia globalisasi saat ini, alangkah eloknya jika kita mengadopsi
sistem nama yang terdiri dari "NAMA DEPAN" dan "NAMA
BELAKANG." NAMA BELAKANG adalah tempat dimana nama keluarga dicantumkan.
Dalam kata lain, setiap anggota keluarga akan mencantumkan nama belakang
tersebut.
Kalau ada yang
bilang "bukannya hal itu sudah ada dimasyarakat kita," maka saya akan
dengan langsung mengiakan. Tapi, hal yang perlu kita ingat adalah itu terjadi
bukan karena peran pemerintah. Itu terjadi karena keluarga yang sudah
mengadopsi budaya seperti ini, memang memiliki budaya sedemikian rupa, seperti
penggunaan marga pada suku Batak. Kasus lain adalah karena status keluarga
tersebut sebagai keluarga ningrat. Tentu jika berasal dari keluarga ningrat,
adalah hal yang sangat rugi jika tidak menyantumkan nam besar keluarga, buka?
Selebihnya,
mungkin karena mereka telah terekspos ke budaya luar. Atau karena telah sudah
pernah mengalami betapa sulitnya hidup diluar dengan hanya memiliki nama yang
terdiri dari hanya SATU kata, seperti saya sendiri. Sulit yang dimaksud disini
adalah dalam proses administrasi ketika tinggal dinegara tersebut. Ketika
tinggal disebuah negara pasti kita akan dihadapkan pada banyak proses
birokrasi, seperti pembuatan recidence permit (surat izin bedomisili.) Petugas
immigrasi akan sangat dipusingkan oleh permasalahan yang simple ini. Karena
sistem didalam komputer yang memang telah menetapkan bahwa NAMA DEPAN dan NAMA
BELAKANG itu berada pada kolom berbeda. Tidak halnya dengan negara kita
tercinta Indonesia yang menyediakan hanya satu kolom pada setiap formulir, FULL
NAME. Sehingga ketika satu umat manusia hidup dan tinggal di Indonesia dengan
nama yang terdiri dari hnaya satu kata, tidak akan pernah berhadapan dengan
masalah administrasi.
Apakah sudah
saatnya pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan untuk mengganti template
formulir di Indonesia? Terutama dibagian kependudukan dan dibagian petugas yang
berwenag dalam mengeluarkan surat Akta Kelahiran, karena disanalah awal dimana
nama seseorang (anak, bayi, manusia) terdaftar.
Atau Indonesia
bisa juga melakukan hal yang Turki pernah lakukan diawal awal terbentuknya
negara Turki republik, yaitu mengeluarkan UUD penggunaan nama keluarga di tahun
1934 yang berbunyi bahwa setiap penduduk wajib menyantumkan nama keluarga.
Sehingga dengan begitu setiap anak Indonesia yang memilik kesempatan untuk
hidup di Luar Negeri tidak akan menghadapi kesulitan dalam proses administrasi
di kantor imigrasi, sekolah dan lain-lain. Hal yang simpel tapi bersifat sangat
penting.
Adhari
Mahasiswa S1
Jurusan Sastra
refersensi:
https://en.wikipedia.org/wiki/Turkish_name
Ceritanya berasa
hidup di bab ketika Sabari rela menumbalkan dirinya demi menutup aib yang akan
menimpa Lena, jika melahirkan anak tanpa AYAH. Sejak bab itu, watt ceritanya
cukup konstan hingga halaman terakhir. Apalagi ketika mengetahui bahwa hadirnya
'penyu' dalam cerita ini bukan tanpa alasan.
Karena telah
membaca buku Hirata yang lain, wajar rasanya jika saya mengatakan bahwa unsur
budaya masyarakat melayu dalam novel ini cukup kental, sama halnya dengan
novel-novel Hirata yang lain. Sempat saya berfikir bahwa, sudah saatnya Hirata
mencoba hal baru. Opini saya berubah berangsur-angsur ketika menyelesaikan bab
demi bab, terutama bab ketika Sabari menumbalkan dirinya demi Lena dan
seterusnya. Sebagai pembaca ingin rasanya ketika membaca buku seorang penulis,
kita diberikan sedikit surprise. Jangan sampai terlalu banyak kesan
familiaritas dalam setiap buku yang di tulis.
Tema yang dibahas
dalam novel ini:
#budaya sahabat
pena yang sempat buming di tahun 90 dan tahun-tahun sebelumnya
#budaya beradio
(hal yang sudah pernah Hirata bahas di novel sebelumnya, termasuk di Laskar
Pelangi)
#Unrequited Love
#Penyebutan novel
'Love in the Time of Cholera'
#Budaya berpuisi
(Terdengar familiar)
#Hubungan Antara
Ayah dan Anak
#Pertualanagn
Menjelajahi Nusantara (khususnya Sumatra)
Hal yang sedikit
membuat sesak dari buku ini adalah halaman-halaman paling awal dan akhir,
dimana testimoni dari seluruh media yang ada di planet bumi ini dicantumkan,
dan cover-cover novel Andrea Hirata yang yang di publish di negara lain di
pasang semua. Siapa yang tidak mengerti bahwa ini semua demi kepentingan
advertisement. Tapi cukup berimbangalah dengan gaya tulisan Andrea Hirata yang
penuh hiperbola. Apalagi dalam penyebutan nama-nama perempuan yang sahabat
Sabari coba dekati. Mungkin hal yang seperti yang membuat awal-awal novel cukup
menarik nafas..
Dalam novel ini
ada kombinasi film-film yang diperankan Adam Sandler dan film/novel garapan
Nicholas Sparks. Pernuh hiperbola dan sentimen. Juga mengandung pesan moral.
Gaya penulisan
yang kental dalam novel ini:
"Tentu
tokoh kita tidak membiarkan begitu saja perbuatan Dinamut yang kurang ajar
itu." Hal 368
Hal
ini sedikit beralasan ketika membaca sampai akhir. Karena di akhir bab narator
kemudian mengambil kuasa untuk meyakinkan pembaca bahwa cerita ini adalah
cerita yang narrator dapat dari seorang temannya yang ia kenal ketika mereka
sama-sama tinggal di Bandung. Dalam istilah lain, kalau di bab-bab sebelumnya
kehadiran narator yang mengikut campuri cerita kadarnya sedikit, didalam bab
terkahir akhirnya penulis secara penuh mengambil kuasa.
Foreshadowing
adalah salah satu figure of speech yang berfungsi sebagai pemberi aba-aba bahwa
akan terjadi sesuatu di dalam bab tertentu dalam novel atau cerita tersebut.
Dalam
novel ini penggunaan kura-kura adalah contoh dari Foreshadowing. Awalnya kita
menganggap kehadiran kura-kura dalam novel ini hanyalah sebuah penghias cerita,
tapi ternyata kura-kura menyimpan cerita yang sangat menarik yaitu untuk
mengenalkan karakter lain dan kehidupannya di dunia lain, Australia.
Kalau
kita membaca secara teliti, kita akan menemukan bahwa cerita dalam novel ini
tidak berlangsung secara berurutan dari A sampai Z. Tapi berawal dari tengah,
kemudian kembali ke masa lalu, kemudian kembali ke masa kini. Penggunaan sistem
penulisan berbeda ala post-modernist selalu membuatku tertarik untuk membaca.
Namun dalam buku ini ada sedikit harapan pribadi, seandainya Andrea
menyantumkan tahun di setiap judul bab. Itu akan memudahkan kita sebagai
pembaca untuk mensyncronisasi cerita didalam momori kita.
Kalau
ada yang berargumentasi bahwa kalau itu dilakukan maka ke-asyikan membaca akan
hilang? Tidak juga. Penggunaan gaya tulisan ini bukanlah hal yang baru.
Buku-buku karya Elif Shafak hampir semua menggunakan teknik ini. Dan dia juga
selalu memberikan kode di awal bab, bab ini lanjutan dari cerita dalam masa
mana, dan seterusnya. Begitu rasanya akan lebih terorganisir dan mudah di
mengerti.
Sekian…
Adhari
Mahasiswa
S1 Jurusan Sastra
WATCHING
television and reading history books today make me question my own sanity. On
television I watch news upon news about refugee crisis. Most of the refugees
are coming from middle-eastern countries such as Syria, Egypt, Iraq, and etc
who face so much threat in their own countries that force them to seek for a
safer place. It just happens that Europe is the safest place by far that fits
their definition of safe. The crisis occurred due to the fact that most of
European countries reject their existence. As a result, they are made to run
like animals who do not deserve any help. Some overtly do it, others pretend
want to help but behind the scene they try their best not to let them in too much. One of the reasons that come to the
surface was they are afraid that "this tsunami of refugees will islamise
the continent."
History books
that I read happen to have tight relationship with the era where 'colonization'
has its fame. The history books I read proudly show how great Europeans were;
it could be seen through their ability to colonize and exploit all the other
four continents: America, Africa, Asia and Australia. The way histories told
were very proud, as if colonizing and exploiting those continents were fine and
totally normal. Begging for help, however, is seen for something unacceptable.
Even though if we could try see deeper those refugees just desperately want
some help. And if Europeans were willing to open up their hearts to help, it
actually would not be a big favor at all. We could even see it as giving back
what they had taken in the past. It is so funny how universe works. No matter
how inhuman you took others' possessions away, universe will always try to give
it back through unexpected way. That of course was not the reason why refugees
flooding Europe. They do that naturally because they have too. Otherwise they
will have to compromise other possibility, DEATH.
On other channel,
I came across a news about organizations that claims themselves as the ones who
maintain peace in the world, or that is what they were built for from the first
place. And one of the sentence I needed to quote from the spoke person of that
organization is "we have to see the world as a no border place. Especially
when it comes to the idea of helping others who need help." Here we are
witnessing the reality show where hundreds and thousands people beg for help
but we raise our hands up saying "NO! THANK YOU"
|