Ulang tahun kali ini aku tak perlu berharap banyak. Allah telah memberiku kado di muka. Aku berdoa agar tahun ini aku bisa dipertemukan lagi dengan keluargaku, dan Allah menjawab doaku itu. Inshaa Allah setelah empat tahun terpisah dengan keluarga, di akhir bulan Juni nanti aku akan berkumpul lagi bersama mereka.

*****

Bagiku ulang tahun hanyalah momen untuk merefleksi diri. Dari angka yang bertambah kira-kira adakah sisi dari diriku yang berubah. Apakah perubahan itu condong ke hal yang lebih positif atau malah sebaliknya.


Selama 22 tahun ini hidup telah mengajari ku banyak hal dan terus mengajari ku banyak hal. Dan aku sangat bersyukur dengan segala pelajaran yang hidup dengan rela hati berikan padaku.


Di umur yang ke 22 tahun ini aku memang belum berhasil membuktikan diriku sebagai seorang yang sukses, seperti yang ada dalam persepsi masyarakat. Aku belum lulus kuliah. Aku belum mendapatkan kerja. Tapi satu hal, aku merasa bahwa aku semakin mengenal hidup. Sangat penting dalam hidup ini untuk menyadari keberadaan kita sebagai individu.


Aku sadar bahwa hidup ini penuh dengan cobaan dan aku tidak akan membiarkan cobaan hidup itu mendominasi diriku. Setiap kali ada cobaan aku akan terus mengingatkan diriku bahwa keberadaan mereka hanya sementara, yang abadi adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Walaupun kebahagiaan itu bentuknya tidak terlihat dan teraba.


Bahagia dalam definisiku adalah mandiri secara ekonomi. Aku akan sangat bahagia sekali jika aku berhenti merepotkan orangtua ku tentang masalah keuangan. Aku akan sangat bahagia melakukan apapun selama yang aku lakukan itu murni tanpa harus mengorbankan jerih payah orang lain. Aku ingin hidup mandiri. Aku akan sangat bahagia sekali saat aku mampu membeli buku tanpa ada hambatan keuangan. Menurutku semua individu harus mendapatkan akses ke buku. Buku adalah ilmu yang sesungguhnya. Bukan institusi pendidikan!

Resolusiku untuk tahun depan: aku berharap tahun depan aku akan lulus sarjana. Dalam melanjutkan hidup paska sarjana, aku berharap agar Allah memberiku kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik lagi - baik itu berupa melanjutkan pendidikan S2 maupun bekerja.

Untuk tahun 2016 ini aku sangat bersyukur atas segala pelajaran hidup yang engkau berikan padaku ya Allah. Aku sangat bersyukur engkau masih terus berada didekatku ya Allah. Tenagkanlah batin ini, tenangkanlah pikiran ini. Tetaplah berada di dekatku ya Allah. Jangan biarkan aku tersesat dalam hidup yang penuh dengan jalan tumpu ini.

Adhari








Liputan saya mengenai acara Harika Endonezya ketiga yang publish di website PPI Turki


Tim Display dan Pameran
Dalam upaya mengenalkan Indonesia ke masyarakat Turki, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Turki (KBRI Ankara) berkerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia wilayah Izmir (PPI Izmir) mengadakan sebuah malam kebudayan Indonesia yang bertema “Unity in Diversity” atau “Bhinneka Tunggal Ika”. Tema ini segaja dipilih karena dianggap paling mampu merepresentasikan keberagaman nusantara, baik dari segi etnisitas, budaya, maupun bahasa.

Acara yang diberi nama “Harika Endonezya” atau “Indonesia Sempurna” ini adalah program yang rutin dilakukan oleh KBRI Ankara. Sejauh ini program serupa telah dilakukan dua kali berturut-turut di kota Ankara. Kesuksesan acara Harika Endonezya sebelumnya membuat pihak KBRI Ankara berinisiatif untuk melakukan acara serupa di kota-kota lain di Turki. Untuk Harika yang ketiga ini, misalnya, KBRI Ankara memilih kota Izmir setelah mempertimbangkan bahwa Izmir merupakan kota terbesar ketiga di Turki.

Dalam sambutannya, Duta Besar Republik Indonesia untuk Turki, Bapak Wardana, mengungkapkan bahwa tujuan dari Harika Endonezya ini adalah untuk mengenalkan Indonesia ke masyarakat Turki. Selain itu, lanjut Pak Wardana, Harika Endonezya juga diharapkan mampu menghibur masyarakat Turki melalui fotografi, musik, tarian dan makanan Indonesia. Rencananya setelah kota Izmir, Harika Endonezya yang ke empat akan dilaksanakan di kota Istanbul pada bulan Oktober. Dalam kesempatan tersebut Bapak Wardana juga mengajak masyarakat Izmir untuk ikut serta dalam kompetisi pidato berbahasa Indonesia. Dua Pemenang akan dihadiahi tiket pulang-pergi ke Indonesia untuk mengikuti workshop budaya Indonesia di Jakarta dan Yogyakarta. Selain itu, pemenang juga akan dihadiahi kesempatan untuk menghadiri langsung upacara kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 agustus 2016 nanti.

Poster Harika Endonezya 3

Harika Endonezya yang ketiga ini dihadiri oleh Bapak Wakil Gubernur Provinsi Izmir Uğur Kolsuz, Bapak Wakil Wali Kota Izmir Dr. Sırrı Aydoğan, para konsulat negara-negara yang berada di Izmir, juga segenap kalangan pengusaha dan masyarakat Izmir sekitarnya.

Acara yang berlangsung tanggal 20 Mei 2016 di gedung Atatürk Kültür Merkezi, Konak, Izmir ini disusun menjadi 3 bagian acara yaitu Display dan Pameran, Resepsi Cocktail, dan acara inti yaitu pertunjukkan kesenian Indonesia.

Di dalam bagian Display dan Pameran tersendiri ada tiga stan yaitu pertama, stan brosur dan booklet yang berisi tentang informasi pariwisata Indonesia. Kedua, stan foto pariwisata Indonesia yang dipenuhi oleh lebih dari 40 foto yang bertema sangat beragam mulai dari indahnya alam Indonesia, sampai keunikan budaya Indonesia seperti foto lompat batu dari kota Nias. Ketiga, stan busana Indonesia yang disediakan khusus agar para pengunjung dapat mencoba langsung mengenakannya. Sebagai sandingan, stan busana ini juga dilengkapi dengan bingkai Instagram, agar para pengunjung bisa berfoto dengan gaya kekinian. Selanjutnya adalah stan alat musik dan pernak-pernik Indonesia, yang di dalamnya terdapat alat musik seperti angklung, gamelan dan wayang kulit.

Setelah awalnya mata para pengunjung disuguhi oleh Indahnya Indonesia melalui fotografi, alat musik dan kain Indonesia yang sangat detail, selanjutnya pengunjung juga diberikan kesempatan untuk memanjakan indera perasanya dengan sajian makanan ringan Indonesia seperti risoles, bolu kukus dan martabak telur.

Tak hanya itu, panitia Hakira Endonezya juga mencoba membawa pengunjung lebih jauh lagi dalam memanjakan indera pengelihatan dan pendengaran mereka secara bersamaan, dengan suguhan penampilan tarian Indonesia seperti: Tari Saman Gayo, Tari Kipas, Tari Piring, Tari Rapa’i Geleng, Tari Jaipong, Tari Yapong danTari Zapin. Demi menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia juga mampu berintegrasi di Turki, salah satu tarian khas Turki pun ditampilkan seperti Tari Horon dari daerah Laut Hitam. Selain penampilah tarian tradisional tersebut, ada juga penampilan akustik menggunakan angklung dan nyanyian bebahasa Indonesia, Turki maupun bahasa Inggris.

Kebehasilan Harika Endonezya tersebut dapat dilihat dari decak kagum para pengunjung yang mengatakan bahwa mereka sangat beruntung telah hadir di hari tersebut. Ada juga yang berharap agar acara ini berlangsung hingga esok hari, agar mereka bisa membawa sanak saudara mereka untuk merasakan budaya Indonesia dalam sehari. Paling mengagumkan adalah pengunjung yang sengaja hadir karena mereka telah berniat sejak lama untuk mengunjungi Indonesia, dan dengan menghadiri Harika Endonezya tersebut semakin mantap untuk mengunjungi Indonesia musim panas tahun ini. Dengan kata lain, salah satu misi dari Harika Endonezya telah terbukti keampuhannya, yaitu meningkatkan turisme Indonesia.

Dengan begitu, rasanya bukanlah sebuah hiperbola untuk mengatakan bahwa acara Harika Endonezya ketiga yang berlangsung di kota Izmir kali ini adalah sebuah acara dengan kombinasi yang paling sempurna. Hal itu juga telah menjawab makna dari penamaan “Harika Endonezya” itu tersendiri yaitu bukan hanya karena alam Indonesia yang sempurna, tapi juga menggambarkan keinginan untuk merepresentasikan kesempurnaan Indonesia itu tersendiri.
Nge-blog masih menyisakan racun yang ia tusukkan pada tubuh proses kreatifku beberapa tahun lalu. Aku masih terbuai oleh tusukan anak panah dari dewa cinta yang untus langsung dari kayangan Perbloggan. Walaupun tak sering aku memiliki perasaan ganda: antara senang dan kecewa. Senang, karena menulis memiliki efek terapi bagiku. Setiap kali satu tulisan selesai, itu dengan otomatis meningkatkan kwalitas gizi kepercayaan diriku bahwa aku mampu melakukan sesuatu. Kecewa, karena ternyata walaupun aku merasa sangat bangga atas apa yang aku kreasikan melalui tulisanku, tulisan-tulisanku masih gagal untuk mengikat minat pembaca. Tulisan ku masih gagal menjerat minat pembaca untuk mengutarakannpendapatnya tentang tulisan tersebut.

Tulisan pada hakikatnya hanyalah pendapat individu. Layaknya sepeti pendapat atau opini lainnya, tidak akan lengkap tanpa komentar dari pada pembaca. Sama halnya seperti berada di forum debat, tapi lawan debat memutuskan untuk berekting diam. Saya jadi bingung apakah argumentasi saya besifat mutlak benar, atau malah sebaliknya, salah dengan sesalah-salahnya sehingga mendapat jawaban pun tidak layak.

Iya, memiliki peliharaan pribadi berupa blog memang multifungsi. Pada momen-momen tertentu ia berubah menjadi psikiater yang mampu menangkan diri dengan mengatakan: "rileks, tarik nafas dalam-dalam, sekarang keluarkan. Sudah merasa enakan? Sekarang ceritakan apa yang ada dalam pikiranmu yang membuat dadamu sesak?"

Dilain waktu blog bertransformasi menjadi cermin ajaib yang akan menjawab dengan jujur pertanyaanmu. Layaknya cermin yang ada di dongeng-dongeng, cermin ini pun sangat langsung ke akar permasalahan. Kalau tulisanmu minim komentar, artinya kamu tidak memuaskan pembaca. Artinya kamu adalah penulis kelas rendahan.

Aku sangat sadar akan hal itu. Karenanya, sejak awal aku membuka aku blog ini, aku langsung bertekad untuk mempergunakan blog ini untuk medewasakan gaya menulisku. Berefleksi ke 3 atau 4 tahun yang lalu, ku akui aku merasa lebih baik. Sekarang aku pribadi lebih percaya diri dengan gaya tulisan yang aku lampirkan.

Ketika blog saja gagal untuk mengikat pembaca, rasa-rasa aku memang perlu berfikir ulang tentang niatku menjadi penulis profesional. Setidaknya untuk sementara waktu. Menulis adalah profesi yang sangat mahal. Bayaran untuk menulis ini bukanlah uang, tapi waktu. Siapa yang bisa meminjamkan waktunya untuk para penulis? Mereka butuh waktu minimal beberapa bulan atau tahun untuk mengasingkan diri dan mengerumuni dirinya dengan bacaan. Setelahnya mereka menulis karya yang sangat penuh akan makna. Karya yang mampu membuka mata para pembaca akan keberadaan kehidupan lain selain hidupnya sendiri. Atau terkadang, karya itu juga berfungsi sebagai statement akan keadaan yang mereka sedang alami. Mereka mengalaminya, namun mereka tidak mampu untuk mengungkapkan nama perasaan yang mereka alami. Terjadilah proses pengidentifikasian, lalu kata seperti "karakter dalam tulisan ini sangat menggambarkan pribadiku" pun terucap.

Cita-cita ku untuk menjadi penulis tidak akan mati begitu saja. Saya tidak akan dikalahkan oleh sisi cengengku. Namun sisi realistisku mengatakan, untuk saat ini akun akan fokus untuk mengumpulkan amunisi agar kedepannya bisa menulis dengan leluasa. Setelah lulus kuliah sarjana S1 aku mungkin akan melanjutkan S2 atau mungkin akan langsung kerja. Iya, aku akan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar aku bisa pensiun dini dan beralih ke profesi sejatiku. Aku tidak masalah untuk bekerja pada bagian yang mungkin aku tidak suka, kalau memang itu adalah satu-satunya jalan untuk bisa menulis.

Sungguh mustahil jika suatu haru aku langsung berteriak, aku tidak perduli untuk cari duit. Aku hanya ingin menulis. Ada banyak hal perlu dipikirkan terutama keluarga. Aku tidak mau keputusanku hari ini akan membuatku menyesal dikemudian hari. Satu hal yang akan membuatku menyesal dikemudian hari adalah ketidakmampuan mengakomodir keperluan anakku dalam menuntut ilmu, dalam berpacu di dunia pendidikan. Karena aku sadar betapa kekuranganku berasal dari ketidakmampuan lingkunganku untuk berpartisipasi dalam membuat diriku untuk benar-benar bisa. Jadi, benar menulis adalah satu-satunya hal yang aku impikan. Namun, aku tidak serta-merta menyerahkan jiwa dan ragaku padanya. Mengingat idealisme dan realitas adalah bagaikan air dan minya, mereka tidak akan bisa kawin.

Oxymoron
By Adhari
 
 
Romanian Anthenium, Bucharest
 
Dia selalu menjadi buli hanya karena menyukai cerita cinta. "Kamu itu laki-laki!," teriak siapapun yang mendekatinya. Namun, dia tidak perduli. Menurutnya setiap manusia memiliki satu bahasa yang hanya orang itu sendiri yang mampu mengerti. Bagi Randi romansa cinta adalah bahasa itu. Bahasa ibu yang dianugerahkan tuhan kepadanya sejak lahir.
 
Suatu hari Randi bersabda "tahukah kalian, hanya cinta yang bisa mendamaikan dunia. Cukuplah cinta yang perlu bertebaran menyentuh setiap butir pasir dilautan. Hilangkan semua dendam dan amarah karena itu akan menciptakan malapetaka lainnya."
 
Seperti biasa, bahasa yang Randi gunakan terlalu sulit untuk dimengerti oleh kaumnya. Sampai-sampai Randi sendiri mengharapkan keberadaan semacam hadits yang bisa menjelaskan secara mendetail isi dari firman yang ia muntahkan. Atau kesepakatan alim ulama, sehingga dalil-dalil itu tidak terlalu vague. Nihil, hanya Randi sendiri yang mengerti yang ia katakan dan kali ini ia sendiri pula yang harus menjelaskannya kepada umat. Darinyalah asal firman, hadits dan dia pula perawi dari semua kata-kata yang keluar dari ronga mulutnya. 
 
“Dengarin nih!” ujar Randi, “Seni, perfilman dan sastra adalah buah hati dari sejarah. Sejarah manakah yang ingin kita tunjukkan kedunia? Apakah sejarah yang kelam atau sejarah yang manis. Demi kebaikan dunia, saya sendiri merasa bahwa kita tindak pantas untuk mengingat kelamnya masa lalu! Kerena hal itu hanya akan memupuk dendam yang terkubur dilubuk hati. Bagaimana kalau kita cukup menyebarkan cinta saja? Dengan demikian dunia akan penuh dengan kebahagiaan."
 
Menanggapi khutbah Randi, kaum yang berada disekelilingnya hanya diam. Entah diam karena sepakat atas argumentasi yang diutarakan oleh Randi atau diam karena mereka sadar bahwa apapun pendapat mereka Randi pasti bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Kemungkinan ketiga adalah, sang kaum tidak mengerti sedikit pun bahasa sang rasul si pembawa berita. Sebuah cliche bahwa sang pembawa berita harus memiliki kemampuan untuk berbicara diatas manusia rata-rata - harus filosofis dan berbelit-belit.
 
Sepertinya memang keajaiban lah yang sangat dibutuhkan orang-orang itu. Keajaiban bahwa suatu hari akan lahir seorang alim yang mampu menafsirkan kata-kata kelas kakap yang utarakan Randi kepada mereka, dengan bahasa yang sanggup mereka mengerti.
 
"huft……." kata Ari yang muak dengan perdebatan yang tidak berhaluan,
"sudah ngomong yang lain saja. Kepala ku saat ini sudah tidak memiliki ruang untuk berpikir hal-hal yang berat. Atau bagaimana kalau kita makan bakso saja?"
"Hayu….. Ngapain kita duduk dibawah pohon ini terus. Hayu ke kantin!"
 
Dikantin…..
 
Randi masih belum puas dengan reaksi yang dia dapatkan dari teman-temannya. Layaknya seorang misionaris, Randi merasa terpanggil untuk menjelaskan dengan lebih detail lagi. Sehingga teman-teman disekitarnya bisa hadir pada satu titik tertentu dimana mereka bisa sepaham, se-ia dan se-kata. Dimana mereka bisa mengucapkan ikrar janji bahwa mereka telah berkonversi kedalam pehaman yang diciptakan dan dianut oleh Randi, PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
 
"Sekarang, dibagian kata-kataku yang mana yang kalian tidak mengerti? Aku merasa bahwa ku sudah menjelaskan semuanya dengan sangat simpel dan mendetail"
 
"Ok.. Gini deh. Kalian kira berapa banyak orang yang termotivasi untuk pergi perang hanya karena nonton film yang mengagungkan salah seorang tokoh didalam film itu. Atau karena tokoh didalam film itu menyebarkan pesan bahwa perperangan adalah satu-satunya cara untuk mendaptakan pengakuan bahwa sang individu itu adalah seorang hero atau anak muda?”
 
“Pesan macam apa itu?” lanjut Randi “Apakah kita ingin perperangan terus-terusan terjadi? Apa kita ingin mendoktrin manusia diseluruh dunia untuk menyukai perperangan; hanya karena ingin merasakan kepuasan menjadi seorang hero, yang pada dasarnya hanyalah bumbu film belaka?"
 
Tidak lengkap rasanya jika Randi berkhutbah tanpa menyebutkan dalil. Kali ini ia berbicara tentang novel yang baru saja ia selesaikan. Membaca novel itu menurut dia adalah sebuah momen kepuasan batin. Walaupun mulanya ia sangat skeptis dengan judul novel itu "SLAUGHTERHOUSE-FIVE or THE CHILDREN CRUSADE, A Duty With Death." Didalam buku itu Randi menemukan bayangan dirinya sendiri; tentang bagaimana seorang penulis merasa kesulitan untuk menceritakan pengalamannya selama Perang Dunia Kedua di Dresden. Seperti penulis itu, Randi juga sangat terobsesi menjadi seorang penulis namun Randi belum juga mampu mengahasilkan satu karya pun. Dan yang terpenting adalah penulis yang sekaligus narator didalam buku itu adalah seorang yang anti-perang. Hal itu membuat Randi semakin yakin bahwa buku ini sebenarnya adalah karyanya yang terlanjur didahului oleh orang lain, perasaan yang Randi sering alami ketika membaca buku. Dan Randi akhirnya berkongklusi bahwa itu hanyalah bagian dari fenomena writer’s block. "Bagaimanapun, mungkin dulu jiwaku sudah dahulu menghampiri dunia untuk membantu penulis hebat itu!" gumamnya dengan senyum lebar.
 
"Kalaupun bukan Romansa Cinta, hanya ada satu pilihan yang boleh di toleransi," lanjut Randi mengenai novel yang baru saja ia sebutkan "yaitu cerita yang tidak mengagungkan perang itu sendiri, seperti novel yang baru saja aku sebutkan."
 
Benar saja. Novel itu sangat anti-mainstream hero. Alih-alih menggambarkan seorang pahlawan seperti Rambo, dia menceritakan kehidupan seorang yang bernama Billy yang sangat tidak maskulin. Bahkan hampir seluruh bab buku itu menggambarkan Billy sebagai sasaran bully selama perang. Menggambarkan betapa menyedihakannya nasib Billy selama perang. Hanya ada satu karakter yang baik pada Billy saat berada di Dresden, yang dia pun pada akhirnya ditembak mati karena mengambil teapot milik orang lain.
 
Tidak lupa pula Randi menjelaskan dengan mendetail tentang puisi karya salah satu pujangga perperangan, Wilfred Owen “Dulce Et Decorum Est.” Bagian terfavorit Randi adalah bagian dimana Owen mengatakan bahwa kata “dulce et decorum est” sebagai sebuah kebohongan yang jadul. Kata yang bermakna “sungguh sangat indah dan berharga untuk mati untuk bagi sebuah negara,” itu adalah hal yang Randi sangat tidak terima. Karenanya sama dengan Owen, Randi ingin menyebarkan faham yang sebaliknya. Faham PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
 
Tiba-tiba suara lantang mencuri perhatian sekumpulan pemuda yang sedari tadi sudah tidak memiliki minat untuk mendengar lanjutan ceramah Randi. Dia adalah seorang perempuan! Seluruh mukanya tertutup oleh kaca mata besarnya. Namun sangat terlihat elegan dengan hidung mancung yang dianugrahkan tuhan padanya.
 
"Kamu tidak pernah dengar ungkapan Catharses ya?"
 
Randi melihat kekanan dan kekiri. Mencoba memastikan apakah perempuan berkacamata itu berbicara padanya. Lalu ia kembali menatap perempuan berkaca mata itu seraya memperagakan gerakkan (menunjuk jari pada diri sendiri) dan mengatakan "SAYA?" memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar ditujukan padanya.
 
Perempuan berkaca mata itu tidak memberikan tanda-tanda. Membiarkan Randi menikmati kelinglungannya. Ia memilih untuk melanjutkan kata-katanya yang ia yakin butuh penjelasan.
 
"Sebenarnya ini itu permasalahn kuno. Orang purba saja sudah berhenti untuk memperdebatkan ini. Itulah mengapa aku bertanya apakah kamu pernah mendengar kata 'Catharses'?" perempuan berkaca mata itu beretorika.
 
Randi merasa tersinggung. Jadi selama ini si perempuan berkacamata itu telah menguping pembicaraannya, Randi membatin. Ia tidak bermasalah sama sekali untuk menambah jumlah pengikut, tapi Randi ingin memulainya dari lingkungannya sendiri dulu. Layaknya seperti para pembawa faham baru lainnya. Sebelum nantinya menyebarkan pemahaman tentang PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALU ROMANSA CINTA itu secara luas.
 
"Aristoteles sudah pernah membahas ini didalam karyanya 'POETICS' tentang tragedi. Pada zaman itu tragedi sempat manjadi perdebatan yang sangat serius. Banyak dari mereka merisaukan efek yang bisa ditimbulkan oleh tragedi, seperti ketakutan yang kamu miliki itu."
 
Randi semakin tidak tenang. Ia merasa dipermalukan oleh perempuan berkacamata itu. Namun dia juga tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
 
"Tidak seperti orang lain pada umumnya saat itu, Aristoteles malah mendukung pementasan tragedi. Ia menolak semua kerisauan yang di ungkapkan oleh para cendikiawan saat itu. Salah satu alasan untuk memperkuat teorinya, Aristoteles memperkenalkan kata 'catharses'"
 
Radi semakin menunjukkan rasa penasaran tentang penjelasan wanita berkaca mata itu. Kali ini Randi melihat hal yang berbeda ada pada wajah perempuan berkaca mata itu. Entah apa pun itu. Yang jelas seperti ada binaran air laut ketika berjumpa terik matahari.
 
"yaitu efek yang dihasilkan oleh tragedi itu: rasa iba dan takut dan emosional. Bukannya malah seperti yang kamu katakan tadi, mas berbaju biru - namanya siapa mas?" lanjut wanita berkacamata itu.
 
"Randi" teriak salah satu teman Randi.
 
"Begitu mas Randi,” nadanya bicaranya semakin melembut seolah mengatakan bahwa penjelasannya telah berhasi. “Jadi, tragedi atau film perang-perangan itu tidak serta merata menggugah hati para penontonnya untuk merlomba-lomba ikut perang. Tapi sebaliknya, ia membuat penontonnya merasa iba dan ketakutan sehingga mereka malah menolak untuk ikut berperang, singkatnya begitu kalau menurut Aristoteles."
 
"Ia, namaku Randi. Lalu nama kamu siapa?" Randi sudah sejak lama mengabaikan perkataan si perempuan berkaca mata itu. Dan berlari kedalam lamunannya tentang cara yang ia bisa peraktikkan dalam meraih hati wanita itu.
 
"Ranti…" jawabnya dengan rona wajah yang tersipu malu.
 
Tentu saja Randi bukan seorang yang mudah dengan begitu untuk menundukkan kepala. Didalam pikirannya ia masih ingin memperdebatkan apa yang dikatakan oleh perempuan berkaca mata itu. Tapi ia tidak melihat ada maknanya. Karena perempuan berkacamata itu telah mengquote kata-kata seorang yang namanya sudah dikenal dunia. Siapalah lah Randi untuk bersikeras dengan pemahamannya. Tetapi dalam lubuk hatinya terdalam, Randi mebayangkan namanya bisa bersanding didalam sejarah dunia dengan seorang filsuf terkenal asal Yunani kuno itu, seandainya ia sukses untuk memperdebatkan teori itu. Namun bagaimana? Randi memutuskan untuk mejadikan hal itu goal jangka panjangnya. Untuk saat ini Randi punya goal yang lebih penting, menaklukkan hati Ranti.
 
*******
 
Sementara itu Randi mendekati Ranti dengan jurus romansa cinta yang ia dapatkan didalam film-film dan novel Nicholas Sparks yang dia lahap. Dan berhasil. Dalam hubungan percintaannya, Randi dan Ranti masih kerap berada dalam perdebatan sengit terutama ketika mereka berada ditoko buku dan bioskop. Ranti ingin menonton film bergenre perang dan sci-fi, sedangkan Randi ingin menonton film romantic comedy. Namun, diluar tempat itu mereka hanyalah dua insan yang dimabuk cinta. Mereka selalu berdampingan bagaikan bebek angsa yang membentuk simbol love ketika menyatukan kepalanya dengan sang kekasih.
 
Hubungan mereka pun berlangsung hingga pernikahan. Kali ini Ranti menyerahkan segalanya pada Randi tentang jenis pernikahan apa yang akan Randi pilih. Ranti tidak bisa menyembunyikan kodratnya sebagai wanita yang menyukai hal-hal romantis. Dan Randi adalah pangeran romantis yang membuat hidup Ranti sempurna.
 
Pada saat buah hati pertama mereka lahir mereka setuju menamainya Oxymoron, sebagai gambaran hubungan ibu bapaknya yang pernuh dengan kontradiksi. Inilah sebuah cerita cinta yang tragis: tragedi romantis.
 
THE END

"When the poet's mother wondered where the poet had been conceived, there were only three possibilities to consider: a park bench one night, the apartment of a friend of the poet's father one afternoon, a romantic spot outside Prague one morning."
That is how the first page of this smart, witty, and funny novel begins. I deliberately quote that first paragraph to show that even the first page of the book has already given us hint that the whole book will be filled with interesting stories to read.
"Life is Elsewhere," is a novel by famous Franco-Czech novelist, Milan Kundera. It deals with the story of a poet name Jaromil. In a nutshell, the story begins with how Jaromil comes into existence and ends with his death.
Jaromil was brought to life when his mother was a student at a university. She was a typical of rebellious woman, who found her upbringing not so pleasant. Thus going to school was her way of rebelling her family's fate. One day her mother fell into a newly graduate engineer, and had an intercourse with him outside marriage. She was pregnant. When the young engineer reacts to the news not quite as what the mother has expected, she curses every rebellious attempt she had committed. She was hoping that the lover would take her pregnancy as a good news and they would have a happy life together, without her rich family. Quite contrary the young engineer suggested to abort the child which broke her heart even more. At the end, she decided to abuse her family's power and that worked to get the two to get married. Alas, love is no longer part of the marriage. The burn of love has been put out by the father's reaction and also the mother's dareness to make herself pregnant (as if the young engineer has not contributed to the process.) Making love for the young engineer is not equal to living with the woman for the rest of his life. For him at the time, making love is just a part of his sexual journey. As consequence, the two feel that the other has ruined the other's life.
She disgusts her husband for his reaction to the pregnancy. To react to this she prefers to think that the son will resemble Apollo, Greek god whose picture happens to be hanging at her room, not her husband. She believes with the saying what one's think and feel during the pregnancy is what the child will eventually become when he or she grows up .
Jaromil was born and mama, that is how this novel prefers to call the mother, was obsessed with her son. She records every words Jaromil has uttered. She finds Jaromil's words very poetic. Hence she calls her son a poet. That obsession is one of the things that this novel has been constructed with. The mother's obsession, and the mother's possession what bring Jaromil to his downfall.
When Jaromil was still young, he paint a picture and Mama takes that as a sign that her son is an artist. Mama praises Jaromil extensively and makes Jaromil believes he is a great painter. He was deluded for sometimes that he was one. But life proves that he is not particularly a great painter, for he is just able to paint one object, an almost sphinx-like object. And mama, again, takes that talent as her own contribution because she was thinking about Apollo when she was pregnant with him. It's her secret where the son gets its inspiration.
Jaromil has grown up, but he still cannot go away for his mother's shadows. Particularly when it comes to the facial formation. He finds his face and hair too feminine-like, which he takes as a reason why girls don't find him attractive. So he tries his best to be as masculine as possible by doing his hair so differently.
Jaromil's love story doesn't stream so smoothly. His first actual crush was with a one year older girl than him. They met at a Marxist group meeting. At this particular time he was trying to fit himself in life in terms of political choices. He seems to be in agreement with Marxist ideology. At this meeting he made an interesting argument. It catches a girl's attention, particularly a girl with eye glasses. They were very close for some times, but Jaromil's inexperience with woman drives the girl with eye glass away. He does not know how to consume love and it upsets the girl.
Another time he meets a girl with red hair, who comes from working class. By this time he was still inexperience but the girl helps him to explore his sexual life. Now Jaromil turns into a possessive man, just like the mother, who often treats his girlfriend very badly. He once said that he would not see her the same again if other men lay a finger on her, not even doctor.
One day, Jaromil was very angry because the girlfriend was late. Her excuse was that she was meeting her brother who intends to go out of the country illegally. She lied. But Jaromil has already taken her words very seriously. As he was a big supporter of the communist, he reported the news to local police and from then on the girlfriend was arrested. It went on for three year.
When she was released, she figures that Jaromil had died. Readers are told that her arrest was partly her fault and I would argue that it was also the man in his forty's fault who let her lie. Man in his forty is her other lover. Her deed has caused her family a great trouble. In fact her brother has not been released yet by the time she was released.
How di Jaromil die? He died of cold or pneumonia. A very poetic death isn't it? I personally think that what this novel tries to show is the classy and poetic-sound life of the poets, especially the romantic poets. Jaromil's personal life is considered very poetic because he lived very short life, just like the romantic poets, and his romantic obsession with love. I can't help but think of Robert Browing's dramatic monologue when I read the part where the narrator describes Jaromil's obsession over the red hair girl. He once had the thought of strangling the girl while she is sleeping, very Browing's dramatic monologue like, isn't it?
What's so special about this book:
  1. Metafiction
There are parts in the novel that breaks our focus from the fictional realm of the novel, such as in the part six "The Poet in His Forty" where the narrator tries to tell us the reasons behind his decision in constructing the story as such. The narrator also tries to theorize the life the characters are living. 
"The first part of this novel encompasses fifteen years of Jaromil's life, but the fifth part, which is longer, covers barely a year. In this book, therefore, time flows in a tempo opposite to the tempo of real life; it slows down."
This is not an analysis of the novel but part the novel. It's so interesting that the narrator who is supposed to tell the story but he the narrator also comments on the story.
  1. A work of literature that provides discussion on literary movement or style
Jaromil is the mouthpiece here. His status as a poet allows Kundera to employ theoretical preference or the perspective the characters have about arts are.
".... was no longer at all convinced that everything he thought and felt was solely his, as if all ideas had always existed in a definite form and could only be borrowed as from public library."

"....: for a poem to be a poem it must be read by someone other than the author; only then can it be proved that the poem is something more than simply a private diary in code and that it is capable of living its own life, independent of whoever has written it"

"That there were progress in the arts, he said, was indisputable: the trends of modern art represented a total upheaval in a thousand-year evolution; they had finally liberated art of obligation to propagate political and philosophical ideas and to imitate reality, and one could even say that modern art was the beginning of true history of art."

"He referred to Marx's ideas that until now mandkind had been living its prehistory, and that its true history only began with the proletarian revolution, which was the transition from the realm of necessity to the realm of freedom…………"

""A revolution is an act of violence," said Jaromil, "that is well known,and surealism itself knew very well that old-timers have to be brutally kicked off the stage, but it didn't suspect that it was one of them"" - Modernist mentality on Realist movement. Yes, Jaromil is both a modernist and a Marxist.  

(see part three no 15)
  1. Psychology
I would say that there is a sort of stream of consciousness in this novel but not quite as complicated as in Woolf's case. He the narrator goes to the character's inner mind but it is still in a tolerable amount.
The second type of psychology is the relationship between mother and son. Here the mother is the one who seems to suffer a mental disorder, since she is very possessive towards the son. She finds every woman tries to separate Jaromil from her. It's almost like the mother in D.H Lawrence's "Son and Lovers", in which the mother also has an over-obsessive feeling on the son.
  1. Politics
This novel is set in Czech when communism was first came to the country. Jaromil was part of the crowds who see communism as a solution for the social and economic gap in society. But the political tension was not so much discussed. Perhaps we can take girl with red hair's case as an example. There seems to be imposition of ideology happening in society at the time. Though Jaromil did take political action in his life, we can't see where is the narrator's stance on this. But still, politics is a big part of this novel. In fact the life of the main character, Jaromil, built up in sequence to the political tension upon which he has live his life.
  1. Jaromil's life is being compared to other prominent poets such as Shelley, Baudrillard, Rimbaud etc
(see: part four no 18)
Final thought:
This novel is so dear to me. I am so interested in the novel that talks about writer's life and his or her creative writing. How he or she comes about to become a writer. What makes this novel even grander to me is the characters' discussion on literature, arts and politics. It's the best recipe for my reading, really.