This week has been an important one for me, to be able to participate an event that I didn’t even know exist at all, yet been searching for it for years. That event is a symposium slash conference where undergraduate students, particularly from the Humanities background like me, can amplify their views on literature, philosophy, social life, world in that matter. I’ve been looking for this kind of event for years, and failed successfully. It’s not until my last year as an undergraduate students (now) that I discovered it. Turned out Ege University Izmir has been organizing this kind of event for years, and this time was their 7th. The joke is on me people, Ege University is just 30 minutes away from my university, and yet I could miss the news for years. Actually I have always found information regarding events like this, but the ones I found normally required participants to pay some amount of money (which I don’t have at all,) beside submitting paper. And it’s normally attended by professional academician I would say, people like our professors at Uni. So I refrained from participate. Now that I know it’s not the only option, I use all my power to be part of it. And to finally get to participate this year’s batch is such a great honor.

In my opinion, this event is very important and necessary because not only it enables young scholars to think critically about the world but it also encourages them to continue the old tradition of enhancing and expanding the critical thinking tradition. One of the chair women from the session said that she hoped that this event can give birth to a future Derrida, Lacan, Julia Kristeva etc. I know that’s such a high hope, but there is no harm in hoping, right?

Additionally, this event is such a great opportunity for me to meet with people with such great enthusiasm for things they believe in. They all come with voices that they want to amplify. And I believe, we all come for the same purpose. Sometimes, in our Uni, though we thirst for discussion, that’s just not happening. I don’t know what cause that to happen, perhaps the lack of forum or perhaps there is this phenomenon where only one or two people in a Uni that really go for such thing. Hence, forum or event like this is a good time for them to really go for things they love. 




IUS (International Undergraduate Symposium) is an annual event organized by Ege University Izmir to give young scholars from all over the world (particularly from universities across Turkey) a place to present their views and knowledge regarding literature, social life, and even the world. This year’s theme was “Dream” which opens lots of opportunities for participants to approach it with various lens. Having attended presentations for two days make me very positive that the old tradition of thinking critically won’t be forgotten easily. Contrary to that, it will continue to live forever. There are presenters who approach “Dream” with Psychoanalytic Criticism, Postmodernism, Feminism, and etc. Some even approach “Dream” in relation to movie making, poetry from the Romantics period, novel etc. 



I for one particularly approach “Dream” in relation to a Psychoanalytic Criticism by taking Kundera’ “Life is Elsewhere” as a case study. What I was trying to prove is that in Kundera’s novel, Kundera creates a character whose profession is also a writer. And along the way the character Kundera created, Jaromil, also creates another fictional character named Xavier. Xavier is an unconventional character. He lives from dream to dream. And in one particular dream he gets to live in he falls in love with a married woman. When her husband returned, instead of staying away from them, he initiated to kill the husband by locking him in an oak closet where he dies and turns into a skeleton. I argue that, although on the surface it seems like it’s a fictional story created by Jaromil, when analyzed further however, it’s actually part of Jaromil’s repressed desire. By comparing a work of fiction to a dream, I then analyze it like a psychiatrist would by taking Jaromil’s entire life consideration. I argue that Jaromil suffers Oedipus complex by giving three reasons: 1. His childhood and his anxious phase of lacking masculinity; 2. His choice of women; and 3. His character as a person. This obviously is a short version of my paper.

So yes, it was such a great event that I would love to join again next time. Except there is no next time. I will finish my undergraduate education next June, hence I won’t be able to join it anymore. But I would love to join an event like this one wherever it is. I believe we can find it everywhere right?

You too can join. For further information regarding event like this you can check department website of the university.




Menurut filosofi suku Gayo, ada empat hal dalam hidup ini dimana manusia tidak mampu memprediksi: perjalanan, rezeki, jodoh dan maut (langkah – rejeki – petemun – maut). Dalam arti lain, 1. Manusia tidak punya akses terhadap nasib di dalam perjalanan kehidupan didunia ini, manusia tidak bisa menduga perjalanan macam apa yang mereka akan tempuh didalam hidup ini. Bahkan kata “langkah-perjalanan” juga bisa bermakna gamblang, pejalanan sehari-hari. Kita tidak tahu apakah kita akan menginjak duri disepanjang perjalanan dan lain sebagainya. Tidak mengetahui nasib berbeda dengan tidak punya kendali sama sekali. Manusia punya kendali atas nasib yang akan menimpanya dengan cara berhati-hati dan siap sedia.

Poin pertama ini akan sangat berkenaan dengan tema tulisan saya kali ini. Saya akan menjabarkannya di paragraf selanjutnya.

Rezeki yang dimaksudkan juga bermakna sangat gamblang, bisa berupa kekayaan, skill, keturunan dan lain-lain. Manusia tidak bisa memprediksi apakah mereka akan menjadi seorang individu yang sukses di masa yang akan datang. Atau, apakah mereka akan terlahir dengan talenta yang unik yang hanya mereka yang tau. Atau, apakah mereka akan melahirkan keturunan yang baik (benih yang baik) yang akan menjadi penyelamat keluarga, agama dan bangsa. Manusia tidak akan bisa memprediksi semua ini. Namun! Namun manusia bisa sukses dengan usaha yang kuat, bisa melahirkan keturunan yang baik dengan mendidik mereka dengan baik pula, bisa memiliki talenta dengan berlatih.

Petemun atau jodoh juga begitu. Manusia tidak tau siapa yang akan menjadi jodohnya. Bisa saja teman sekelas di SMP yang kamu taksir beberapa tahun silam. Atau bisa aja orang yang tidak pernah terlintas dalam benakmu. Suatu hari kamu melakukan perjalanan ke kota A, dan tiba-tiba jatuh cinta dengan si Z dan BOOM, dia jodohmu. Tidak mengetahui siapa jodohmu bukan berarti kamu bisa diam saja, mununggu layaknya durian runtuh. Kamu harus usaha agar kamu mendapatkan jodohmu. Setidaknya usaha untuk berdoa agar jodohmu terlintas di depan matamu dalam seajaib apapun situasi itu.

Terakhir, maut atau kematian. Untuk poin terakhir ini, bukan saja kita tidak tau kapan kematian akan menjemput kita, kita juga tidak bisa berusaha untuk menjauh atau mendekat darinya. Namun ada satu hal yang bisa kita perbuat. Dengan memahami ide tentang hari akhir dan kehidupan setelah kematian, ini bisa membuat kita sedikit berusaha agar menjadi manusia yang lebih baik. Harapannya, tidak hanya untuk memiliki kehidupan didunia yang lebih harmonis dan menyenangkan, namun juga untuk kehidupan akhirat (keabadian) yang membahagiakan pula.

Keempat makna kehidupan yang kerap diulang-ulang dikomunitas masyarakat Gayo, tempat dimana saya tumbuh besar inilah yang mengingatkan saya akan kondisi saya beberapa hari kebelakang ini.

Setelah pulang dari kota Izmir akhir pekan lalu, saya merasa tidak enak badan. Asumsi saya, saya masuk angin biasa saja. Kebetulan waktu itu cuaca agak dingin. Dan selama saya menginap dirumah teman di Izmir, saya juga kedinginan. Jadi saya tidak terlalu memperdulikan. Sesampai di asrama saya minum soda. Biasanya minum soda bisa membantu mengeluarkan angin daridalam perut.

Beberapa hari setelahnya saya baru sadar kemungkinan penyebab saya sakit, si soda ini dan makanan pedas yang saya makan selama di Izmir. Iya, saya sakit asam lambung. Saya baru tahu penyakit saya hari ini setelah mengunjungi dokter. Itu pun setelah tiga hari menderita, perut panas seperti terbakar. Kenapa tunggu selama itu baru pergi ke dokter? Saya tidak ekspektasi bahwa akan separah ini. Hari pertama saya kita cuma sakit biasa yang akan berlalu begitu saja. Hari kedua juga masih heran-heran kok perut bisa sepanas ini. Hari ketika dimotivasi oleh rasa takut akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah saki. Awalnya coba pergi ke rumah sakit umum (milik pemerintah), namun karena antrian membludak akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit milik kampus (swastra).

Disinilah bagian yang saya maksud tadi. Saya yakin kita semua familiar dengan pribahasa sedia payung sebelum hujan. Saya, malah sebaliknya, saya tidak perduli ada hujan, saya mau tetap jalan ada payung maupun tidak ada payung. Sekali dua kali, mungkin hujan tidak akan berefek terlalu berbahaya ketubuh kita. Namun kalau terlalu sering hujan pun bisa membuat kita sakit. Begitulah analoginya.

Ketika berbicara tentang hujan saya sebenarnya sedang mencoba menganalogikakan fungsi asuransi, atau sigorta, kata orang Turki. Saya tidak punya sigorta! Menakutkan sekaligus senang sih. Takut kalau tiba-tiba sakit dan harus kerumah sakit. Senang karena gak perlu bayar mahal. Saya Alhamdulillah jarang sakit. Kalaupun sakit bisanya cuma sakit kepala dan flue. Namun ada kemungkin juga kan seperti yang saya alami kali ini. Tiba-tiba sakit asam lambung kumat. Padahal terakhir sakit maag atau asam lambung itu pas MTs., gara-gara makanan di asrama yang gak jelas.

Alhasil saya harus bayar mahal tadi. Buat konsultasi ke dokter aja bayar 45TL, itu belum termasuk biaya tambahan kalau nanti kebetulan dokternya nyaranin ronsen, USG, cek darah dan lain-lain. Kalau gak punya asuransi semua cek-cek ini dibayar-bayar pertahapan. Untung tadi dokternya gak nyaranin periksa begituan. (Saya berasa untung dan anah sekaligus sih). Untung karena masalah keuangan. Aneh, masa dia gak cek perut saya sama sekali. Dia cuma tanya-tanya aja. Perut saya panas, saya burb-burb terus, dll. Terus kasih resep obat. Gitu aja. Padahal saya lebih milih buat di cek sih. Setidaknya cek tekanan darah kek gitu ya.

Hubungannya dengan langkah-rezeki-petemun-maut?

Sakit adalah hal yang bisa kita cegah. Sakit asam lambung, misalnya, bisa dicegah dengan makan teratur dan jangan makan makanan yang terlalu pedas. Saya jarang makan pedas selama di Turki. Setiaknya kalau makan makanan yang disediakan di asrama. Tapi kalau sudah ke Izmir pasti lah makan pedas. Nah ternyata kondisi perut saya sudah tidak sekuat dulu. Saya gak bisa makan pedas secara dadakan. Lambung saya yang sudah terbiasa dengan makanan normal, pas makan cabe gila atau abon cabe, langsung kaget. Ujung-ujungnya asam lambungnya meningkat kan. Kedua, masalah asuransi. Asuransi itu fungsinya kan sebagai kartu ajaib jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Coba aja saya punya asuransi jadi saya gak perlu keluar duit sebanyak hari in kan. Untuk ketemu dokter bayar 45TL, obat (saya cuma satu-satu kotak dulu) 37TL.

Harusnya saya lebih mengamalkan ajaran kehidupan yang diajarkan. insyaAllah kedepannya bisa mengamalakan ajaran-ajaran ini, agar tidak berakhir dengan jutaan pengandaian.







courtesy https://business-humanrights.org

Beberapa bulan yang lalu saya sempat bekerja disalah satu lembaga bahasa di kota tempat saya tinggal. Setelah bekerja hampir tiga bulan, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti karena beberapa alasan. Salah satunya adalah upah yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan dan ketidakperdulian si manager kepada pekerja. Alasan-alasan ini bukan saya buat-buat sendiri. Saya sampai pada konklusi itu setelah berbincang-bincang dengan orang lain yang juga bekerja pada lembaga bahasa berbeda. Ditempat ia bekerja, dia dibayar 13TL perjam. Sedangkan saya, dibayar 8TL perjam. Selain itu, keterlambatan pembayaran juga menjadi masalah. Kalau terlambat tidak disengaja bukan hal yang parah. Namun keterlambatan pembayaran yang saya alami memang sudah terencana. Saya katakana begitu, karena si manager memang telah membuat sebuah policy perusahaan bahwa pembayaran gaji bukan di akhir bulan, melainkan min 20 hari setelah akhir bulan. Jadi kita kerja sebulan penuh, tapi gaji baru akan dikasih tanggal 20 bulan berikutnya. Itu pun kalau dibayar. Kalau tidak, pembayarannya bisa saja terlambat sampai akhir bulan berikutnya.

Pengalaman saya ini membuat saya berpikir tentang lingkungan kerja yang sehat. Seperti apa sih lingkungan kerja yang sehat? Saya rasa semua pekerja bisa menjawab pertanyaan ini dengan gampang. Di sisi pekerja, mereka ingin hak-hak mereka terpenuhi. Hak gaji, hak mengambil cuti, hak akan lingkungan kerja yang aman dan hal remeh-temeh lainnya. Namun pihak perusahan juga memiliki haknya, disamping kewajibannya tadi (yaitu memenuhi kewajiban akan hak para pekerja). Pihak perusahaan berhak mendapatkan totalitas kerja dan komitmen yang kuat dari para pekerja. Untuk mendapatkan sisi tengah permasalahan ini, pekerja dan pihak perusahaan harus saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Resep yang mudah bukan?

Namun kenyataannya, banyak sekali kasus dimana pekerja tidak bahagia karena pihak perusahaan bertubi-tubi mengeksploitasi mereka. Apakah itu dengan menggaji mereka dibawah upah minimum, mempekerjakan mereka melebihi jam kerja, atau kondisi tempat kerja yang tidak aman (tidak ada sistem pendeteksi api dll.) Mungkin kedua permasalahan ini sangat lazim ditemukan di Indonesia. Kondisi Indonesia yang sangat over-populated menguntungkan pihak perusahaan. Mereka tidak perlu susah payah untuk mendapatkan pekerja yang rela dibayar dibawah upah minimum. Bahkan konon mendapatkan pekerjaan saja mereka sudah merasa bersyukur. Kenyataan inilah yang menarik para perusahaan besar kelas dunia untuk membuka cabang di Indonesia dan Negara kelas tiga lainnya.
Lalu bagaimana cara mengatasi kebobrokan ini? Saya pribadi berpendapat bahwa kehadiran pemerintah sangat vital dalam menengahi permasalahan ini. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan keadilan terhadap para hak buruh perusahaan baik perusahaan yang berbentuk industri maupun usaha-usaha lainnya. Pemerintah harus menetapkan hal-hal yang harus dipenuhi perusahaan untuk memberikan izin usaha sepeti lingkungan kerja yang memenuhi standar internasional. Menetapkan upah minimum daerah serta menyediakan layanan pengaduan seandainya pihak perusahaan tidak memenuhi hak pekerja. 

Hal lain yang mungkin dilakukan adalah membentuk serikat buruh yang berfungsi untuk menyuarakan hak-hal para pekerja, memonitori kenyataan kerja di lapangan, dan jika perlu menuntu hak-hal para pekerja yang tidak terpenuhi. Didalam serikat buruh ini harus disediakan payung hukum, dimana pekerja bisa menggunakan jasanya saat berhadapan dengan hukum. Misalnya ketika pihak perusahaan menuntut si pekerja ke meja pengadilan.

Lebih dari itu, kita hanya bisa berharap agar pihak perusahaan memiliki hati nurani dengan begitu mereka bisa memenuhi hak para pekerja. Jika ingin mendapatkan dedikasi dari pekerja, pihak perusahaan harusnya tahu apa yang mereka harus lakukan.

Mari menciptakan lingkungan kerja yang sehat agar kita mendapatkan hasil yang kita inginkan. Di lembaga bahasa, misalnya, jika ingin melahirkan anak-anak yang bisa belajar bahasa dengan sukses, buatlah si guru bahagia dulu. Dengan mood yang terus bahagia, maka si akan mengeluarkan tenaganya secara optimal untuk mengajar si anak belajar bahasa bahasa. Dengan begitu hasil yang diharapkan pun bisa tercapai. Begitu juga dengan jenis pekerjaan lain.



courtesy http://www.gstatic.com



I know this is not one of the hottest movies of the year. Partially because it’s in fact an old movie, it was released in 2010. And sadly it’s also not on the top list either. Perhaps it’s too heavy for some people because it talks about real life and stuff that goes around it. Perhaps, people prefer sci-fi film more than a film that portrays a real life. Not that I despise sci-fi, I think it’s an art and people can and should express their artistic values in the ways they feel happy with. 

Personally, I think “Happythankyoumoreplease” is just one of those underrated movies who happen to struck me to the core of my heart. As an audience I do have some criteria that would make me love the movie immediately. Being of them, and also happens to be one of the themes of this movie, is a film that talks about a process of writing or the life of an author / a struggling author. I don’t why, but this kind of story always, I mean, always, wins me. Well, I do know why, I am obsessed with writing and I do struggle to get some writing done. Not blog-kind of writing, more like, a real book kind of writing. Man, you just don’t know how many unfinished draft are there in my PC. It’s just so difficult to finish a book. And knowing that there are people out there who experience the same struggle as you is just so comforting. Meaning that there is a process in which all writers-wanna-be people go through. This is quite tricky. This process I’ve been talking about, is no easy one. Not everyone can survive with it. If we’re not strong enough, it can screw you over. 


The second criteria, which is slightly personal for me, is the element of New York. Everything with New York in it is just so addictive. Coming from a person who has never been to NY, it’s a little weird, right? But who doesn’t have a dream city, a city that has been built in your mind with this ideal and even perfect quality. For me that dream city is NY. Don’t worry, I know what you people are going to say, “NY is not as you think it is” or “You will be disappointed once you go there” etc etc. Actually, I have learned to accept the fact that NY is not perfect. In fact, the perfect-less-ness of NY that makes me love it. I used to have this crazy idea in my head, that once I graduate university I will go and live in NY and become whatever I could be. I could be a cook, I know how to cook. I just need to learn more variants, that’s suitable for NY tastes. That’s before Trump became a president. Now I don’t even know if I want to go there. 

Interestingly, this film also contains a great deal of discussion over the idea of living in NY itself. So there is this couple who lives in a new way of life (I would say). They love each other, but they don’t want to get married. Very new, right? They say, they are just not that kind of people. For the woman, she doesn’t believe in the idea of marriage simply because she comes from a long family with a history of divorce. Their other polemic is that the lover thinks that he has an opportunity in LA, and he wants her to come with him. But it’s impossible because she hates LA. She thinks LA is toxic. Just like me who has a dream city, for this character, she has a nightmare city and that’s LA. They got into this huge fight over the idea of moving to LA and staying in NY. I love her line when she says, “NY is home. And you want me to leave home?” (I am smiling while writing this. It’s so beautiful)

Literature, real life in NY (fictionalized life), and art are is just killers. This film has it all, which makes me love it even more. As I said before, this film displays the life of a struggling writer who’s writing did get done but didn’t get published. So writer kind of life, right? There’s a funny and smart plot regarding this writer’s life. So one day he was on his way meeting a publisher, when he met a little child who’s separated from his foster mother in a subway. Turns out that child did it on purpose, he has a problem with his foster family. It’s not clear what the problem was, but it makes him not wanting to go back there. So, he kind of illegally let him stay with him. Over the course of his stay, the writer finds out that the kid has a talent. He is a good drawer. One day the writer confides in the kid that his life is too smooth which makes him unable to make a great writing. “You, on the other hand,” he said “has a handful of material”. And I think, he did write a story based on that kid. (I find it very funny and smart).

Anyhow, I talk too much about this film. I think I’ve said everything I wanted to say. Highly recommended. I want you to watch it immediately. And I hope you all like it. If you like this one, you may like another movie written and played by the same person called “Liberal Arts”.