Ditengah remang-remang lampu jalanan dilingkungan kampus MCBÜ
Ditengah kantuk yang mulai merasuki sanubari ragaku
Digaris tengah antara malam dan pagi
Ku tak hentinya bersyukur atas rahmat dan karunia yang tiada henti
mengalir dari Rab sang maha dermawan


MEI SPESIAL

Bulan Mei tak hentinya berikanku kejutan. Pertama Allah berikan berita bahagia melalui seremoni wisuda. Seolah ingin menkonspirasi alam untuk membuatku bahagia di bulan penting ini, Allah membuat seremoni wisuda di kampusku 2 minggu lebih awal dari jadwal yang seharusnya. Seolah Allah ingin memberikan seremoni wisuda sebagai kado ulang tahunku.

Kedua, hadirnya bulan Ramadhan 2 hari sebelum hari ulang tahunku. Sewaktu kecil aku percaya bahwa bulan ramadhan hanya berlangsung di bulan sembilan, karena kebetulan sempat beberapa tahun puasa ramadhan jatuh pada bulan-bulan tersebut. Logikanya, kalau ramadhan jatuh pada bulan 9, makan Idul Adha akan jatuh padah bulan 11. Sampai-sampai aku nggak percaya bahwa aku lahir di bulan 5. Apalagi ketika orangtuaku bilang, namaku Adhari, karena aku lahir bertepatan dengan Idul Adha. “Mana mungkin Idul Adha jatuh pada bulan 5,” kataku protes. Karena pikiran anak kecilku waktu itu bersikeras mengatakan bahwa Ramadhan harus jatuh pada bulan 9 setiap tahunya, dan Idul Adha jatuh pada bulan 11. Namun kini setelah dewasa saya sadar bahwa kalender Hijaiyah yang mengikuti perputaran bulan, pasti akan berubah sesuai dengan perputaran bulan. Dan buktinya ramdahan kali ini mulai pada akhir bulan 5 dan ini akan terus berputar setiap tahunnya. Saya jadi berpikir, seberapa besarkah kemungkinan seseorang untuk mengalami hari lahirya tepat seperti ketika ia dilahirkan? Misalnya, lahir bertepatan dengan Idul Adha. Lalu seberapa besarkan kemungkinan dia untuk dapat mengalami ulang tahun pada saat bersamaan?

Ketiga, Allah masih memberikan kesampatan bagiku untuk menikmati hidup ini. Sungguh ya Allah, kami adalah manusia yang tidak bersyukur. Terimakasih masih mengizinkan hamba untuk menikmati bulan ramadhan. Terimakasih juga telah memberikan kekuatan bagi hamba untuk melewati segala lika-liku kehidupa selama masa S1 hamba, hingga hamba bisa menyelesaikan studi hamba semester ini.

Tradisi saya setiap kali ulang tahun adalah menyegarkan kembali REPELITA. Dan pada kesempatan kali ini, saya hanya ingin diberikan kekuatan untuk mengarungi setiap jenis lika-liku kehidupan paska S1 ini. Semoga rencana saya untuk lanjut S2 di lancarkan. Dan selama proses pencarian beasiswa semoga diberikan kesempatan untuk bekerja sebentar, untuk mendapatkan pengalaman. Amin…

Terimakasih teman-teman yang sudah mengirimkan doa dan selamatan dilaman facebook saya, juga di whatsapp dan media sosial lainnya. J


NB:
-Tiba-tiba ada doodle ini dilaman google. Mungkin karena emailku logged in, jadi mereka mendeteksi tanggal lahirku. Thank you google 
Marhaban ya ramadhan…

Alhamdulillah kita diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan suci ramadhan. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Dan juga, semoga semangat kita untuk beribadah diawal bulan ramadhan ini konsisten hingga akhir bulan, bahkan hingga sepanjang tahun. Amin…

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ramadhan yang biasanya bertepatan dengan libur musim panas di Turki, kali ini, ramadhan jatuh pada bulan Mei. Hal ini menyebabkan sedikit kesulitan bagi beberapa mahasiswa. Belum lagi karena ramadhan kali ini bertepatan dengan dimulainya Ujian Akhir Semester. Jadi, mereka harus membagi fokus antara jadwal ibadah khas puasa seperti tarawih, sahur, iftar, tadarus dan lain-lain dengan belajar mempersiapkan diri untuk ujian.  

Dalam hal bersamaan, ramadhan kali ini, sama seperti ramadhan sebelumnya, juga bertepatan dengan waktu musim panas.  Hal ini menyebabkan waktu siang akan lebih lama dari waktu malam. Sehingga umat Islam di Turki akan berpuasa lebih dari 17 jam. Imsak pada jam 03.57 dan iftar pada jam 20.33. Rintangan lain adalah cuaca musim panas yang sangat ekstrim. Untuk saat ini tempratur cuara sampai 30 derajat selsius.

Namun semoga saja ini tidak mengurangi keinginan kita untuk beribadah dengan khusuk.

Dan mengingat, kemungkinan besar ramadhan kali ini adalah ramadhan terakhir saya di Turki, saya tidak terlalu protes dengan rintangan-rintangan di atas. Saya ingin menikmati semua keindahan yang tersebar didalamnya. Antrian sahur di asrama dan menu sahur yang tidak akan pernah cukup untuk perut Indonesiaku. Dan lain-lain.

Sedihnya, ramadhan di Turki kali ini sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Biasanya, setiap masuk bulan ramadhan saya akan berkumpul dengan Emen dan teman-teman yang lain, tinggal disatu rumah selama ramadhan. Sepertinya tahun kali ini tidak akan bisa direalisasikan.
Anyway, selamat menunaikan ibadah puasa. Semoga amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT. Dan bisa kembali fitrah saat idul fitri nanti J J







Beberapa minggu ini saya sering sekali membahas tentang wisuda dan perbandingan seremoni wisuda antara universitas-universitas di Indonesia dan di Turki. Dan Alhamdulillah, kemarin tanggal 24 Mei 2017, jam 19.30 – 22.30 waktu Turki, kami mahasiswa dari fakultas Fen Edebiyati (the Faculty of Letters) Universitas Celal Bayar Manisa, telah diwisuda.

Ada perasaan campur aduk yang bergulat didalam benak saya kala itu. Pertama adalah ketidakhadiran orangtua. Sebenarnya sejak pertama kali memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri saya sadar bahwa orangtua saya tidak akan bisa hadir dalam acara wisuda saya. Namun mengingat ibu saya sering sekali ikut rombongan keluarga besar berbondon-bondon ke kota besar seperti Banda Aceh, saat ada anggota keluarga mereka yang diwisuda, saya tidak bisa menahan untuk bercengeng ria. Saya pikir: ibu saya nekad melihat anak saudaranya wisuda. Namun, saat anaknya sendiri diwisuda mereka tidak mampu hadir karena jarak dan kondisi keuangan. Mereka tidak bisa berdandan rapih dan duduk diatas kursi gedung wisuda yang telah direservasi khusus utuk mereka. Mereka tidak bisa menyaksikan dengan bangga bahwa anaknya masuk dalam kategori lulusan terbaik dijurusannya. Semua ini sungguh membuat dada sesak.

Namun, saya sadar bahwa kehadiran fisik bukanlah segalanya. Saya dapat merasakan spirit mereka hadir dalam hari bahagiaku itu. Saya dapat membayangkan kebahagia dan keharuan terlukis diwajah mereka. Dan itu lebih penting dari segalanya. Melalui telepon ku sampaikan semua detail resepsi acara wisuda hari itu dan mendengar nada kebahagian hadir dari suara syahdu mereka, cukup mengobati segala kekurangan dari hari penting ini.

Dan hari itu mengajarkanku satu hal! Keluarga kandung adalah mutlak. Namun, selain keluarga kandung, ada keluarga lain yang mensubtitusi keabsenan keluarga inti. Bagiku pribadi, mereka adalah PPI Adana dan PPI Izmir. Selama kehidupan saya di Turki, kedua keluarga ini yang telah mensubtitusi keabsenan keluarga inti. Mereka memberikan selimut kehangatan, ketika selimut itu mulai dingin saat berpisah jauh dari keluarga inti.

Satu tahun pertamaku di Turki kuhabiskan di kotaAdana, dimana segalanya terasa buram, dan PPI Adana lah, yang merangkulku ditengah ketakutan, masa-masa kelam, dan masa-masa tersulitku selama di Turki kala itu. Terimakasih untuk pak Muhammad Nasir Rofiq, bang Salahuddin Al-Ayubi, mas Adi Surya, Alvi, Gunawan, Regi dan Andria bi, Syauqi, Dirga, Tri, Nurul, dan Latifah yang telah menjadi keluarga pertamaku di Turki.

Namun selanjutnya saya pindah ke kota Manisa, kota kecil yang bahkan hampir tidak ada orang Indonesia sama sekali. Untunglah kota Izmir tidak begitu jauh dari Manisa. Dalam masa-masa yang juga sama sulitnya seperti ketika di Adana, Allah mengenalkanku dengan teman-teman di PPI Izmir. Mereka dengan instan menjadi keluarga bagiku. Ketika berkumpul bersama mereka aku bisa melupakan sejenak kemelaratan hidupku (mungkin ini adalah sebuah hiperbola mengingat ada banyak orang yang lebih nelangsa dariku seperti korban perang dll). Mereka memberikanku kembali rasa yang semakin hari semakin menghilang dari lidahku. Dalam waktu 4 tahun terakhir, kami berkumpul untuk sekedar merasakan kembali kehangatan keluarga. Namun lebih dari itu, terkadang kami juga tinggal bersama selama musim panas – masa-masa yang tidak akan pernah aku lupakan. Terimakasih teman-teman PPI Izmir. Emencim! Gua nggak akan lupa hari itu, saat lu ngasih gaji lu sebagai translator ke gua karena lu prihatin dengan kondisi gua yang datang ke Izmir untuk kerja seharian dengan gaji hanya 50TL. Dan waktu itu gua lagi sakit gigi. Kata dokter gigi harus di operasi kanal dan gua nolak karena gak punya uang atapun asuransi. Dan lu dengan perhatiannya ngasih uang itu. Makasih men. I know you will be always a dear friend to me. Juga mas Maulana dan mas Iqbal, yang sudah sudi nampung saya setiap kali musim panas tiba. Terimakasih banyak untuk teman-teman PPI Izmir lainnya yang sudah menjadi bagian hidup saya. Kalian akan selalu menjadi bagian hidupku. 

(Hatice, Prof. Anthony Patterson, Yagmur, Adhari, Gizem, Rukiye, Lemesa Chitata)
Dan makna keluarga ini terbukti dihari terpenting kehidupan S1 saya kemarin. Dihari dimana kehadiran keluarga sangat krusial secara batin, mereka hadir mengisi kotak kosong itu. Dan ini membuktikan bahwa keluarga ada dimana-mana. Terimakasih kepada Alvi, pak Agustin, mba Lyla, mba Erna, dan Akbar yang telah rela untuk hadir kemarin. Saya sadar lokasi kampus saya memang agak terpencil dan yang membuat segalanya lebih runyam, acara wisudanya mulai jam 19:30. Tapi despite all of that, kalian hadir dan aku sangat mengapresiasi itu.

*******
Detail Acara Wisuda:




Sejak bangun untuk shalat subuh, saya merasakan antusiame yang sangat tinggi. Dan kebiasaan saya, ketika kadar antusiasme terlalu tinggi, saya tidak bisa tidur. Ini kerap terjadi ketika saya akan melakukan perjalanan jauh, ketika akan presentasi dll. Hal serupa terjadi padi hari kemarin, hari wisuda saya. Biasanya, pada saat bangun shalat subuh saya masih mengantuk. Tapi kemarin, saya melek dengan seketika.

Saya mulai gusar dan gak sabaran, seolah saat itu tidak pernah datang. Jam 8 pagi dan saya pikir, ah… masih 11 jam lagi. Ide buruk! Jangan pernah menghitung waktu. Ini hanya akan memperlama segala hal untuk kenyataan. Walaupun sebenarnya tidak selama yang kita pikirkan. Antusiasme dan kegugupan membuat segalanya menjadi tidak terkendari.

Untuk memanipulasi emosi saya, saya pikir mending saya menyibukkan diri dengan menonton film yang ditugaskan oleh dosen untuk topik ujian hari selasa nanti. Tidak berhasil. Saya masih saja terlalu antusias dan tidak sabaran. Namun ternyata waktu belalu juga. Just because you are nervous doesn’t mean time will stop!

Jam 17:20, teman-teman dari Izmir mengabarkan bahwa mereka akan sampai sebentar lagi. Barulah saya bersiap-siap untuk berpakaian rapih, jas warna biru navi dan sepatu cokelat senada dengan warna ikat pinggang. Tidak lupa kemaja putih dan dasi berwarna campuran biru dan unggu bertengger rapih di leher saya. Ternyata mereka sampai, sebelum saya siap. “kenapa saya tidak siap-siap dari jam 17:00 saja. Biar pas mereka sampai, bisa langsung duduk dan ngobrol atau foto-foto.” Tapi saya pikir, acaranya baru mulai jam 19:30 kenapa saya harus siap-siap terlalu awal. Pelajaran! Everything can go wrong!

Rapih dan siap saya pun keluar asrama. Pak Agustin dan teman-teman sudah menunggu dibanggu didepan asrama. Kami salaman dan foto-foto. Saya minta tunggu teman-teman kamar saya (Ali Tolu dan Melih Kaya) yang kebetulan juga lulus hari itu untuk datang sebenar dan berfoto. Setelahnya kami makan dan shalat ashar. Barulah kami menuju lapangan olahraga, tempat acara wisuda berlangsung. Segalanya berjalan begitu cepat! Kami tidak sempat befoto-foto. Satu-satunya foto kami bersama hanya didepan asrama. Satu hal yang saya sesali!

Berbeda dengan perasaan saya dipagi hari dimana waktu rasanya macet, disaat acara jam rasanya berputar terlalu cepat. Tiba-tiba kami disuruh berbaris untuk berjalan didepan hadirin wisuda. Kemudian pidato sambutan dari rektor. Pidato dari juara umum sefakultas. Kemudian pembagian piagam kepada 3 mahasiwa dengan IPK tertinggi sefakultas dan sejurusan. Kemudian setiap nama mahasiswa yang lulus di panggil satu persatu dari setiap jurusan. Kemudian selesai. Sebenarnya acaranya lumayan panjang, apalagi bagi hadirin. Tapi bagi saya, malam terlalu cepat datang hari itu. Coba masih terik kan bisa foto-foto dengan pak Agustin dan teman-teman.

Dan begitulah acara wisuda kami disini. Salam class of 2017! Semoga kita semua berhasil didunia kerja ataupun bagi yang melajutkan pendidikan S2, sukses dengan pendidikan selanjutnya. Bagi teman-teman yang masih berusaha untuk lulus, semoga cepat lulus dan bisa melanjutkan cita-cita lainnya.


NB: foto bareng temen-temen PPI Izmir belum di kirim. Dimasukin nanti deh.
courtesy of Clipart Library

 Selain gelar, orang-orang Indonesia juga terobsesi dengan status kelulusan. Menurut yang saya pahami, di Indonesia ada konsep “cum laude” yang secara general berarti lulus dengan nilai rata-rata yang sangat memuasakan. Dan ternyata ada level-level kelulusan lho dan itu lebih dari sekedar “cum laude” yang kita ketahui. Berikut adalah tingkat kelulusan dan gelar-gelar kehormatan yang disematkan menurut http://www.ican-education.com :

3.80 dan 3.80 keatas: Summa Cum Laude
3.60 s/d 3.79: Magna Cum Laude
3.40 s/d 3.59: Cum Laude
3.20 s/d 3.39: High Merit
3.00 s/d 3.19: Merit

Nah, bagaimana dengan sistem pendidikan di Turki? Apakah ada gelar kehormatan khusus bagi lulusan terbaik?

Sepengetahuan saya, di universitas negeri di Turki tidak ada gelar kehormatan seperti “cum laude” di Indonesia atau “valedictorian” di Amerika. Namun, penghargaan secara simbolik hanya diberikan kepada 3 mahasiswa dengan nilai terbaik di jurusan: Okul Birincisi, Okul ikincisi, Okul uncusu. Dan konsep seperti “cum laude” atau “valedictorian” tidak diasosiasikan dengan keberhasilan mereka secara akademis.

Lalu apakah keberhasilan mereka di muat didalam ijazah?

Untuk hal ini saya masih belum tahu. Yang jelas, ketiga mahasiswa terbaik di jurusan akan mendapatkan piagam simbolik yang menyatakan bahwa mereka sangat berhasil secara akademis. Selain itu, mereka juga akan diberikan bingkisan dari kampus.

 

Sumber:
http://www.ican-education.com/articles/view/pengertian_cum_laude_magna_cum_laude_dan_summa_cum_laude
courtesy of okezone.com
Dalam spirit kelulusan, ada baiknya kita membahas tentang “gelar,” khususnya karena gelar adalah salah satu obsesi orang-orang Indonesia. 

Sering kali saya ditanya “nanti pas lulus gelar kamu apa?” Jujur, sebelumnya saya tidak pernah memikirkan tentang hal ini. Namun karena ditanya terus, akhirnya saya pun ikut bertanya-tanya.

Jadi apa sih gelar para lulusan universitas di Turki? Apakah pendidikan di Turki memiliki sistem khusus atau hanya mengikuti standar internasional?

Penasaran, akhirnya saya pun bertanya ke teman-teman saya di kampus. Jawaban mereka sangat menarik yaitu “apa……………?” atau “Hah…….?” Seolah mereka tidak mengerti dengan konsep “gelar” itu sendiri.

Selanjutnya saya berpikir, apa Indonesia doang ya yang sangat terobsesi dengan gelar? Nyatanya, hanya orang Indonesia saja yang memuat gelar di samping nama sampai berantakan begitu. Dinegara lain, jarang sekali gelar dipamerkan disamping nama. Kalaupun ada cuma para akademisi, itu pun karena permintaan Universitas.

Setelah saya lihat-lihat, gelar para akademisi di Turki bukan berdasarkan tingkatan pendidikan yang telah mereka selesaikan. Namun lebih ketingkat jabatan mereka sebagai akademisi di kampus. Urutan jabatan dikampus adalah sebagai berikut:
Assistant Research / Okutman (Lecturer) / Docent – Assistant Professor – Associate Professor – Professor

Untuk asisten riset biasanya adalah lulusan S2 dan S3 dan tugas mereka adalah membantu para mahasiswa S1 atau S2 yang sedang menyiapkan tugas akhir mereka. Sesekali, mereka juga mengisi kelas ketika dosen berhalangan. Status asisten riset adalah pegawai negeri. Untuk naik jabatan ketahap berikutnya yaitu Assistant Professor, mereka harus menyelesaikan S3 dan mengikuti ujian kenaikanan jabatan. Selain itu memperbanyak publikasi artikel dan lain-lain juga sangat penting. Begitulah kira-kira peroses menjadi akademisi di Turki.

Untuk guru SMA, sepengetahuan saya tidak memiliki gelar khusus. Karena strata guru SMA di Turki hampir sama semua. Tapi mungkin saja saya salah.  Yang membedakan hanya guru dan kepala sekolah. Mungkin saja dalam hal gaji, sama halnya seperti di Indonesia, tingginya jenjang pendidikan menentukan gaji yang didapat. Tapi lebih dari itu, tidak ada hal-hal khusus. 

Di Turki untuk mereka yang berprofesi diluar dunia akademisi, gelar tidak pernah menjadi perbincangan. Yang mengetahui jenjang pendidikan terakhir seseorang, hanya pihak HRD. Itu pun karena mereka yang bertugas me-review CV si calon pekerja tersebut. Nah, akhirnya kita sampai ke titik perbincangan. CV lah yang menunjukkan jenjang pendidikan kita. Bukan gelar yang kita sematkan dinaman.

Kembali lagi, lalu untuk lulusan S1 seperti saya, gelar saya apa?

Jawabannya, di Turki gelar S1 tidak pernah disematkan dinama, Bahkan gelar S2. Palingan cuma mereka yang telah berhasil menyelesaikan P.hd saja yang menyematkannya dinama, itu pun sangat jarang dan hanya berlaku di lingkungan akademisi aka kampus. Tapi kalau maksa, “Kan di Indonesia gelar adalah segalanya!” atau “Aku harus punya gelar!”

Ya sudah, kita bisa mengikuti standar internasional. Yaitu B.A atau Bachelor of Arts untuk mereka yang lulus dari jurusan Sosial dan Humaniora dan B.Sc atau Bachelor of Science untuk mereka yang lulus dari jurusan Science.    

Maaf mengecewakan. Tidak aja gelar khusus seperti Lc untuk lulusan Mesir, yang juga sebenarnya berasalah dari kata License yang berarti S1. Dalam bahasa Turki S1 adalah Lisans. Meskipun mirip, lulusan S1 Turki tidak akan mendapat gelar Lc!



courtesy: http://rosemille.typepad.com/rose_mille/2011/03/vintage-quilt-repair.html

Kejadian itu memang bagian dari masa kecilnya - masa dimana segalanya terasa sangat sulit. Namun, perasaan itu tertanam kuat didalam dirinya sehingga sekuno apapun cerita itu, tetap saja menjadi bagian dari dirinya.

Sewaktu kecil keluarganya hidup sangat pas-pasan. Segalanya serba seadanya, makan, pakaian, bahkan perlengakapan dirumahnya pun hanya seadanya. Ketika tetangga di kampungnya diserang oleh wabah demam memiliki televisi, keluarga hanya biasa diam dan menonton muka bahagia mereka dan sesekali menumpang nonton berita.

Terbesit rasa kekurangan dalam diri Ayahnya, yang merasa bahwa dia telah gagal menjadi seorang Ayah yang sepatutnya memenuhi impian keluarganya. Namun dia tidak bisa bebuat banyak. Pekerjaanya sebagai buruh kebun kopi tidak akan mampu merealisasikan impian istrinya akan prabot rumah tangga, atau pun impian anaknya akan TV dan PS. Dan begitulah, anak-anaknya lari ke rumah tetangga dan duduk di lantai keramik yang bening karena sofa milik tetangga itu tidak cukup untuk menampung mereka. Mereka melakukan ini demi menonton sinetron yang tentu saja tidak susai dengan umurnya saat itu. Melihat semua ini, Ayahnya sangat terhina. Dan lagi, lagi, rasa terhinanya dilipat gandakan oleh fakta bahwa dia sangat tidak berdaya.

Ekonomi keluaganya hanya cukup untuk hal primer, dalam hal itu makan dan makan. Selebihnya bagi mereka adalah kebutuhan sekunder. Bahkan, termasuk kebutuhan akan listrik. Rumah mereka belum diinstalasi listrik. Ketika malam tiba, mereka hanya menghidupkan lampu minyak, yang mereka buat sendiri dari botol bekas minuman energi kratingdaeng. Mereka membolongi tutup botol bekas tersebut dan memasukkan robekan kain kedalamnya. Selanjutnya, minyak tanah pun diisi dan dengan begitu, malam tak lagi begitu gulita dirumah mereka. Lampu minyak hanya bertahan hingga azan isya. Setelah shalat isya mereka harus mengakhiri malam dan tidur dimanapun ada tempat untuk merebahkan badan. Dibalut oleh selimut yang Ibu mereka buat dari pakaian bekas mereka waktu kecil yang tidak lagi muat dipakai. Selimut yang sangat berat, kadang membuat mereka susah untuk bernafas. Namun, tidak ada pilihan lain. Hawa pegunungan yang dingin memaksa mereka menggunakan selimut multiwarna itu.

Memori ini merasuk kembali kedalam dirinya ketika ia sedang merebahkan badannya diatas a king-sized bed dihotel The Ritz-Carlton dalam kunjugan kerja yang ia lakukan musim dingin tahun itu. Berbeda, kali ini dia bisa merasakan selimut putih bersih dan kasur yang lembut dan bahkan bisa mental jika duduki. Sambil berbaring diatas karus mewahnya, ia meraih remote TV yang terlelak dinightstand dan menyalakan Televisi. Langsung terdengar suara merdu Dolly Parton dengan musik country khasnya. Begini bunyinya.

Back through the years I go wonderin' once again
Back to the seasons of my youth
I recall a box of rags that someone gave us
And how my momma put the rags to use

There were rags of many colors and every piece was small
And I didn't have a coat and it was way down in the fall
Momma sewed the rags together sewin' every piece with love
She made my coat of many colors that I was so proud of

As she sewed, she told a story from the Bible, she had read
About a coat of many colors Joseph wore and then she said
"Perhaps this coat will bring you good luck and happiness"
And I just couldn't wait to wear it and momma blessed it with a kiss

My coat of many colors that my momma made for me
Made only from rags but I wore it so proudly

Although we had no money oh I was rich as I could be
In my coat of many colors my momma made for me

So with patches on my britches, holes in both my shoes
In my coat of many colors I hurried off to school
Just to find the others laughing and making fun of me
and my coat of many colors my momma made for me

And oh I couldn't understand that for I thought I was rich
And then I told them of the love my momma sewed in every stitch

And I told 'em all the story momma told me while she sewed
And why my coat of many colors was worth more than all their clothes

They didn't understand it and I tried to make them see
One is only poor only if you choose to be

It is true we had no money but I was rich as I could be
In my coat of many colors momma made for me
Made just for me

Ada perasaan asing nan familiar didalam lagu ini yang ia sedang coba resapi. Perasaan yang membawanya kembali kedalam memori masa kecilnya. Pun rasanya pedih kala itu, namun ketika ia memingat kembali masa itu, ia dengan penuh keyakinan mengatakan “I won’t trade it for a world”.

Dalam perjalanannya menyusuri hidup, sering sekali ia menutupi pengalaman masa kecilnya. Dia akui dia sempat malu dengan realitas masa kecilnya. Sehingga ketika ada orang yang bertanya, tell me about your childhood, dia dengan sangat kreatif akan membuat cerita tentang seorang anak juragan kopi yang suatu saat dikirim kekota besar untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan blah.. blah.. sehingga ia bisa seperti saat ini.

Faktanya, dia hanyalah anak seorang buruh kebun kopi yang sangat berutung. Ketika ia lulus Sekolah Dasar, majikan ayahnya melihat potensi yang ada dalam dirinya dan memutuskan untuk membiayai sekolahnya dengan satu syarat, dia harus tinggal dengan kerabatnya dikota besar. Dirumah kerabat itu dia dijadikan pesuruh yang bertugas melakukan apapun yang ditugaskan kepadanya, membersihkan toilet, mencuci piring, membersihkan pekarangan rumah dan ratusan list tugas lainnya. Hingga suatu hari ia mendapatkan beasiswa untuk mengikuti program pertukaran pelajar Bina Budaya ke Amerika saat ia masih kelas 1 SMA. Kejadian ini merubah hidupnya seutuhnya.

Kini sebagai seorang direktur sebuah perusahan mutlinasional, dia bisa merasakan hidup yang 160 derajat berbalik dari hidup masa kecilnya. Bertahun-tahun ia mencoba melupakan realitas itu. Ia mencoba merubah identitasnya dengan mengarang cerita tentang dirinya. Merubah gayanya berbicara, karena takut aksen daerahnya akan memberikan tanda-tanda yang mencurigakan dan akan membuat orang disekitarnya menemukan siapa dia sesunggunya. Bahkan caranya berpakian. Kini dia tak lagi memakai baju penuh tambalan dan jahitan tangan, melainkan jas dari karya designer terkenal seperti Tom Ford dan Calvin Klein. Namun, malam itu ketika ia harusnya terlelap diatas kasus nyamanya, memori masa kecilnya malah dipersegar oleh suara merdu Dolly Parton.

Kata itu,  And oh I couldn't understand that for I thought I was rich / And then I told them of the love my momma sewed in every stitch,” membuatnya merasa terhina karena telah menyangkal bagian terpenting dalam hidupnya. Mengapa dia tidak mengakui bahwa masa kecilnya adalah faktor terpenting dalam kesuksesannya. Apa karena dia malu? Dia malu bahwa dia berasalah dari kalangan orang bawah? Mengapa harus malu? Toh, manusia tidak bisa memilih kapan dan kepada siapa dilahirkan. Yang mereka bisa lakukan adalah  memilih masa depan mereka. Mereka bisa menentukan mereka ingin menjadi manusia seperti apa.

Dolly Parton melanjutkan, “And I told 'em all the story momma told me while she sewed / And why my coat of many colors was worth more than all their clothes / They didn't understand it and I tried to make them see One is only poor only if you choose to be / It is true we had no money but I was rich as I could be / In my coat of many colors momma made for me Made just for me,” bagian ini adalah bagian dengan pukulan yang paling keras bagi mentalnya. Dia malu dengan semalu-malunya. Dia lebih hina dari siapapun dalam tahap ini.

Ada banyak persamaan antara lagu ini dan masa kecilnya. Lagu ini bercerita tentang rasa syukur yang tinggi terhadapat hal terkecil yang ia miliki tanpa ada rasa malu, sebuah baju musim dingin (coat of many colors.) Begitu juga dengan dirinya, dimasa kecilnya dia hidup dan besar dengan selimut penuh warna. Yang kurang dari dirinya adalah rasa syukur. Kini rasa syukur tumbuh dalam dirinya, karena lagu ini.

Lagu ini mengandung banyak sekali kebenaran. Dolly Parton bercerita tentang kehidupan masa kecilnya. Meskipun saat ini Parton adalah seorang super star, dia tidak pernah menapik akan asalnya dan realitas masa kecilnya. Baginya, yang terpenting adalah bagaimana seseorang bisa keluar dari kesulitan masa lalu itu dan menghargai pelajaran yang tak pernah henti mengalir didalamnya, sehingga seorang individu bisa menjadi versi tebaik dirinya.

Beberapa bulan setelah epiphany malam itu, dia berdiri diatas podium, dalam acara perilisan bukunya yang berjudul “Selimut Mutliwarna: Sebuah Autobiografi,” dimana ia memutuskan untuk mengungkapkan siapa dia sebenarnya dalam buku tersebut. Dan kini, hidupnya lebih bahagian dan bermakna. Kelelahan tak lagi terlukis diwajahnya dan segala kebohongan pun berakhir.   






courtesy Brilio



Semakin hari semakin ku menyadari bahwa salah satu masalah terbesar dunia adalah keinginan untuk mengubah orang lain. Keinginan seperti ini hadir akibat perasaan percaya diri yang sangat tinggi bahwa SAYA BENAR – KAMU SALAH. Cara pikir seperti ini sangat berbahaya. Namun sedihnya, semua ideologi, agama, atau apapun yang berakhiran dengan –ism memiliki tendesi untuk berpikir seperti ini.

Lalu apa itu KEBENARAN? Apakah konsep benar ini universal? Bisakah semua kelompok masyarakat dengan latar belakang ideologi berbeda setuju dengan konsep kebenaran ini?

Jawabannya: TIDAK. Hal yang A anggap benar, bisa saja dianggap salah oleh B. Artinya, kebenaran sangatlah subyektif.

Anehnya, dalam konsep ‘kesalahan’ semua kelompok seolah dapat menyatukan pendapat. Membunuh, misalkan, hampir semua kelompok setuju bahwa membunuh itu salah. Namun lagi-lagi, dalam kasus hukuman mati, masih saja ada perdebatan apakah ini benar atau tidak benar. Sebagai seorang yang percaya akan adanya Tuhan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, saya percaya bahwa membunuh bukanlah tugas manusia. Tuhanlah yang berhak menentukan apakah seorang manusia harus hidup atau mati.

Lalu apakah individu atau kelompok berhak merubah cara pandang orang lain? Saya pribadi menganggap tidak ada kesalahan dalam memberi informasi kepada orang lain. Namun, ketika proses transfer informasi berubah menjadi sebuah pemaksaan, lagi-lagi saya menganggap itu tidak adil.

Sekarang, mari berpikir lebih luas lagi. Bagaimana dengan kasus intevensi militer oleh suatu Negara ke Negara lain, apakah ini dapat ditoleransi? Ia dan tidak. Ia, jika ada permintaan bantuan dari pihak dalam negeri dan itu pun harus dipastikan tidak melanggar hukum internasional. Tidak, jika intervensi dilakukan secara sepihak, hanya karena pandangan pribadi yang mengatakan bahwa faham Negara tersebut berbahaya bagi dunia. Hal ini perlaku untuk pendapat yang bersifat asumsi. Namun ketika ada bukti nyata bahwa Negara A memiliki bahaya besar terhadap pendaimaian dunia, makan intervensi militer memang tidak dapat dielakkan.

Akhirnya, kembali kedalam pertanyaan utama: APA ITU KEBENARAN? apakah konsep kebenaran yang hitam putih masih ada? Ataukah realitas postmodernisme telah membuat konsep ini hilang selamanya?

(RENUNGAN MALAM JUMAT)