courtesy of https://www.diasporayouth.info/
Beberapa jam yang lalu saya baru saja pulang dari hotel Grand Sahit Jaya, venue Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018. Acara hari ini berlangsung sangat fun sekaligus sangat inspiratif dalam definisi sebenar-benarnya.

Acara dimulai jam 9.20, terlambat 20 menit dari waktu yang ditentukan. Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipandu oleh seorang kondaktur diatas panggung. Selanjutnya dua perwakilan diaspora Indonesia, satu dari Belanda dan satunya lagi dari Amerika, membacakan isi Deklarasi Diaspora Indonesia yang dicanangkan di Los Angeles pada tahun 2012. Isi dari deklarasi tersebut adalah bentuk upaya Diaspora Indonesia yang tersebar diseluruh dunia untuk tetap berkontribusi terhadap Indonesia baik dalam bentuk pikiran maupun tenaga.

Mengikuti pembacaan Deklarasi Diaspora ini, selanjutnya ada kata sambutan dari Deputy President I Ikatan Diaspora Indonesia, Bapak Said Zaidansyah, yang pada umumnya berbicara tentang persiapan menyambut 2045 dimana Indonesia di prediksi akan mendapatkan bonus demografi karena jumlah penduduk Indonesia akan didominasi oleh penduduk usia produktif. Karenanya, salah satu tujuan dari conference ini adalah untuk mempersiapkan dengan bijak agar Indonesia benar-benar well-equipt dalam menghadapi bonus demografi ini.

Dalam kesempatan ini Ranomi Kromowidjojo, seorang atlet renang Belanda keturunan Probolinggo. Beliau bercerita hanya kurang dari lima menit tentang betapa senangnya beliau ada ditempat dimana namanya diucapkan dengan benar.

Kata sambutan dilanjutkan oleh Ahmad Alhendawi, Sekretaris Jendral Pramuka Dunia, dimana beliau menekankan betapa Indonesia sangat beruntung memiliki pendiri bangsa seperti Soekarno yang telah melihat betapa vitalnya fungsi pemuda dalam membangun bangsa. Beliau juga memberikan wejangan agar Indonesian mempersiapkan diri, terutama para pemudanya, untuk memenuhi tantangan dunia dengan merujuk kepada pembangunan-pembangunan yang tidak menyalahi kaedah alam agar alam tidak rusak. Kata yang paling melakat dari beliau yang beliau kutip dari mentornya, bahwa didalam hidup kita mungkin memiliki plan B. Tetapi, tidak ada yang namanya planet B, hanya ada 1 planet. Jadi kita harus benar-benar memastikan bahwa praktisi-praktisi ekonomi kita ramah lingkungan.

Tak berhenti disini, selanjutnya ada ketua Forum Rektor Indonesia, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulu Bulu, yang menekankan agar kita tidak terpana dengan bonus demografi yang kian kita bangga-banggakan ini. Didalam forum ini beliau mencoba untuk memberikan fakta dilapangan tentang hal-hal yang perlu dibenahi seperti infrastruktur dan kurikulum pendidikan. Juga beliau menekankan betapa kurangnya investasi didalam bidang riset di Indonesia. Melihat angka populasi Indonesia, jumlah dana riset yang disediakan sangatlah minim.

Mewakili Perhimpuan Pelajar Indonesia, ada mas Fajar Mulya sebagai ketua PPI Dunia baru asal PPI Thailand. Disini mas Fajar Mulya menyampaikan rangkuman dari hasil simposium PPI Dunia yang dilaksanakan di Rusia beberapa waktu lalu.

Panggung selanjutnya diambil alih oleh Pak Dino Patti Djalal yang mengawali dengan menyampaikan presentasinya tentang hal-hal yang Indonesia harus benar-benar persiapkan menyambut 2045. Beliau berkali-kali menekankan bahwa sebuah negara sangat mungkin untuk maju dalam satu generasi. Beliau memberi contoh Singapore, Qatar dan banyak lagi. Menurut beliau adalah bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menyambut bonus demografi yang diprediksi akan terjadi ditahun 2045 tepat di 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya acara dilanjutkan dengan talkshow yang dimoderatori oleh Pak Dino sendiri. Sebagai yang diwawancarai ada Martunis, survival tsunami Aceh yang mendapatkan sorotan media karena Ronaldo menawarkan untuk menyekolahkan dia di sekolah bola di negaranya.

Sebelum hari ini saya hanya tahu sebatas itu saja. Namun hari ini menambah pengatahuan saya dan kekaguman saya terhadap Martunis. Ternyata dalam bencana tsunami yang melanda Aceh di tahun 2004, Martunis mampu bertahan hidup terdampar ditengah-tengah air tsunami selama 21 hari. Setelah akhirnya sampai didaratan, Martunis sempart berpikir untuk bunuh diri karena dia tidak melihat ada manfaat untuk hidup lagi karena bagi dia hari itu adalah hari kiamat. Namun ketika melihat ada orang lain yang masih hidup, Martunis akhirnya mengurungkan niatnya. Untungnya, baju yang dia kenakan saat musibah itu menyita perhatian Ronaldo dan keberuntungan pun melandanya.

Selain Martunis, Yoshi Sudarso, seorang pemeran salah satu tokoh Power Rangers pun diundang keatas panggung untuk diwawancarai. Disini Yoshi lebih banyak berbicara tentang etos kompetisi yang dia miliki saat berada di Amerika. Bagi Yoshi, ada mentalitas kompetisi positif yang Amerika punya terkadang kita tidak miliki, seperti selalu mencari-cari alasan untuk tidak berhasil, nyinyir ketika orang lain berhasil bukti ketidakterimaan kita terhadap keberhasilan orang lain. Alih-alih melihat keberhasilan orang lain untuk memacu rasa kompititif dalam diri, kita malah menggunakannya untuk memupuk kebencian. Jadi rubah itu, dengan menghidupan rasa kompititif yang sehat.

Sebagai penutup disesi opening ini, ada cucu Pak Moh. Hatta yang mengirimkan video karena berhalangan hadir menyampaikan betapa bahagianya kakek Hatta bila beliau melihat pemuda Indonesia memiliki inisiatif sepositif ini.

Putri Guntur Soekarno, cucu dari Presiden Soekarno, menutup pembukaan acara ini dengan menghimbau agar pemuda Indonesia tetap menjunjung rasa nasionalisme dimanapun berada.

Setelah acara opening ceremony, para delegasi menuju tempat yang telah disediakan guna merancang visi Indonesia untuk tahun 2045. Bagi kami para pengunjung public, panitia menyediakan side events yaitu seminar dan talkshow dengan orang-orang hebat seperti Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna, CEO Nestle, Representative dari Binus dan banyak lagi.

Sebagai pengunjung, saya mengakui bahwa acara ini telah berjalan sangat meriah dan produktif. Majulah Indonesia!









Orang-orang yang pernah atau belum pernah tinggal di Jakarta memiliki stigma tersendiri tentang kota ini. Beberapa stigma itu benar dan beberapa lagi sangat relatif ke individu itu tersendiri. Tak elak, pandangan tentang realitas kota ini pun menjadi terpecah-pecah.

Saya?

Saya sendiri sangat dilematis memandang kota ini. Disatu sisi kota ini adalah kota penuh harapan. Namun disisi lain, harapan yang ada datang dengan konsekuensi. Datang dari kota kecil di Barat Indonesia, berada di Jakarta menghadirkan shock therapy tersendiri. Jakarta yang enggan beramah-tamah, apalagi berbasa basi. Jakarta yang tak mengenal kompromi. Jakarta yang dalam satu sisi sangat progresif, tapi juga masih sangat konvesional dalam caranya tersendiri. Jakarta yang sangat tumpang tindih antara biaya hidup yang mahal dan gaji tak seberapa. Jakarta yang dari pandangan sekilas terlihat seperti setumpuk kota penuh bangunan menjulang tinggi, namun (prediksi saya) tidak kurang dari 70% pejuang Ibu Kota tinggal dikamar-kamar kecil bernamkan kost-kostan yang mematok harga tidak masuk akal dengan fasilitas minim yang diberikan. Jakarta yang selalu berkoar-koar ingin disandingkan dengan kota-kota metropolitan dunia seperti New York, Seoul, dan lain-lain namun sangat jauh.

Namun dari semua dikotomi itu, saya yang notabene adalah orang asing di Jakarta, melihat ada secercah harapan akan kemajuan kota ini. Setiap hari ada perubahan, ada perkembangan, dan ada keinginan untuk berbenah. Itu tidak datang dari pemimpin yang mengatur kota ini, tapi dari keinginan masyarat Jakarta sendiri untuk berubah kearah yang lebih baik. Mereka mungkin tidak bergerak dengan badan tapi mereka aktif menyuarakan keinginan mereka. Untungnya pemimipin negeri ini sudah mau mendengar aspirasi masyarakta walaupun sering dituding memiliki agenda terselubung dibalik setiap tindakannya.

Saya sangat tidak tertarik dengan dunia politik dan birokrat. Saya hanya tertarik terhadap perubahan. Naif memang, namun setelah melihat beberapa tokoh negeri yang bisa bekerja tanpa disibukkan dengan urusan partai saya menjadi semakin yakin bahwa hal ini sangat mungkin.

Lalu bagaimana kondisi Jakarta saat ini?

Setalah mondar-mandir di Jakarta selama satu tahu ini, saya melihat banyak sekali persamaan antara Jakarta dengan ibu kota negera lain. Padat, salah satunya. Namun juga yang paling saya senangi adalah adanya transportasi masal seperti Transjakarta. Sebagai pengguna aktif Transjakarta saya sangat bangga dengan fasilitas ini. Mulai dari harganya yang sangat terjangkau dan kwalitasnya yang tidak kalah dengan bus-bus umum yang ada dinegara lain.

Tentu saja memiliki Transjakarta saja tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Jakarta untuk berkomutasi. Perlu alternatif lain seperti commuter line yang sudah berjalan sangat baik saat ini, selain itu ada MRT dan LRT yang sudah memasuki proses finishing, dan jenis-jenis transportasi masal lainnya.

Selain transportasi, ada hal lain yang juga sama pentingnya dengan transportasi itu tersendiri, trotoar untuk pejalan kaki. Menuju halte bus transjakarta tidak jarang penumpang harus berjalan kaki. Namun kondisi trotoar di Jakarta membuat proses jalan kaki menuju halte sangatlah sulit. Untungnya, kehadiran perhelatan besar ASIAN GAMES 2018, membawa berita baik bagi pejalan kaki. Kini trotoar di sudut kota Jakarta mulai dibenahi menyerupai trotar yang ada di kota-kota besar di negara lain.

Akomodasi adalah permasalahan lain yang menurut saya membutuhkan campur tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. Banyaknya jumlah pejuang ibu kota membuat permasalah ini tambah rumit. Dan secara pribadi saya meminta maaf karena menambah PR Pemprov Jakarta, namun tampa kami-kami ini usaha di Jakarta tidak akan menjadi apa-apa. Kami membantu  perekonomian Jakarta berjalan mulus dengan talenta-talenta yang kami punya. Namun ada satu hal yang saya keluhkan yaitu akomodasi yang tersedia di Jakarta. Saya tidak menapik adanya akomodasi yang manusiawi di Jakarta namun harga yang ditawarkan sangat tidak manusiawi. Akhirnya pejuang Jakarta menempati kamar-kamar kost-kostan yang jauh dari layak. Harapan saya, pemerintah Jakarta mengurus sistem bisnis akomodasi di Jakarta bukan hanya perhotelan tapi juga kost-kostan. Saya kira belum ada regulasi khusus untuk bisnis kost-kostan dan sekarang sudah saatnya regulasi itu dibuat. Saya tidak menginginkan birokrasi yang berbelit-beli tapi yang praktis dan menguntungkan semua pihak. Lebih baik lagi jika Pemerintah Pemprov menyediakan fasilitas kost-kostan yang dikelola oleh Pemprov sendiri dengan harga yang disesuaikan dengan UMR Jakarta.

Secara keseluruhan, saya tidak serta-merta setuju dengan stigma yang disematkan ke Jakarta. Buktinya saya masih merasa betah untuk berjuan di Jakarta. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus konform terhadap realitas sosial yang ada. Dosen saya mengatakan, kunci dari segala perbuhan adalah ketika masyarakat meminta adanya perubahan itu. Jadi tidak boleh berhenti untuk meminta adanya perubahan. Tapi juga dalam waktu yang sama, kita harus ikut menjadi agen perubahan.