Hak cipta foto : http://novelentrok.blogspot.com/

Marni, seorang gadis yang terlahir di keluarga miskin, seiring dengan tumbuh kembangnya sebagai 
seorang wanita, ia merasakan ada perbedaan biologis yang semakin hari semakin terasa. Di dalam 
proses menjadi seorang wanita, ia baru menyadari bahwa ada sebuah teknologi secanggih pakain 
dalam wanita atau BH (dalam bahasa jawa: entrok) yang mampu menopang dada wanita dan 
menolong mereka dari ketidaknyamanan. 


Beralasan ini, Marni semakin hari semakin tidak bisa menahan keinginannya untuk memiliki benda 
ajaib ini. Ibunya tentu tidak mampu membelikan. Bekerja sebagai buruh pengupas kulit singkong di 
pasar hanya mendapatkan singkong sebuah upah. Ketika memohon kepada juragan singkong agar 
dibayar uang saja , dia menolak karena hal tersebut tidak lumrah. Hanya tenaga laki-laki yang dihargai 
uang. Tenaga perempuan dibayar bahan dapur saja. 


Saat memohon ke pamannya, beliau juga tidak mengindahkan. Sejak saat itu, Marni sadar bahwa tidak
 ada yang bisa mengabulkan permintaannya selain dirinya sendiri. 


“Kalau mau punya, ya minta sama sama bapakmu sana,” lanjut istrinya.
“Aku tidak punya Bapak, Bulik. Aku tidak tahu dimana dia,” jawabku bergetar. Mataku mulai
berkaca-kaca.
“Ya, makanya itu. Kalau sudah tahu bapak saja nggak punya, ya sudah. Nggak usah neko-neko.
Bisa makan setiap hari saja sudah syukur.”


Awalnya Marni ikut ke pasar untuk membantu ibunya mengupas singkong. Bergaul dengan pedagang
di pasar Marni dengan kemampuan observasinya yang baik mempelajari satu dua hal. Salah satu yang
ia pelajari adalah pekerja wanita tidak pernah mendapatkan upah uang dan ada perbedaan pekerjaan
antara laki-laki dan perempuan. Wanita bekerja mengupas singkong hanya dibayar singkong pula.
Laki-laki bekerja sebagai kuli angkat dibayar upah berupa uang. Akhirnya, Marni dengan kegigihannya
berani untuk merubah norma dengan melakukan pekerjaan laki-laki yaitu jadi kuli angkat untuk
orang-orang yang belanja di pasar. Ibunya sempat melarang tapi Marni tidak mengindahkan. Tapi
ketika Marni nekat ibunya juga tidak bereaksi dengan melarang secara total. 


Setelah menjadi kuli beberapa waktu, Marni berhasil mengumpulkan uang yang dibutuhkan untuk
membeli entrok. Dan Marni pun membelikannya. Awalnya Marni mengira dia akan senang. Tapi
ternyata kesenangan itu tidak kekal. Kini dia menginginkan hal lainnya. 


Marni tidak pernah sekolah. Dia buta huruf. Walaupun begitu dia tidaklah bodoh. Ada satu kekuatan
yang dimilikinya yaitu kemampuan untuk mengobservasi sekitar dan belajar dari apa yang dia lihat.
Marni melihat bahwa berdagang adalah profesi yang menguntungkan dan Marni pun berdagang
dengan memodifikasi sistem berdagangnya. Menyadari bahwa dia tidak punya tempat di pasar, ia
memutuskan untuk berdagang keliling dari rumah ke rumah. Saat itu belum ada yang melakukan
hal serupa. Dagangan Marni laris manis dan dia pun mendapatkan untung. Begitupun seterusnya. Marni akan terus belajar dari apa yang dia lihat dan mengaplikasikanya untuk
mendapatkan apa yang dia idamkan. 


Ketika akhirnya Marni dilamar oleh Teja, seorang kuli angkut di pasar; Marni tidak menerima. Dia
memikirkan masa depan anak-anaknya yang hanya akan mengulang masa kecilnya. Tidak ada
prospek dan tidak ada masa depan. Namun ibu Marni mengingatkan Marni bahwa menolak lamaran
itu tidak baik dan akan mengundang karma. Akhirnya Marni menikah dengan Teja walaupun dengan
perasaan terpaksa. 


Dari pernikahan ini lahirlah Rahayu. Kini keadaan perekonomian keluarga sudah membaik dan kini
mereka berada di masa Orde Baru. Terimakasih kepada kerja keras Mirna, Rahayu bisa bersekolah.
Namun ada sebuah kontradiksi. Mirna melihat sekolah sebagai jalan keluar agar Rahayu memiliki
kehidupan yang lebih baik dan menjadi pegawai negara. Namun, sedikit Mirna tahu bahwa hal yang
dianggap baik malah menusuknya dari belakang. Rahayu membenci ibunya  karena ibunya masih
memiliki kepercayaan lama memohon kepada roh leluhur. Di sekolah Rahayu diajarkan guru agama
bahwa hal itu dosa dan dibenci tuhan. Terlebih kini usaha Marni merambah ke bidang peminjaman
uang dengan bunga 10%. Marni dianggap riba dan lintah darat. Sudah menyembah leluhur, makan
uang riba, dianggap memelihara tuyul pula. Rahayu semakin memiliki alasan untuk membenci ibunya. 


Di masa-masa yang sama tentara juga semakin memanfaatkan kekuatannya untuk pribadi.
Orang-orang yang kelihatan memiliki perekonomian yang baik di porot habis-habisan untuk alasan
uang keamanan sehari-hari. Ketika pemilu datang, mereka diperas lagi dipaksa menyumbang untuk
biaya pemilu. Marni dengan kondisi perekonomian yang membaik berkat kerja kerasnya, kini harus
memberikan hasil keringatnya kepada tentara dan aparatur negara yang biadab itu. 


Rahayu sudah selesai SMA. Kini ia kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri di Jogja. Hubungannya
dengan ibunya semakin jarak. Apalagi ia sangat aktif di organisasi keagamaan. Organisasi tersebut
melihat rezim Orde Baru sebagai hal yang buruk dan ingin berontak tapi setiap usaha yang mereka
lakukan nihil. Ada banyak kejadian yang menggambarkan hitamnya masa itu seperti tentara yang
semena-mena terhadap rakyat kecil, pembunuhan terjadi dimana-mana dengan mayat yang
ditemukan di tempat-tempat umum dan lain sebagainya. 



Di organisasi keagamaan tersebut Rahayu jatuh cinta kepada seorang dosen hukum, Amri, yang juga
kebetulan pimpinan organisasi itu. Tetapi Amri sudah memiliki istri. Setelah kejadian di dekat
Borobudur akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Tapi sebelumnya mereka mengunjungi
ayah dan Ibu Rahayu di Sengget. Mengetahui bahwa Amri sudah menikah, Marni tidak setuju dan
menyebut Rahayu sundal. Tetapi Rahayu menyangkal mengatakan bahwa dalam islam menikah
lebih dari sekali itu dibolehkan. Akhirnya pernikahan hanya berlangsung sederhana hanya dihadiri
penghulu dan beberapa saksi saja. Dua hari setelah pernikahan keduanya langsung meninggalkan
Singget dan tidak kembali lagi untuk waktu yang lama. 


Rahayu dan Amri semakin aktif di organisasi yang punya haluan politik sosial. Setelah dipecat dan di
DO keduanya memutuskan untuk bekerja di sebuah pesantren. Suatu hari ada hal mereka lihat
sebagai sebuah penzoliman dari pihak pemerintah dan mereka pun ikut campur. Pemerintah akan
membangun waduk dan memaksa warga untuk meninggalkan pemukiman mereka diganti dengan
pemukiman baru. Tetapi Rahayu, Amri dan seorang ustad lainnya menganggap itu sebagai sebuah
kezoliman. Mereka ikut campur dan berakhir dengan terbunuhnya Amri dan Rahayu dipenjara. 


Marni sudah lama tidak berhubungan dengan Rahayu. Kini kehidupannya juga semakin buruk dengan
harta yang dihasilkan dengan keringatnya sendiri hilang sedikit demi sedikit diperas oleh aparat
pemerintahan. Teja meninggal karena kecelakaan meninggalkan banyak masalah. Ternyata selama
ini Teja memiliki madu dan anak. Madunya menuntut pembagian harta. Marni yang bekerja seorang
diri, Teja hanya mengantar Marni saja kemanapun ia pergi, tidak rela hartanya diambil orang asing.
Demi tidak diambil, Marni menyogok seorang petinggi tentara dengan 1 hektar tanah. Dan masalah
pun selesai. 


Beberapa waktu berikutnya, Marni mendapatkan kabar tentang kondisi Rahayu. Sejak saat itu ia pun
menjenguk rahayu rutin ke penjara di Semarang. Semua sisa uangnya setelah diperas aparat negara
semakin hari semakin berkurang. Namun ia tidak peduli karena dia lebih memilih anaknya yang
walaupun sempat membencinya baginya itu sudah berlalu. 


Beberapa tahun berikutnya Rahayu keluar dari penjara dengan syarat membayar denda 10 juta dan
melakukan laporan setiap hari senin. Dia juga memiliki KTP khusus yang berlabel. Label itu sebagai
penanda untuk orang-orang yang pernah terikat organisasi makar seperti PKI. Ini membuat hidup
Rahayu seperti mati berjalan. 


Rahayu kembali ke Sengget dengan karakter yang lebih tenang. Dia tidak lagi menghujat ibunya
penyembah leluhur. Namun dia tidak memiliki semangat hidup dan keriangan. Pekerjaannya hanya
dirumah sepanjang hari dan keluar hanya pada hari Senin untuk laporan. Ini membuat Marni kesal.
Marni yang sudah tua masih gigih bekerja dan anaknya yang muda malah tidak punya semangat
hidup. Di kemudian hari Marni baru tahu tentang status anaknya di KTP. Marni tentu tidak bisa baca.
Dia mengetahuinya dari Rahayu sendiri saat dikonfrontasi tentang tidak adanya semangat hidup yang
dia miliki. Ada percobaan untuk menikahkan Rahayu dengan seorang kuli angkut di pasar. Namun
gagal setelah si lelaki tahu label di KTP Rahayu. 


Akhirnya mereka hanya hidup berdua. Dengan akhir (walaupun akhir cerita berada diawal cerita) di
tahun 1999 dimana status KTP Rahayu sudah berubah. Mungkin mengindikasikan bahwa Orde Baru
telah usai. Namun di waktu itu, kondisi kesehatan Marni sudah memburuk walaupun tidak diceritakan
dengan jelas. 


Usai!