The photo is taken from Syukri Muhammad Syukri's facebook |
Lain cerita kalau keadaannya adalah merantau di
negeri orang yang makanannya 100% berbeda. Belum lagi kalau makanan pokok
Indonesia –nasi- tidak tersedia. Jam makan bisa-bisa menjadi benacana besar
dalam hidupnya. Terutama dibulan-bulan atau tahun awal perantauan yang
merupakan masa-masa adaptasi. Setidaknya itulah yang kurasakan selama berada di
Turki ini. Bukan hanya tahun pertama bahkan sampai sekarang.
Seperti halnya di Indonesia masyarakat Turki juga
memiliki lidah yang berbeda-beda. Masyarakat di bagian timur Turki pada umumnya
menyukai makanan yang berbumbu-bumbu (spice). Salah satu kota yang memiliki
cita rasa makanan yang cocok dengan lidah Indonesia adalah Adana. Untuk itu
kalau bertandang ke Turki sangat disarankan mengunjungi Adana atau mampir ke
restoran yang menyediakan masakan khas Adana. Salah satu makanan andalannya
adalah kebab Adana. Kebab Adana sangat masyhur di Turki bahkan sampai ke negara-negara
Eropa.
Kalau bagi mahasiswa lain tahun pertama mungkin
adalah tahun-tahun terberat untuk beradptasi terhadap makanan namun itu tidak
sepenuhnya terjadi padaku. Kebetulan tahun lalu saya berkesempatan untuk
tinggal di Adana selama hampir setahun. Dan seperti saya katakana tadi bahwa
makanan di Adana sangatlah cocok dengan lidah Indonesia. Sehinga saya tidak
terlalu sulit untuk beradaptasi. Hanya saja butuh beberapa saat untuk mengganti
nasi dengan ekmek (sebutan untuk roti
pada bahasa Turki). Hal lain yang menjadi keberuntungan mahasiwa Indonesia yang
berada di Adana adalah adanya cabe super pedas yang kota lain di Turki tidak
miliki. Namanya Cin biberi. Menemukan makanan pedas di Turki sangatlah sulit. Untuk
itu sangat dimaklumi kalau mereka sangat berbangga hati dengan adanya cabe itu.
Namun tahun ini aku kembali harus merasakan masalah
peradaptasian makanan karena sekarang aku tinggal di bagian Ege Turki, Manisa. Bagian
Ege Turki sangat terkenal sebagai daerah tourist, terutama kota Izmir. Letak manias
Izmir hanyalah 40 menit perjalanan dengan bus. Untuk itu tidak terlalu sulit
menemukan makanan asal kota lain disini. Hanya saja dibutuhkan dompet tebal
untuk menyicipinya.
Keunikan para perantau Indonesia di Turki adalah
kegemaran mem-post foto makanan. Bagi mereka yang tinggal di apartmen atau
tempat yang memungkinkan untuk memasak ini adalah anugerah. Mereka bisa memasak
makanan Indonesia berbekal bumbu sachet yang mereka bawa pada libur musim panas
sebelumnya. Melihat postingan makan itu di FB, Twitter, Instagram, Whatsapp dan
media lainnya sangatlah menyedihkan. Hal ini membuat kerinduan terhadap tanah
air semakin bergejolak.
Sebagai seorang yang berasal dari timur Sumatera,
alias Aceh bagian tengah, alias Dataran Tinggi Gayo, makanan yang paling
kurindukan adalah taruk jepang. Ini adalah
salah satu makanan khas dataran tinggi Gayo, setidaknya itu yang ada dalam
persepsiku. Secara bahasa taruk jepang
berarti pucuk labu siyem. Labu siyem atau di tempatku disebut taruk jepang ini ternyata juga bernama
Manisa (baru saja saya check di Wikipedia, kebetulan?). Sayuran ini hanya di rebus sederhana dengan
taburan sedikit garam yang mebuatnya special adalah cecah agur. Cecah agur adalah kombinasi cabe mentah yang diulek
dengan terong belanda. Kedua makanan ini adalah makanan langka yang bahkan
sangat sulit ditemukan didaerah lain di Indonesia. Itu menjadikannya sangat special
bagiku.
Satu hal lagi yang mebuatku ingin segera pulang,
Depik. Depik atau rasbora tawarensis adalah ikan endemik Danau Lut Tawar,
danau yang terletak di Takengon. Ikan ini bebentuk seperti ikan teri hanya saja
ia hidup di air tawar dan memiliki rasa yang berbeda. Nama masakan lokal yang spesial
untuk ikan ini adalah depik pengat atau depik dedah.
*Ditulis setelah sarapan pagi dengan ekmek + telur
dadar. Kau bisa bayangkan bagaimana air liurku mengalir membayakan semua
masakan itu. Oh Tuhan aku ingin segera pulang.
0 comments:
Post a Comment