Saya keluar dari hostel cukup awal, jam 8 pagi, menuju bandara Otopeni, yang kebetulan berada diluar kota Bucharest. Hari sebelumnya saya sudah bertanya ke pihak hostel cara menuju ke bandara. Jadi harusnya pagi ini tidak ada masalah. Tiket bus pun telah aku kantongi.

Bus menuju bandara beroperasi setiap 40 menit. Kebetulan halte pertama bus no 783 berada tidak terlalu jauh dari hostel, tepat berada di bundaran depan Parliament palace. Dari hostel cukup berjalan kaki sekitar 15 menit. Tiket nya juga cukup terjangkau- 8 lei untuk dua kali jalan.

Sesampainya di Bandara saya langsung masuk ke bagian penerbangan international, sebenarnya di Bucharest ini tidak terlalu kentara terminal penerbangan lokal dan international - mungkin karena penerbang antar Eropa sudah terlalu biasa disini. Setelah menunggu lima belas menit akhirnya di monitor tertulis tempat check in untuk wizzair. Saya langsung lari menuju antrian di depan konter wizzair.

Percuma lama mengantri, ternyata pas di konter, bukti check in online yg sudah saya print cuma di sobek, bukan diganti dengan boarding pass yang baru. Memang sih saat pemesanan tiket saya milih yang check in online, karena yg check in di bandara berbayar sekitar 5€ lagi.

Setelahnya aku dihadapkan pada pertualan untuk melalui banyak sekali pos, hal yang membuatku bernostalgia ke masa-masa SMP dimana aku masih aktif di pramuka. Di pramuka kami sering mengadakan hicking. Saat hicking para senior biasanya menyediakan pos berikut dengan tantangan, seperti menemukan kode agar diizinkan untuk lanjut ke pos berikutnya.

Pos pertama yang saya lalui adalah pos pemeriksaan tas, dimana Shampoo ku gugur ke tong sampah. Selanjutnya pos pemeriksaan paspor, dan pertanyaan tentang nama kembali hadir. Akhirnya barulah masuk kebagian gate dimana pesawat yang akan ditumpangi seharusnya bertengger. Namun tidak dengan pesawat ku hari ini. Setelah menunggu di gate itu satu jam lebih, akhirnya layar monitor menukar tujuan pesawat yang awalnya Milan menjadi Amsterdam. Sempat terbesit dikepalaku untuk berlaku nakal. Apa saya naik pesawat ini saja ya. Biar langsung sampai ke Amsterdam.

Tapi aku tidak segila itu. Rencanaku sudah bulat dan aku tidak akan membiarkan rencana yang bulat itu menjadi retak seperti kue ketawa. Saya pun dengan kadar positif yang tinggi berjalan cepat menuju gate yang baru, karena jam sudah menunjukkan -40 menit sebelum keberangkatan. Harusnya jam segini penumpah sudah dipersilahkan masuk kedalam pesawat. Ternyata kali ini ada hal yang unorthodox terjadi, delay! Wizzair akhirnya menjadi sang juara yang telah menancapkan rekor pertama menjadi pesawat yang memberiku pengalaman delay! Dengan begitu wizzair harusnya layak menerima medali warna merah di perjalananku selanjutnya. Tapi tiket pulang sudah terlanjur dibeli. Kalau begitu setelah selesai rute perjalanan ini, wizzair pasti akan mendapatkan hadiah yang layak ia embat.

Delay berlangsung sekitar 50 menit. Entah apa penyebab delay, tapi yang jelas saya menyaksikan betapa para penumpang didalam pesawat jalan berhamburan keluar pesawat. Sepertinya mereka adalah penumpang yang menuju suatu negara namun salah menaiki pesawat- atau pihak wizzair memutuskan untuk menggati pesawat lain untuk mereka. Apapun itu, tentu mereka sangat kesal. Begitu juga orang-orang yang menunggu mereka keluar yang menganggap mereka menjadi penyebab delay.

Perjalanan Bucharest - Milan berlangsung 1 jam 50 menit. Diudara perjalanan cukup membuat jantung grarap-grugup. Awan musim dingin menjadi penyebab terjadinya turbulan yang tak terhindari. Namun Alhamdulillah kami penumpang wizzair nomer 7135 sampai dengan selamat.

Oh.. ternyata untuk sampai ke Eropa tidak sesulit yang kupikirkan kataku. Namun aku berubah pikiran setelah keluar bandara. Terutama ketika melewati booth pemeriksaan paspor. Kejadian Paris beberapa bulan lalu membuat wajah Eropa berubah 360 derajat. Sekarang setiap wargawan asing harus melewati pemeriksaan ketat. Sampai-sampai ada yang ditanya tentang bukti keuangan. Karena tidak memiliki rekening koran akhirnya orang itu menunjukkan euro yang ada dikantongnya.

Saatnya saat maju ke booth pemeriksaan paspor. Saat ditanya ada tujuan apa ke Milan, saya jawab berwisata sekaligus bertemu teman, saya langsung dibiarkan lewat. Betapa saya merasa bahwa saya baru saja mendapatkan durian runtuh. Tidak saat saya sudah bebas keluar bandara. Tiba-tiba stuff bandara yang ditugaskan untuk memantau bagian tengah bandara memanggil dan memaksa saya untuk membuka tas. Saya tidak ada pilihan tapi membiarkan si petugas untuk memereteli barang-barang saya. Hal yang membuat saya kesal adalah tas saja jadi rusak. Zipper nya tidak bisa ditutup lagi. Saya pun tidak punya pilihan selain membeli tas baru. Untung Decathlon punya tas dengan harga yang terjangkau, 9€. Sulit rasanya melepaskan tas bodypack yang telah menemanikan hampir 4 tahun. Tapi aku yakin dia akan senang gugur dimedan pertempuran, karena tempat dimana ia dikuburkan adalah Milan. Ia bisa berbangga diri dengan kematiannya, karena dikuburkan ditanah para barang bermerk - dan ia pun bisa mengaku-ngaku menjadi bagian dari barang bermerk itu..

Setelah bersusah payah dengan lelucon yang dibuat oleh pihak kedutaan, akhirnya aku mendapatkan apa yang disebut "besusah-susah dahulu bersenang-senag kemudian." Walaupun tidak ada yang namanya 'kebahagian abadi' - hal yang selalu diperdebatkan di dunia film dan literatur. Para realist menganggap bahwa cerita yang berakhir dengan kebahagiaan bukanlah cerita yang yang sebenarnya. Karena kehidupan tidak pernah berjalan begitu. Hidup adalah campuran antara bahagia dan duka. Kedua kata sifat ini selalu berbaringan dan mereka selalu berlari mengelilingi roda kehidupan. Terkadang si Bahagia berada di roda paling atas. Lain kesempatan si Duka yang menempati posisi itu. Begitulah hingga akhir kehidupan.
Begitu juga dengan perjalanan visa ku. Sesaat setelah aku mendapat e-mail dari pihak kedutaan Belanda, otak ku langsung bergerak cepat. Tiket-tiket!! Setelah mengecek skyscanner ternyata harga tiket sudah naik dua kali lipat, dari 10€ menjadi 25€. Akupun langsung dibuat stress. Ternyata benar, rasa bahagia itu tidak permanen. Lima menit setelah membaca email bahagia, rasa Duka kembali mengungguli si bahagia.
Rencana awalku yang tidak muluk-muluk hanya ingin jalan-jalan di Italia (Roma-Pisa-Flowrence-Milan), namun setelah menerima penghinaan dari pihak kedutaan Italia yang menolakku bahkan sebelum dokumen yang ku siapkan diperiksa, akupun merasa bahwa aku harus membalas hutang budi kepada kedutaan Belanda yang telah berbaik hati menganugrahiku visa schengen. Hal lain yang membuatku nekad mau ke Belanda karena takut nanti di pinalti karena tidak mengunjungi negara yang mengabulkan visa.

Jadi akupun memutar otak gimana caranya bisa sampai ke Belanda, tanpa mengeluarkan uang terlalu banyak. Aku langsung melototi peta berjam-jam, dibarengi dengan melihat harga tiket. Hal ini berlangsung-berhari. Hingga hari ketiga setelah mendapatkan kabar dikabulkannya visa, akhirnya saya memutuskan untuk merubah rute perjalanan menajadi (Milan-Lyon-Paris-Maastrich-Amsterdam).

Kenapa Milan? Karena tiket langsung ke Paris atau Belanda sangat mahal hampir 100€. Akhirnya aku menjadikan Milan sebagai pintu gerbang menuju negara-negara Eropa lainnya. Entah mengapa tiket pesawat Romanian - Italia lebih murah dibanding negara-negara lainnya, termasuk Hungaria yang padahal tetangga terdekatnya. Alasannya mungkin karena pesawat jurusan Romania - Italia lebih banyak daripada negara-negara lainnya. Setelah hidup di Romania, aku melukan sedikir observasi, yaitu orang Romania banyak yang berimigrasi ke Italia untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih layak.

Nah.. tiket Bucharest - Milan pun aku kunci dengan harga 25 euro. Setelah riset ternyata bandara Malpensa lumayan jauh untuk sampai ke Milano Centrale, untuk menuju kesana aku harus merogoh kocek sedikitnya 10€. Pikirankupun langsung berputar 360 derajat. Tidak ada lagi kata berputar balik. Keputusan sudah dibuat dan aku harus menerima dan bertanggungjawab atas ketidak telitianku.

Dua hari sebelum tanggal keberangkatan aku berangkat menuju Bucharest, untuk mengambil paspor berikut tempelan visa yang sudah dijanjikan. Aku langsung berfikiran aneh lagi, bagaimana kalau email ini salah dan ternyata pengabulan permohonan visaku sebuah fiksi? Karena dibagaian akhir email ada tulisan yang menyatakan bahwa kemungkinan kesalahan adalah hal yang wajar. Pikiran anehku berikutnya, okeh visa ku di kabulkan tapi ternyata tanggal berlakunya dimulai bukan dihari penerbanganku? Untung kesemua pikiran aneh ini terpatahkan saat aku mengambil paspor. Malah sebaliknya visanya berlaku 3 hari lebih awal dari yang aku minta. Dan jumlah berlakunya 20 hari lebih banyak. Cuma satu yang sangat disesai, pihak kedutaan Belanda memberi single entry, artinya sesaat aku meninggalkan kawasan schengen langsung hangus sisa visa yang ada. Awalnya sempat membayangkan main ke Yunani di akhir februari. Tapi ya sudahlah ini kah permohonan visa schengen pertamaku. Aku harus mensyukuri apa yang aku dapat

1. Transportation

Capital city in general is a crowded place, and so does Bucharest. Taking bus to explore the city, is definitely not a wise decision to make. Furthermore, you need to worry about the authoritity who might be wearing mask under the uniform. Unlike the cities in Turkey, or perhaps other countries too, Bucharest's buses do not provide the ticket scanner (machine) at the nearest door to the driver. But, they (ticket scanners) are attached in the middle of the bus. This allows passangers to enter the bus from every door, which at first sounds like a good idea. But if you know what's in the authority's mind you would change the whole perspective.

When you enter the bus please do scan your ticket immediately! There will be authotities coming to check your ticket. If they find out you just scanned the ticket, you will be their prey. They will be fantasizing money coming from you. If you happen to be the one who scan his card when the authority coming, please whatever happens do not hand your ID to them. Once you handed your ID, they will not give it back unless you give them 50 lei.

This might sound illogical, but foreigners are the easiest people to fool. As foreigners we often think that we are obligated to show our ID, when the authority asks. Not in this case, it is just a trap. Or perhaps you could show your ID, but don't allow them to touch it. Just let them see it from distance.

******
Fortunately, Bucharest has subways that are well connected. You could literally reach all the cities by taking the subways. If you wanna go to the old city, for example, you can take the subway that goes to the University of Bucharest. From there you just need to walk 15 minutes.

One of the things a traveler must have is a devise that has GPS on it, if you have GPS - nothing you need to worry about. Atleast in the case of Bucharest, where you can pretty much walk on foot everywhere- the touristy places are mostly in the center of the city. And also, from my experience, the route of transportation in Bucharest are very well recorded on googlemaps, instead of asking the passersby you can just utilize your divise, right? Sometimes asking the passersby can waste your time.

For metro (or subway) you have the option to buy daily ticket that costs 8 lei, I suggest you to buy this ticket if you are staying in bucharest less than a week. And, If you are planning to stay in Bucharest for the whole week, it might be better if you buy the weekly ticket that costs 28 lei.

2. Accommodation or Where to Stay?

I am not talking about a big budget traveler's accommodation here. I am just gonna focus on low budget traveler's accommodation, which is hostel - since I failed to get a host through couchsurfing. Try to join couchsurfing, who knows may be you are lucky enough to get a host.



For a hostel, I have only one recommendation, the Cozyness of Downtown Hostel. This is my very first experience staying in a hostel, and I am impressed by it. I have so many worries regarding hostel - or I listen to much to the voices out there.
If you happen to be in Bucharest, this hostel is definitely where you should stay. What I feel most about this hostel is a sense of trust and community. They provide a shared kitchen that you can use for free. And there is where you are made to feel like you belong the community. Plus, the community you have is international community. When I was there I met people from the USA, Finland, Belgium, Italy etc. If you are lucky enough, you can exchange stories with these interesting people. They are normally very open-minded.



The stuff of this histel is unbelievably kind - when you first arrived she will instantly offer you a free towel, a pair of sandal, a lock for your locker, bucharest map, and other brochures regarding Bucharest.



What would make you attached to this place, I think is the living room - or the lobby - if it's lobby at all, I think they failed to create that image, because it's so hommy.

I don't want to praise too much, because it will make it sound cheesy. So, again, if you are in Buchareat you should definitely stay here.



Nama Romania tidaklah se-megah negara-negara Eropa lainnya. Namun demikian bukan berarti Romania tidak worth-visiting. Ada banyak hal yang bisa ditawarkan oleh Romania, sebut saja ibu kota Romania, Bukarest, atau nama lainnya "the little Paris." Untuk mengetahui alasan dibalik nama panggilannya ini, tentu kita harus mengunjungi Bukarest secara langsung - selanjutnya bisa menilai apakah sebutan itu layak dimiliki oleh Bukarest?

Setelah berkunjung ke Bukarest selama tiga hari, saya dengan otomatis meng-iyakan sebutan itu. Arsitektur Bukarest memang sangat bersinambung dengan nama yang ia sandang. Kalau anda merupakan pencinta arsitektur, tidak ada salahnya mengunjungi bukarest. Berikut adalah list bangunan yang akan membuat anda terpesona:

1. The Palace of Parliament (Gedung Parliament)

Gedung Parliament ini adalah gedung terbesar kedua didunia setelah Pentagon. Dan merupakan sebuah karya termegah Nicolae Ceauşescu, seorang diktator yang pernah menguasai Romania. Gedung ini di bangun di tahun 1984, belum tuntas hingga sekarang, memiliki sebanyat 3000 ruangan.

Jika anda berkunjung ke Bukarest, tidak ada salahnya mencoba untuk masuk kedalam gedung ini. Ada tour yang disediakan khusus berikut dengan guide. Bayarannya cukup bervariasi, untuk pelajar bisa membayar sebanyak 13 lei atau sekitar 44 ribu rupiah. Untuk turis umum, 25 lei atau sekitar 85 ribu rupiah. Jam berkunjung dibuka dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore.

2. Romanian Athenaeum (Ateneul Român)

Romanian Athenaeum adalah sebuah gedung bertunjukan yang berlokasi tidak terlalu jauh dari Universitas Bukarest, tepatnya di jalan Franklin nr. 1-3, sector 1. Bahkan untuk menuju kesana, anda bisa mengikut arah samping kanan gedung universitas Bucharest - selanjutnya anda cukup berjalan lurus saja.

Gedung ini pertama kali dibuka di tahun 1988. Didesign oleh seorang arsitek Prancis, Albert Galleron. Dalam pembuatan gedung ini sempat terjadi penggalangan dana dari masyarakat, yang slogannya masih dikenal hingga saat ini "Donate one leu for the Ateneu!"

Didalam gedung, dibagian ruang lobby, ini anda akan di buat tercengang oleh betapa simetrisnya gedung ini dan betapa megah design yang dibuat. Terutama ketika anda masuk ke ruangan pertunjukkan anda akan melihat lukisan indah menggambarkan raja-raja Romania, seperti Carol ke 1 dan lainnya.

3. Cărtureşti Carusel


Cărtureşti Carusel sebuah bangunan tua dari abad ke 19 yang di transformasikan menjadi sebuah toko buku megah. Dengan keunikan bangunannya, Cărtureşti Carusel mampu membuatmu merasa seolah-olah sedang berada didunia dongeng.
Toko buku ini terdiri dari 6 lantai, lantai atas bangunan ini dijadikan sebuah cafe dimana pengunjung bisa bercengkrama berduduk santai sambil menyicip minuman. Lantai lima kebawag didedikasikan untuk kolekasi buku-buku dan souvenir, tidak ketinggalan juga koleksi CD film maupun musik.

Tentu tiga list diatas hanya sedikit dari bangunan megah yang dimiliki oleh Bukarest. Ada banyak bangunan lain lagi yang bisa menghipnotis anda. Untuk menememukan kemegahan itu tentu anda harus mengunjungi Bukarest secara langsung.


Karakter pribadi saya, yang tidak pernah bisa menerima kata 'tidak' sebagai jawaban, memutuskan untuk mencari cara agar perjalanan ke ibu kota Romania ini tidak berahir sia-sia. Hal pertama yang saya lakukan setelah di tolak kedutaan Italia adalah menenangkan diri. Saya memutuskan untuk mencari tempat yang bisa diberistirahat sekaligus berfikir. Yang hadir ke kepala saya adalah café. Awalnya saya sempat berifikir untuk pergi ke starbucks, namun setelah mengecek di googlemap yang hanya mengidentifikasi gerai yang jauh saya pun mencari tempat terdekat. Setelah berjalan 500 meter dari lokasi konsulat Italia, saya melihat ada sebuah café dan tanpa pikir panjang langsung masuk dan mengorder cokelat panas, hal yang nantinya sangat saya sesali - karena: pertama, karena harga si cokelat panas adalah 17 lei dan yang kedua, ternyata ada starbucks juga diseberangan jalan.

Saya memutuskan untuk tidak memikirkan ketololan saya dalam mengoder cokelat panas yang super mahal itu. Saya bertekad hanya akan fokus pada kemungkinan yang saya punya dalam hal visa. Saya mengecek semua website negara-negara EU yang masuk dalam list Schengen. Pertama, saya mengecek website Spanyol yang akhirnya memutuskan bahwa ini bukanlah bagian dari opsi saya - karena si website dipenuhi dengan bahasa Spanyol. Kalaupun ada bagian yang bisa mengganti bahasa si website saya gagal menemukannya.

Polandia sudah tidak mungkin dari awal, karena mereka mengharuskan adanya appointment. Appointment yang paling terdekat adalah 05 Januari, saat saya cek tiga hari sebelumnya masih 30 Desember. Dari awal target saya sebernarnya Polandia, namun karena ketidakpastian kapan Residence Permit keluar akhirnya saya tidak membuat appointment. Inilah yang sebenarnya membawa saya kepada Kedutaan Italia sejak awal. Selain fakta bahwa Italia adalah salah satu destinasi utama saya.

Selanjutnya dibenakku hadir sebuah pemikiran dangkal bahwa Kedutaan Belanda mungkin bisa dicoba. Belanda dan Indonesia kan memiliki sejarah panjang. Mungkin mereka akan lebih memiliki rasa kasihan yang tinggi sehingga diharapkan pada akhirnya bisa berakhir pada pengabulan permohonan visaku.

Kebetulan saja ketika saya mengecek website kedutaan Belanda, ada jadwal appointment untuk tanggal 10 Desember yang kebetulan adalah keesokan harinya. Saya tanpa pikir panjang langsung menyantumkan nama saya di jadwal appointment itu. Walaupun setelahnya saya berharap agar appointmentnya bisa di undur ke jam lain. (Appointment saya jam 9.00 pagi)

Keluar dari café itu saya lagi berkutik dengan diri saya sendiri tentang langkah apakah yang selanjutnya saya harus lakukan. Pergi ke hostel yang saya belum membuat reservasi sama sekali atau mencari warnet, yang sangat mustahil di tahun 2015 ini. Saya tidak butuh wifi, yang saya butuhkan adalah komputer - hal yang disediakan oleh pihak hostel. "Dapat digunakan secara percuma," katanya. Plus mereka juga membolehkan tamu untuk menggunakan printer secara percuma juga.

Saya akhirnya berjalan kaki sambil memantapkan keputusan. Saat berjalan saya mencoba untuk melihat alamat KBRI di googlemap dan ternyata cukup dekat. Saya berjalan sampai gerbang KBRI, tapi memutuskan untuk tidak masuk. Dengan alasan bahwa saya belum mebuat janji. Dan juga ada hal lain yang perlu saya tuntaskan dulu.

Bejalan lima meter ke arah kanan KBRI adalah jalan besar, yang setelah saya cek ada bus yang menuju ke arah Hostel yang saya akan tumpangi. Saya memutuskan untuk menuju kesana dan check in. Saat check in saya terhentak ketika mendengar bahwa harga hostel permalam tanpa reservasi adalah 40 Lei. Saya berontak, "loh… di website harga 54 lei kok per dua malam." Si mba yang baik hati langsung berbisik "ya sudah booking lewat internet saja." Saya langsung senyum dan dengan seketika saya merasa bahwa saya ada ditempat yang tepat.

Setelah ditunjukkan dorm saya, saya langsung meminta izin untuk menggunkan komputer untuk menyiapkan dokumen yang diminta oleh pihak kedutaan. Sebenarnya hampir semua dokumen sudah saya lengkapi, karena kedua kedutaan meminta jenis-jenis dokumen yang hampir mirip. Hanya saja, saya harus mengisi ulang formulir visa yang berlabelkan kedutaan belanda.

Keesokan harinya saya bangun cukup awal. Tapi saya memutuskan untuk tetap merebahkan diri di atas kasur. Saya juga tidak melihat jam di tablet. Ternyata jam sudah menujukkan jam 7.30. Saya lupa kalau ini winter, pagi winter itu tidak akan secerah pagi di waktu Summer. Saya bergegas untuk cuci rambut dan sikat gigi. Setelahnya langsu lari keluar kamar. Masih sempat untuk mencetak email yang menyatakan bahwa saya punya appointment hari itu.

Saat keluar dari Hostel saya bingung haru lari kemana. GPS saya kerjanya sangat tidak akurat. Butuh kerja keras untuk bisa lari ke tujuan. Akhirnya saya memberanikan diri untuk bertanya kepada pejalan kaki, "Do you know where is the closest metro here?" Awalnya dia sempat ketakutan karena ketergesa-gesaan ku. Tapi akhirnya dia menujukkan arah ke metro.

Lokasi kedutaan besar Belanda ada di daerah Pipera. Metro M2 dari arah Tineretului ke Pipera memakan waktu sebanyak 30 menit. Saya sangat takut akan terlambat. Ada banyak cerita terntang keterlambatan yang cukup mengahantuiku.

Saya cukup sukses untuk sampai ke Metro Pipera di jam 9.30. Namun lagi-lagi saya masih harus menemukan gedung kedubes Belanda. Setelah memasuki tiga gedung akhirnya, ada satu pusat informasi gedung yang memberikan alamat yang benar.

Di menit ke 58 saya masih masuk kelantai yang salah. Saya seharunya naik ke lantai 8 tapi saya malah turun dilantai 6. Saya pencet ke 4 lift yang ada, akhirnya ada satu yang muncul. Didalam lift, jam menunjukkan 8.59. Saya lari keluar saat lift berhenti. Langsung menuju pintu yang bertuliskan kedutaan Belanda. Saya pencet Bel dan langsung ditanya. "Yes, how can I help you?". "I have an appointment for visa," jawabku. "What time?," tanyanya lagi. "At nine." Akhirnya sipintu dibukakan juga.

Didalam saya sudah sangat gerah. Saya membuka jaket sambil di interview. Saat semua dokumen diperiksa saya kembali dihadapkan pada situasi yang membuat stress. "Where is your hotel reservasion?"

Saya tunjukkan reservasi hostel. Saya hanya membuat satu reservasi hostel, hanya di destinasi pertama saya yaitu Roma. Namun si petugas langsung beringas, "You have to make hotel reservations, or whatever your means of accommodation, for each city you visit! Otherwise how can we know that you will go to those cities? Especially the cities in the Netherlands." "Okay, I will give you time until 12.00 today to send me the hotel reservations to this email."

Masalah reservasi hotel kami kesampingkan. Selanjutnya kami lari kepermasalahan transportasi. Saya hanya menyediakan buti reservasi pesawat pergi dari dan pulang ke Romania. Karena setelah bertanya kebanyak orang, katanya Cuma itu yang diperlukan. Tapi ternyata semua jenis transportasi yang kita gunakan harus dicantumkan dalam Itinerary. Saya menyediakan Itinerary tapi tidak menyediakan keterangan tentang jenis transportasi yang saya gunakan untuk menuju kota-kota di Schengen border.

Setelah membuat alasan bahwa saya akan melakukan perjalanan saya dengan kereta api dan bus, akhirnya sipetugas hanya menyuruh saya untuk menuliskan apa yang saya jelaskan didalam kertas Itinerary saya.

Selanjutnya permasalahan biaya visa, ternyata kedutaan Belanda di Romania tidak menerima uang lokal. Mereka mengharuskan pembayaran dengan Euro. Saya meminta izin untuk menukarkan uang ke bank terdekat dahulu. Diizinkan dengan syarat, jangan terlalu lama karena di jam 9.30 ada appointment untuk pendaftar lainnya.

Saya kembali dengan uang sebanyak 60 Euro. Setelahnya saya diberi tiga kertas kecil: yang pertama, tracking code visa; yang kedua, akutasi pembayaran 60 Euro; yang ketiga, surat yang menyatakan bahwa paspor saya ada di kedutaan Belanda.

Saya pulang langsung menuju Hostel lagi. Disana saya memutar otak untuk membuat reservasi hostel disetiap kota yang akan kunjungi: Paris, Maastritch, dan Amseterdam. Untuk membuat ketiga reservasi hostel, saya harus berperang dengan waktu lagi. Saya saya sampai ke hostel waktu menunjukkan jam 10.50. Artinya saya hanya punya waktu satu jam.

Saat di Metro saya sudah menyusun surat keterangan bahwa saya akan tinggal di apartmen teman yang kebetulan sedang bersekolah di Maastritch. Beliau sedang sibuk, akhirnya surat yang seharusnya beliau yang menyiapkan, berakhir ditangan saya. Saya hanya menanyakan alamat. Bagaimana mungkin saya bisa menyiapkan surat dalam 1 jam. Menyiapkan surat adalah hal yang gampang. Tapi meminta tanda tangan orang dari seberang sana yang sangat sulit. Apalagi beliau sedang ada dalam kelas.

Surat itu saya kesampingkan. Saya kembali mengecek hostel termurah di kedua kota, Asmterdam dan Paris, tanpa mengecek lebih detail qualitas si hostel. Hostel di kedua kota ini cukup mahal-mahal. Kalau di Roma saya masih bisa menemukan hostel dengan harga 12 Euro permalam, dikedua kota ini harga umum hostel adalalah 24 euro. Tapi setelah mengotak atik akhirnya saya menemukan hostel melalui hostelbookers.com dengan harga 17 Euro permalam. Dan 20.50 Euro untuk hostel di Amsterdam.

Saya kesulitan untuk men-convert kedua dokumen kedalam PDF. Memori tablet saya sedang penuh, sehingga email tidak bisa langsung masuk. Di Tablet seharunya sidokumen bisa dengan mudahnya di convert ke pdf saya memilih menu print.

Segala hal yang penting atau tidak penting saya hapus. Dan sekarang si email masuk dan langsung saya convert ke PDF, dan setelahnya saya email lagi ke diri sendiri. Selanjutnya masalah si surat belum selesai. Tempat saya tidak bisa dihubungi. Padahal saya meminta tanda tangan di dokumen lamanya, tapi sangat tidak mungkin didapatkan karena beliau sedang dalam kelas.

Akhirnya saya bisa me-manage ketiga dokumen, dengan segala cara yang saya punya. Jam menunjukkan jam 12.05, saya telat lima menit. Tapi saya tidak lagi menghiraukan itu. Saya sukses mengirim ketiga dokumen di jam 12.13. Dalam keadaan perut lapar dan badan kedinginan aku pun menghebuskan nafas lega. Setidaknya saya sudah berusaha dengan sekuat tenaga saya. Kalau saya belum bisa mengunjungi Eropa kali ini, inshaaAllah ada waktu lain.
 
  


Indonesia sudah pasti diperlukan oleh negara asing. PASTI! Itu bukan sebuah pertanyaan lagi. Begitu juga sebaliknya, negara asing juga diperlukan oleh Indonesia. Namun kenapa disaat perjanjian internasional berlangsung, Indonesia selalu berda diposisi seolah-olah Indonesia (saja) yang memerlukan pihak asing tersebut?

Pemerintah Indonesia juga sangat pandai menjadi 'korban', dengan hanya berdiam saja. Dan memaklumi perlakuan si negara 'adi-daya' 'adi-kuasa' - entah kenapa Indonesia dengan sangat murah memberikan julukan itu kenegara luar, tapi sulit untuk menamai diri sendiri dengan julukan itu- yang seolah-olah meremehkan kita.

Kenapa Indonesia dengan santainya menandatangani perjanjian bebas visa kepada banyak warga negara asing, dan menerima begitu saja bahwa perjanjian ini berlaku sepihak? Misalkan warga negara Italia bisa masuk ke Indonesia tanpa visa, namun tidak sebaliknya.

Hari kamis kemarin saya mendatangi kantor konsulat Italia di Bukarest guna mendaftarkan visa turis schengen. Namun aplikasi saya ditolak begitu saja saat si petugas melihat kartu Residence Permit (izin tinggal) saya. Dengan menimbang tanggal berakhirnya RP saya yang aktif hingga pertengahan Februari 2016- sipetugas sudah memiliki tebakan akan keputusan yang akan keluar. Padahal hari berkunjung ke daerah schengen yang saya minta hanya 15 hari, mulai 21 Desember sampai 05 Januari, yang berarti saya masih memiliki hak tinggal di Romania. Saya meminta saran kepada si petugas, "what is your suggestion then?." Tapi jawabnya, "I've told you my suggestion."

Saya sudah menjelaskan kepada si petugas bahwa saya adalah mahasiswa erasmus+, sebuah program pertukaran pelajar yang di organisir oleh salah deputi pendidikan EU, namun ternyata status ini tidak memberi jaminana apa-apa. Kebanyakan peserta yang mengikuti program ini, pada umumnya, sangat diuntungkan dari sisi kemungkinan untung mengeksplorasi Eropa. Namun lain halnya jika si peserta mendapatkan kesempatan ber-erasmus di kawasan balkan yang mayoritas belum termasuk dalam lingkup schengen, seperti Romania ini. Romania termasuk dalam EU awal 2000-an, namun belum dimasukkan dalam list Schengen. Janji terakhir dimasukkannya Romania kedalam Schengen adalah 2014, namun negara-negara superior yang ada dalam Schengen mangkir lagi, dengan alasan Romania adalah gerbangnya imigran illegal. Jika Romania di masukkan dalam kawasan schengen mereka menakutkan terjadinya proses imigran ilegal masal.

Tentu alasan ini bisa diperdebatkan oleh banyak pihak. Salah satu warga Romania yang saya temui di Bucharest pada hari terakhir saya disana mengaku bahwa dia tidak terlalu senang dengan semua ide ini. Bahkan masuknya Romania dalam lingkup EU saja tidak berpengaruh banyak. Karena Romania, seperti negara-negara Eropa bekembang lainnya hanya menjadi pelengkap bagi 'negara-negara superior' Eropa. Si negara berkembang yang otomatis menjadi inferior, bahkan tidak memiliki kukuatan banyak dalam memberikam keputusan di meja hijau EU.

Kembali kepada ketidakberdayaan paspor Indonesia.
Didunia ini kemanakah pemilik paspor Indonesia bisa masuk dengan bebas? Kebanyakan hanya kenegara-negara third-world country. Itupun tidak semua bebas. Kebanyakan masih mewajibkan fee, hanya saja prosesnya tidak perlu melalui kedutaan. Fee bisa dibayar ketika sampai dinegara "visa on arrival" atau melalui online "electronic visa." Kedua jenis ini berlaku bagi pemilik paspor Indonesia yang mengunjungi Turki. Awalnya Turki menggunakan sistem visa on arrival, namun tiga tahun terakhir Turki sudah mengganti sistem menajadi electronic visa.

Kalau ditanya banggakah menjadi warga Indonesia? Pasti bangga. Namun itu tidak merubah kenyataan bahwa memiliki paspor Indonesia menyulitkanmu untuk menjelajahi dunia. Apalagi ketika menjadi warga Indonesia yang berstatus sosial menengah ke bawah, akan saat sulit kemana-mana. Tentu ini sebuah penggeneralisasian. Ada banyak orang yang me-manage visanya dikabulkan oleh banyak duta besar walaupun berstatus sosial mengengah kebawah. Umumnya melalui program-program konferenasi internasional, dan program pertukaran pelajar yang telah mengantongi surat undangan dari negara tersebut. Tapi untuk visa turis, siap-siap saja menyedialan banyak dokumen seperti:
1. Asuransi perjalanan,
2. Foto dengan ukuran sesuai pemintaan dubes,
3. Rekening koran yang memenuhi permintaan -untuk mengunjungi Eropa diperlukan bukti keuangan sehari 50€-,
4. Reservasi pesawat dan transportasi lain yang di gunakan selama perjalan
5. Reservasi tempat tinggal selama perjalanan, bukan cuma negara atau kota yang pertama kali sampai.
4. Fee sebanyak 60€
5. Residence Permit jika mendaftar di Luar Negeri
6. Dan lain lain (cek websute dubes masing-masing)

Tak heran jika akhirnya Anggun memutuskan untuk melepaskan kewarganegaraannya. Bagi seorang yang memiliki ambisi hidup yang tinggi keputusan besar seperti ini terkadang memang harus dibuat. Kalau tidak, resikonya adalah menerima kenyataan untuk hanya sampai ditempat tertentu.
Anggun yang ingin melebarkan sayapnya di kancah internasional mengahdapi kesulitan disaat dia akan melakukan konser kenegara lain. Jika hal ini berlangsung lama, kemungkin terbesar adalah pihak label yang telah memberikan kesempatan kepada Anggun bisa-bisa memutuskan kontrak. Hal yang tentunya Anggun sangat hindari. Jadi keputusan Anggun adalah keputusan bijak. Untuk memetik kata-kata Anggun setiap kali ditanya tentang perasaannya berganti kewarganegaraan, "warna pasporku bisa saja berubah, tapi darahku kan tetap Indonesia."

Iya! Begantinya kewarganegaraan tidak membuat seseorang kehilangan rasa cintanya terhadap Indonesia. Bukan berarti saya mempromosikan penanggalan kewarganegaraan. Intinya keputusan ada ditangan masing-masing. Ketika seorang individu, seperti Anggun, merubah kewarganegaraannya maka pihak lain diharapkan untuk tidak menilai sesuka hati. Ada alasan kenapa si individu itu melakukannya. Sebut saja mungkin karena memang Indonesia tidak memberikan opsi kewarganegaraan ganda, yang bisa saja didaptakan jika menikah dengan WNA.

Semoga kedepannya Menteri Luar Negeri (menlu) bisa sedikit mengusahakan peningkatan derajat paspor Indonesia. Sehingga warga Indonesia bisa leluasa melihat dunia. Sehingga tidak perlu lagi seorang warga Indonesia dihadapkan pada dilema mempertahankan kewarganegaraan tapi sulit mengepakkan sayap atau bahkan meninggalkan kewarganegaraan.


Adhari
Warga Negara Indonesia yang menyayangkan ketidakberdayaan paspor Indonesia dihadapan dunia.

The picture credited to http://www.crsd.org

Dewasa ini perbedaan sudah tidak sepatutnya lagi dilihat sebagai momok yang menakutkan. Malah sebaliknya, sudah saatnya kita memeluk perbedaan. Meskipun begitu individu masih tetap diberikan hak untuk menganggap dan mempraktikkan ideologi mana atau cara hidup mana dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun satu hal yang perlu diingat sebagai individu kita juga harus berkewajiban untuk menghargai keputusan individu lain untuk mempercayai dan memperaktikkan ideologi yang ia pahami.
Di jurusan  tempat saya bersekolah ada seorang wanita yang sangat ahli dibidangnya. Suatu hari tema diskusi mengarahkan kami kepada pertanyaan umur. Lalu beliau seolah mengelak untuk menjawab pertanyaan tentang umur ini. Sampai akhir diskusi beliau masib belum mau menyebutkan angka. Tapi beliau mengakui "saya sudah berumur."
Dilain kesempatan beliau akhirnya memberi tahu alasan kenapa diumurnya yang sudah matang (saya belum diberi hint teantang umurnya yang sebenarnya) beliau baru sekolah tingkat sarjana. Bahkan beliau mengakui bahwa tingkat Sekolah Menengah Atas saja beliau baru selesaikan beberapa tahun lalu.
Hal ini membuat kami bertanya-tanya, 'kenapa begitu?' Tebakan awal kami mungkin karena beliau punya kendala ekonomi. Namun ternyata bukan itu alasannya. Wanita itu harus rela menghentikan pendidikannya karena beliau lebih memilih untuk menghormati keyakinan yang ia peluk. Karena institusi pemerintah tempat ia berdomisili kala itu tidak memberikan tempat bagi kelompok kepercayaan manapun untuk memperaktikkan hal yang mereka pahami di ranah publik. Jenis pemerintahan yang di kenal dengan sebutan sekularisme.
Perdebatan tentang sekularisme adalah perdebatan panjang. Ada yang mengatakan sekularisme yang diperaktikkan dinegara-negara macam Prancis saat ini adalah sebuah kesalahan. Banyak yang berargumentasi bahwa hakekat sekularisme adalah saling menghargai perbedaan. Sebesar manapun pihak sekuler ingin menjauh dari paham-paham agama, seharusnya mereka juga harus siap menghapi kenyataan bahwa orang lain mungkin tetap pada pendiriannya.
Seandainya makna sekularisme adalah menjauhkan agama dari ranah publik, hal ini sama saja kita telah mengembalikan dunia 2015 ini ke abad pertengahan "medieval"; dimana paham yang di anut masyarakat tergantung pada apa yang ditentukan oleh pemimpin. Bahkan banyak pemimpin yang rela menumpahkan darah demi tertegaknya satu ideologi dinegara itu. Medieval atau abad pertengahan adalah kata yang mengandung makna negatif di dunia barat. Mereka sering menyangkut-pautkan sistem hukum mati dan sejenisnya ke abad pertengahan. Lalu apa kabar dengan sekularisme yang seolah mengatur kepercayaan yang di anut setiap individu? Bukankah itu lebih ke abad pertengahan?
Kehidupan si wanita (teman sejurusan saya) itu tidak berhenti disana. Setelah putus sekolah di Sekolah Menengah Umum, ia memutuskan untuk bekerja. Di mengaku telah bekerja di pabrik, dengan bayaran yang sangat mengenaskan. Belum lagi dengan sistem kerja yang sangat tidak manusiawi, yang memberikan waktu istirahat yang sangat minim. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan satu-satunya yang beliau pernah kerjakan. Pengalaman beliau yang paling unik adalah saat beliau melamar menjadi asisten disebuah perusahaan komputer. Segala tes dan persyaratan telah terpenuhi, bahkan percakapan tentang upah pun sudah dilewati dan sudah menemui titik temu. Namun, diakhir wawancara, pihak perusahan mengatakan, "cuma satu hal lagi. Kalau kamu menyanggupi yang terakhir ini kamu akan kami terima. Bisakah kamu melepas kerudungmu saat bekerja dan menggunakan sedikit make-up."
Terkadang ketika berpikir ulang tentang tumbuhnya gerakan feminisme, adalah hal yang tak terelakkan, mengingat apa yang terjadi pada kaum wanita. Sebenarnya saya tidak begitu senang dengan penggunaan kata 'feminisme', kalau goalnya adalah penyetarakan gender, kenapa tidak menggunakan nama humanisme saja? Feminisme ditelinga saya terdengar seperti keinginan untuk mengungguli kamu pria. Tentu paham feminisme jenis ini ada, mereka disebut feminisme garis ekstrimis. Goal mengungguli kaum pria, menurut saya, hanya akan mengulangi sejarah kelam yang terntunya tidak kita inginkan. Lalu kemungkinan apa yang bisa terjadi dimasa depan? Terdirinya gerakkan maskulinisme sebagai gerakan revolusionari untuk menyetarakan gender lagi? Kasihan, kata maskulinisme sudah terlanjur digunakan untuk mengungkapkan makna lain yang bernada negatif, yang juga berseberangan dengan kaum wanita. Maskulinisme telah terlanjur dikaitkan erat dengan konotasi misogyny.
Dua poin yang saya coba ilustrasikan diatas baru contoh intoleransi tingkat kecil dalam hubungan antar faham dan hubungan antar gender, yang sayang sekali masih juga menghadapi titik buntu. Lebih dari itu, ketika kita melihat dunia secara luas maka kita akan mendapati banyak intolensi dalam tingkat lebih besar yang terjadi. Lalu apa yang harus kita lakukan? Atau bahkan, hal apa yang paling minimal bisa kita lakukan? Memulai dari diri sendiri, mungkin adalah hal minimal yang bisa kita lakukan.
Saya sering sekali menggunakan analogi manusia goa-nya Plato, yang menurut saya sangat masuk akal. Ketika ditanya kenapa kamu bersekolah jauh-jauh kesini, saya pasti menjawab 'karena saya tidak mau menjadi manusia goa seperti dalam analogi Plato;' Manusia yang tertutup; Manusia yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa diluaran sana ada banyak hal yang bisa dipelajari. Mengagung-agungkan tempat asal masing-masing, tidak akan membuat kita menjadi manusia yang lebih lebih baik.

Sebaliknya, berani melangkkahkan kaki keluar dari goa dan melihat bahwa diluar goa ada kehidupan nyata, (daripada hanya menyembah-nyembah bayangan yang terpantul kegoa,) akan membuatmu berfikir ulang tentang kehidupan. Kamu akan mengapresiasi kehidupan ini lebih baik lagi. Meninggalkan goa tempat asal mu tidak akan membuatmu melupakannya, bahkan sebaliknya rasa cintamu terhadap tempat asalmu akan tumbuh membesar - begitu besarnya sehingga kamu ingin mengubahnya ke arah lebih baik. Namun kenyataanya, manusia dalam goa masih ada saja sampai saat ini; mereka tidak siap menerima kenyataan yang di sampaikan oleh si tokoh pengungkap kebenaran. Pada akhirnya, hanya satu akhir cerita yang tidak terelakkan yaitu banyaknya Socrates versi modern yang dipaksa meminum hemlock hingga mati tak berkembang!

Bagi yang ingin bertanya tentang apapun silahkan menghubungi saya melalui ketiga akun sosial media yang tertulis di atas. Anda juga boleh berkomentar langsung di setiap tulisan yang saya postingan.

Salam,

Adhari K

Sign Up for Email Updates