Pikiran logisku gagal memahami bagaimana seseorang akhirnya sampai pada pemikiran untuk memutuskan berhenti disatu titik tertentu, padahal jalan masih terbuka baginya untuk menyusuri dunia impiannya. Mungkin aku butuh waktu untuk memperbaiki pemikiran yang tak sempurna ini. Mungkin nanti aku akan paham sejalan beriringnya waktu.

Berawal di masa kanak-kanak dimana kita terus dihantami oleh pertanyaan "besar nanti kamu mau jadi apa?" Dengan innocent-nya sang anak akan menjawab sekenanya. Apapun yang mampir kekepalanya saat itu. "Aku ingin jadi pilot." "Aku ingin jadi dokter." "Aku ingin jadi astronot." 

Mungkin hanya itulah hari-hari bahagia kita hidup sebagai manusia. Hari dimana kita bebas bermimpi nenjadi apapun yang kita inginkan, tanpa merasa terbebani, apakah semua akan bisa terwujud atau kita hanya akan menjadi pecundang yang pekerjaannya hanya berkhayal saban hari?

Lalu kita tumbuh ditengah dunia pendidikan. Mimpi pun berubah-ubah tergantung dengan kondisi saat itu. Lingkungan memberikan peran besar dalam hal ini. Dan, mimpi masa kecil pun mulai terlupakan seolah itu hanya angin lewat. Seolah mimpi masa kecil itu bukanlah hal yang kita harus jadian acuan "goal" selama hidup kita. Atau mungkin hidup memang begitu adanya?. Kita kan cuma anak kecil yang awam kala itu, yang tak mengerti kenyataan hidup. Biar lah sosok dirimu yang dewasa ini yang mengambil alih nabismu, yang memutuskan apa yang kamu harus lakukan? Begitukah? 

Kenyataan hidup? Oh.. betapa aku rindu menjadi anak kecil. Betapa aku rindu untuk bermimpi tanpa ada pressure yang menjajal pundak keberanianku. Oh, betapa aku ingin melakukan hal, bukan karena tuntutan hidup, tapi karena aku memang ingin melakukannya sepenuh hati. Karena aku bahagia ketika aku melakukannya. Dan itu bukanlah realistis, katamu?

Berapa banyak manusia yang hidup bukan sesuai impiannya? Dan kenapa itu bisa terjadi? How come they could abandon their dreams. That's what I am trying to figure out right now. Or perhaps me too, could be like them one day. Just waiting my turn. 😡😡😡😡


Pikiran lama yang kembali hadir ketika menonton "Wish I was Here"










Syarat wajib menjadi seorang penulis adalah banyak membaca. Ketika pikiran kita di "input" banyak bacaan-bacaan, maka proses menulis tidak lagi menjadi hal yang sulit. Kata-kata akan mengalir dengan sendirinya.

Pada dasarnya kata-kata yang kita keluarkan dalam bentuk tulisan itu adalah bagian dari tabungan kita. Kita telah menabungnya terlebih dahu, dengan demikian mereka bisa tertransformasi dalam bentuk tulisan. Kita menabung kata-kata itu dengan cara banyak membaca.
Selama winter break ini, saya telah membaca tiga buku. Dua diantara adalah karangan Elif Shafak, penulis asal Turki. Saya mengakui bahwa Shafak adalah penulis yang hebat. Sebenarnya pengakuan saya sangat tidak dibutuhkan, karena saya bukanlah siapa-siapa. Tapi, yang bisa anda jadikan acuan adalah semua testimoni dari press-press terkenal yang dimuat dimuka buku-bukunya; Sunday Telegraph, Irish Time, Independent dan lain-lain.

Saya sangat yakin bahwa kwalitas menulis Shafak layak berdiri berderetan dengan para novelis wanita Inggris abad Victorian seperti George Eliot. Dari dua buku Shafak yang saya baca, yang membat saya terperangah adalah :

1. Betapa complex-nya cerita yang dinarasikan oleh Shafak, sama halnya seperti buku karangan George Eliot.
Marian Evan (nama asli George Eliot) pernah menulis sebuah essay yang berjudul "Silly Novels by Lady Novelists." Inti dari essay itu adalah dia sangat bersikeras bahwa wanita sebenarnya bisa menulis hal-hal yang lebih kompleks dari apa yang telah mereka lakukan. Namun kenyataannya pada saat itu penulis wanita lebih terkenal dengan karya-karyanya yang sentimentalist. Tentang cinta-cintaan dan hal-hal yang berbau emosi.

Akhirnya Marian Evan bukan hanya omong doang, dia juga telah membuktikan omongannya itu melalui novel-novelnya yang telah dipublikasikan. Walaupun pada buku-buku itu dia tidak mencantumkan nama aslinya, melaikan ia lebih memilih nama "George Eliot" untuk mewakilinya. Alasannya adalah kalau dia menggunakan nama perempuan maka karyanya akan di anggap remeh oleh kritikus masa itu, yang dikuasai oleh para lelaki. Saat ini nama George Eliot masuk dalam tokoh wanita yang membawa revolusi untuk kemajuan wanita. Dan, menurut saya hadirnya generasi lanjutan seperti Elif Shafak adalah bukti suksesnya virus yang ditularkan oleh George Eliot.

2. Daripada menggunakan satu narator, Shafak malah mengotak-atik sistem narasi dalam novelnya. Yang pada akhirnya menjadikan novelnya unik dan krearif. Salah satu bukti konkritnya adalah buku Honour.

3. Penggunaan waktu yang dikotak-katik.
Daripada menceritakan seluruh isi cerita secara beraturan dari A ke Z, Shafak malah memainkannya secara tidak beraturan. Dari bab satu hingga bab akhir, imajinasi pembaca akan dibawa berjalan ke masa kini, masa lalu dan masa yang akan datang.

4. Tidak ada tokoh yang dispesialkan. Semua tokoh memiliki hak yang sama untuk diceritakan. Yakni, kita pembaca tidak akan dikecewakan karena penasaran apa yang terjadi dengan tokoh itu. Mungkin Shafak percaya bahwa tidak ada cerita yang lebih rendah. Semua cerita kodratnya sama. Yang menjadi permasalahan adalah penulis. Apakah dia mampu menjadikan cerita simpel itu menjadi menarik.

5. Tema yang diangkat oleh Shafak sangat kaya. Tidak hanya terpatok pada cinta yang cliche, tapi juga ia membaurkannya dengan kultur masyarakat setempat, politik, ideologi, mistis dan lain-lain. Inilah salah stu alasan saya membandingkannya dengan George Eliot.

Walaupun ketika saya memposting foto bukunya di Facebook, salah satu teman Turki saya langsung berontak dan melebelkan kata pembohong padanya. Katanya isu sejarah yang dia paparkan dibuku itu sangat tidak benar. "Sebagai seorang mahasiswa sastra saya bisa kok, membedakan antara fiksi dan non-fiksi," kilahku pada teman itu. Terlepas dari semua kontrofersi tentang si Shafak dinegara asalnya, menurut saya tulisan dia sangat layak dibaca. Setidaknya bagi para calon penulis yang ingin belajar sistem menulis yang unik ala Elif Shafak.



Cahaya matanya mengkilap bagai kaca usai di bersihkan.Terang benderang. Setiap insan yang melancarkan penglihatannya padanya akan dimabuk asmara. Tak pernah ia berusaha untuk berkedip, karena itu kan menghalangi pengagumnya untuk menatap mata indahnya. Dalam sinar mata itu terdapat racun. Siapun terkena racun itu akan berubah menjadi pengagum sejatinya.

Siang itu ia melewati sebuah padang rumput yang hijau. Dilengan kanannya ia membawa keranjang yang berisikan makanan. Saat itu adalah musim semi. Ia berfikir untuk duduk santai dipadang rumput itu sembari mengunyah makan ringan.

Namun mata indahnya melihat sebuah bunga. Bunga yang indah sekali. Tak pernah ia melihat bunga seindah itu seumur hidupnya. Warnanya merah maroon. Bunga ini masuk dalam klasifikadi bunga sempurna. Ia memiliki kelopak, mahkota, benang sari dan putik. Dengan teliti ia mengamati bunga itu. Ia pelajari segala hal berhubungan dengan bunga itu.

Ingin rasanya ia memetik bunga itu namun ia berfikir ulang lagi "andai saja bunga ini hidup bertebaran sepanjang lahan ini, akan aku petik satu darinya dengan penuh kehati-hatian, dengan begitu ia tidak akan menangis kesakitan," ia berbicara pada dirinya sendiri.


Puas mengamati bunga itu iapun terus berjalan. Berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumahnya hingga ia sampai pada satu pemikiran bahwa ia ingin memelihara bunga itu. Ia ingin mengembangbiakkan bunga itu dipekarangan rumahnya, dengan begitu bunga yang ia idamankan itu bisa tumbuh dan berkembang biak.

Sekembalinya ketempat dimana ia menemukam bunga itu, ia kebingungan. Dia bingung bagaimana mungkin bunga yang belum sampai satu jam lalu ia cium, sekarang hilang begitu saja. "Apakah aku salah tempat," ujarnya pada dirinya sendiri. Ia pun mulai mencari-cari keberadaan tempat itu.

Ia mencari keberadaan bunga itu dalam bingung. Bingung yang ia sendiri tidak mengerti usulnya. Sampai ketika matahari akhirnya hinggap diperistirahatannya, ia berpaling pulang kerumahnya dalam kesedihan. Sedih, karena bunga yang ia impikan sejak menghadiri kelas pelajaran biologi saat smp itu, sirna begitu saja. Bahkan ketika kesempatan itu sudah berada didepan mata.

Tak kuasa ia menitiskan air mata. Bahkan mata indahnya tak mampu menahan perih yang berasal dari hati. Perih itu pun ia tumpahkan dalam bentuk hujan air mata. Berderai sampai menyentuh ranah kering yang tidak berdasar. "Musim dingin baru saja belalu, namun mengapa bagian tanah ini bisa setandus daratan Afrika."

                                          *******
Tangisannya terdengar sampai seisi rumah. Ibu Dinda yang saat itu tidur dengan pulasanya, memutuskan untuk bangun dan melihat anak kesayangannya.

"Kenapa kamu sayang," Ibu dinda menghelus kepala dinda. "Kamu mimpi buruk ya!"



Friday 06.02.2015
19:57

Adhari



Semua orang punya pendapat masing-masing tentang bagaimana hidup harus berlangsung. Ada yang mengatakan 'ketika sedang dalam satu kegiatan, fokus hanya pada kegiatan itu'; ada juga yang mengatakan 'tidak ada yang bisa dijalani secara monoton, kita perlu beristirahat. Study hard, play harder.'

Saya, walau bagaimanapun, menganggap bahwa statement pertama lebih compatible untuk processor raga saya. Untuk keberhasilan satu kegiatan saya perlu, wajib, fokus pada kegiatan itu tanpa harus berbagi lelah, tenaga maupun pemikiran, dengan kegiatan lain. Jika perlu saya menutup semua undangan dan hasutan batin untuk menghadiri hal-hal diluar kegiaan inti saya. Misalkan, ketika musim sekolah tiba, yang saya yakin bahwa yang saya butuhkan adalah kefokusan pada kegitan itu. Untuk berada dalam kondisi pikiran yang fokus, saya butuh waktu yang berjalan santai. Kalaupun cepat, kecepatan itu harus disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang mendukung berlangsungnya proses belajar-mengajar.

Bagitu juga dengan musim liburan. Ketika libur saya butuh beberapa waktu untuk keluar dari kegiatan awal. Pada dasarnya ini juga masih behubungan dengan kefokusan, fokus untuk bermain. Tetapi pada waktunya. Ketika saya mengatakan fokus belajar bukan berarti 100 persen waktu habis untuk belajar, ada masa-masa dimana saya beristirahat dan bermain dengan cara saya sendiri. Kalau didalam budaya makanan ada namanya makan besar dan kecil, maka jenis istirahat yang saya pilih (pada saat musim sekolah) adalah makan kecil. Makan yang tidak membutuhkan banyak tenaga dan waktu, seperti menonton film di laptop. Tentu ini kembali lagi kepada masing-masing jiwa, jenis kegiatan apa yang menjadi hobinya. Disarankan melakukan suatu jenis kegiatan yang bisa membawanya kedunia lain; dunia yang tidak bisa dijelaskan. Dunia yang bisa melupakan si individu dari beban yang dihasilkan oleh kegiatan inti.

Setelah berkutik dengan kegiatan sekolah selama enam bulan, saya memutuskan untuk refreshing ke Izmir untuk waktu yang tidak ditentukan (pada saat itu.) yang pada akhirnya itu berlangsung selama seminggu lebih. Hal yang memutuskan saya untuk kembali ke sangkar adalah kenyataan bahwa hidup diluaran sana butuh modal. Karena saya juga adalah tipe manusia yang suka terhasut oleh keinginan, yang berarti modal yang saya butuhkan akan sangat besar. Lebih-lebih keinginan saya banyak. Apalagi, dengan fakta bahwa ketika saya menginginkan satu hal, saya harus mendapatkannya. Dengan segera, kalau tidak saya akan tidak tenang. I feel like the world is falling apart if I have not gotten what I want.. (ini adalah kebiasaan saya dari kecil, yang tidak bisa hilang) Saya pernah mengeluh bahwa ini adalah sebuah penyakit. Terkadang saya juga kesal dengan perasaan itu. Karena ia hadir walaupun tak diinginkan.

Selama enam bulan itu saya hampir 100 persen tidak berkomunikasi dengan teman Indonesia, hanya sesekali ketika berada di ruang komputer atau di perpustakaan (tempat dimana saya bisa mengakses internet.) Ditambah lagi HP saya yang sudah rusak yang membuat saya enggan mengisi pulsa yang padahal adalah syarat awal berkomunikasi dewasa ini. Enam bulan mengasingkan diri tanpa kesengajaan; 1. karena hp rusak. 2. internet asrama belum dipasang (barus pindah ke asrama baru). Tidak bertemu dengan teman Indonesia berarti tidak akan merasakan makanan Indonesia. Ya, itulah yang saya rasakan selama enam bulan penuh. Bukan hanya itu, intensitas saya menghubungi orang tua juga berkurang. Bahkan saya hampir tidak pernah menelpon, hanya ditelpon. Ditelpon berarti siap dengan kenyataan bahwa pembicaraan akan selesai bukan pada saatnya; pembicaraan selesai sebelum pembicaraan menjumpai titik terang.

Setelah selesai ujian pada pertengahan januari kemarin, perasaan saya sudah tidak terbendung lagi. Saya ingin keluar dari kemonotan, keisolasian, kerinduan akan masakan Indonesia; salah satu caranya adalah lari ke Izmir. Izmir adalah refuge bagiku. Untuk melancarkan rencana ini, saya berkominmen bahwa saya tidak akan membawa laptop; saya berkomitmen bahwa alasan saya kesana karena saya ingin lebih bepartisipasi dalam dunia nyata, yang tidak saya dapatkan ketika berada di asrama. Partner komunkasiku ketika berada diasrama hanyalah karakter fiksi yang kukenal lewat film dan novel. Bukan karena mereka membosankan, mereka sangat okay, tapi untuk menegaskan bahwa saya adalah bagian dari dunia nyata, saya butuh melibatkan diri didalamnya.

Kegiatan-kegiatan yang saya lalui ketika berada di Izmir :
Hari 1 - mengikuti proses pemilihan ketua PPI Turki periode 2015-2016
Hari 2 - Jalan-jalan sendirian (karena teman-teman lagi sibuk dengan kegiatan masing) mencari buku bekas untuk bahan semester depan namun gagal. Hari itu saya sangat terinspirasi dan ingin menceritakannya dalam bentuk cerpen. Mungkin nanti.
Hari 3 - Mencetak pdf 'the Purification of Heart'-nya sheikh Hamza Yusuf, yang ku dapat online. Maaf kalau ini termasuk illegal. Tapi tidak ada pilihan lain. Baca dari laptop menyakitkan mata.
Hari 4- Akhirnya bisa jalan-jalan dengan teman-teman. Mulai dari bookstore, makan ikan, beli celana dengan diskon habis-habisan, dan KFC. (Alasan ku ke Izmir terpenuhi dalam satu hari :D)
Hari- Jalan ke pasar tradisional (tempat penjualan souvenir), yang cukup membuka pikiran tetang apa-apa saja yang akan dibawa pulang, kalau kebetulan tahun ini dapat kesempatan untuk pulang. Selanjutnya ke Asansor, salah satu destinasi wisata di Izmir.
Hari 5 - Setelah menerima konfirmasi email dari satu instansi, kami (saya dan kak Devi), langsung menindaklanjuti intruksi email itu walaupun pada akhir terhenti karena satu dan lain hal. Padahal sudah berkorban untuk keluar ditengah hujan lebat. Untunya kami berakhir di rumah buk Ayu. Selain masak-masak makanan Indonesia, kami juga ingin melihat Acelya- anak buk Ayu yang imut. (Menyadarkan saya bahwa saya punya dua keponakan yang tidak pernah saya lihat sama sekali Adelia dan Nadzira, Inshaa Allah summer ini akan bertemu)
Hari 6 - Hanya berdiam di apartement teman yang saya inapi. Tapi, pada malam harinya kami sudah punya rencana akan masak makan Indonesia lagi. Kebetulan ada bumbu instan yang dibawa dari Indonesia, kami masak ayam kuah.
Hari 7 - Main ice-skating, yang juga sekaligus, seharusnya, hari dimana saya akan pulang ke Manisa. Tapi karena terlalu sore dan capek, saya memutuskan untuk pulang keesokan harinya.
Hari 8 - (sampai zuhur) masak Bakwan, Nasi Kuning, Ikan dioven, dan sambel pedas. Saya sempat  nyeletuk bahwa ini adalah vedalasmak yemegi (makan perpisahan), kepada salah satu teman Turki yang ada disana, karena kenyataannya kami semua punya rencana masing-masing. Ada yang keluar kota dll.

Dari semua kegiatan, yang menjadi favorit saya adalah momen ketika kami berdiskusi dimalam hari sebelum tidur, diskusi-diskusi yang saya tidak dapatkan ketika berada ditengah-tengah teman sekampus. Topik dikusi kami sangat bervariasi, mulai dari agama, politik dan remeh temeh kehidupan, bahkan menggosip. Entah mengapa, saya merasa bahwa saya mendapat energi positif dari kegiatan ini. Bukan hanya, karena saya pada akhirnya bersosialisasi dengan makhluk hidup tapi juga karena ini adalah hal yang saya rasan menjadikan kita manusia. Kita berdiskusi, bercerita, bertukar pikiran dengan begitu kita telah melakoni kodrat kita sebagai manusia; makhluk sosial. Terimakasih teman-temanku yang baik, yang berada di Izmir.


Manisa, Feb 02, 2015
I still have my holidays for about two weeks.