Repost dari facebook pribadi

Kebebabasan adalah konotasi yang langsung hadir ketika berbicara tentang Amsterdam. Namun siapa sangka ternyata kebebasan yang kian di gembor-gemborkan harus dibayar mahal oleh 'pihak yang menekuninya'. Sebut saja pajak. Sistem perpajakan di Belanda adalah salah satu yang termahal di dunia.

Selain itu para wanita yang menggeluti "pekerjaan tersebut" juga harus melewati tes kesehatan seperti halnya akan bekerja di profesi lain. Selain membayar sewa jendela tempat mereka "berdagang", para wanita itu juga harus membayar pajak ke pemerintah.

Beberapa menganggap bahwa sistem seperti ini adalah bentuk edukasi tanpa melulu mengatakan kata "jangan". Dari pada mengatakan jangan kepada mereka yang ingin hidup "bebas", kata mereka, mungkin lebih baik membuka mata mereka tentang hal-hal apa yang mereka akan hadapi seandainya mereka memilih jalan hidup itu.

Kenyataan seperti inilah yang membuat saya berani mengatakan bahwa Amsterdam bukanlah tempat wisata biasa. Ketika mengunjungi Amsterdam jangan pernah berekspektasi untuk melihat bangunan-bangunan glamour seperti di Paris. Bahkan bangunan di Amsterdam bisa dikatakan sangat sederhana untuk sekelas negara maju - apalagi jika dibandingkan kota-kota Eropa lainnya.

Ketika mengunjungi Amsterdam, cobalah untuk memahami:

1. Gaya hidup masyarakat Belanda yang sangat tertib. Bahkan, aku seorang teman, segala tindakan pelanggaran akan diadili cepat atau lambat. Jika tidak diadili ketika pelanggaran terjadi, siap-siap saja pelanggaran itu akan diungkit dimasa mendatang. Untuk warga asing, hal ini bisa saja terungkap ketika melewati kantor imigrasi saat meniggalkan Belanda.

2. Kontras kehidupan antara satu gang kecil (dalam tanda petik) dan kehidupan masyarakat Belanda secara umum.

Ada yang mengatakan bahwa mentalitas masyarakat Belanda adalah "terserah orang lain berbuat apa, sejauh itu tidak mempengaruhi saya." Mungkin inilah yang menjadi triger dilegalkannya penggunaan ganja dan rumah prostitusi.

"Lalu apakah ini tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat secara umum? Lalu bagaimana jika anak remaja mereka akhirnya ingin coba-coba? Apalagi dengan statusnya yang legal mukin ini akan lebih mempermudah akses bagi mereka?" tanya saya pada teman.

"Jawabanny adalah... Sekali lagi, disini kalau anak sudah berumur 17-18 tahun mereka bebas menentukan jalan hidupnya sendiri. Bahkan jika orangtuanya ikut campur dalam hidupnya, mereka bisa dituntut sampai kepengadilan"

Saya bengong...

Hal-hal yang harus dilakukan di Amsterdam:

1. Mengikuti tour gratis yang berada di Dam Square 
 
2. Mengunjungi Zansee Schan 
 



3. Light Festival


4. Sign I AMSTERDAM



5. Museum-museum (Ada banyak sekali museum di Amsterdam. Pastikan melakukan riset sebelum menenentukan pilihan, karena ada banyak sekali tourist trap)




Amsterdam ini sekaligus menjadi pengakhir EuropTrip saya. Ada banyak sekali pelajaran yang saya dapat dari perjalanan ini.

Sepanjang perjalanan saya selalu mencoba mencari jawaban atas pertanyaan saya sendiri "apa sih yang di cari para traveller sehingga mereka rela menghabiskan waktu berbulan-bulan melakukan perjalanan?"

Saya belum yakin apakah saya benar-benar menemukan jawabannya. Tapi asumsi saya karena mereka kecanduan (addicted) untuk bertemu dengan orang-orang hebat. Dalam perjalanan ini saja saya telah menemukan lebih dari 15 orang yang membuat saya "berwah" ria. Ternyata ada banyak sekali hal yang saya belum ketahui.

Asumsi kedua saya karena mereka belum menemukan jawaban yang memuasakan. Sampai mereka menemukan jawab itu, mereka tidak akan berhenti untuk berputar. Jawaban untuk pertanyaan apakah yang mereka cari? Tentang apa alasan mengapa manusia berada di dunia ini mungkin?

08 - 01 - 2015
Sang Pencari Arti Kehidupan
Clue: Saya sangat mengagumi "ide umum" Odysseus yang menghabiskan 10 tahun untuk pulang ke kampung halamanya.

Some photos are credited to mas Rusydi. Thank you so much mas udah nge-host kita dan nemani kita jalan-jalan di Amsterdam :) :)



Credit: https://aaronsummers.wordpress.com/2012/08/24/growing-up-too-fast/

Lucky perhaps is the right term to describe the people whose childhood surrounded by books. I was not raised in an academically oriented family, at least not until my parents see how passionate I am about my education. By that I don't mean to say that my parents were not putting any effort to educate me academically. In fact so far they are very supportive when it comes to my education. What they seem to have a little trouble is in creating an academic-orianted environment in the house for me, particularly at the age where stuffing knowledge to a child's mind is very considered crucial such as at the age of 0 to 14/15 years old. That age is known for a time where children acquire their knowledge from internal surrounding, family.
 
However I don't entirely put the blame on them. They were just doing their turn. That was how they were raised, and in turn that is how they raise their children. As a kid, I don't remember my parents asking me to sit and read books. Neither had I any recollection of them reading a story while putting me to bed.
 
But I do remember that I had a grandma who was also just as desperate as I was to have a conversation. Sometime elderly are not included in the conversation because it takes hours upon hours to make them understand the topics. Just like a child.
 
So there I was becoming a little kid who is very curious about world, and so did my grandmother who wants to tell everything she knew about world. With that, she was the person who told me stories before bedtime. She would tell me a story about a village girl who turns into a marmaid to avoid marrying his own brother. It's called Puteri Ijo (the green princess). Some people believe that the princess is still exist today and she often disguises herself as green soap and any other green objects. Others admit that he or she had an encounter with her, especially those who survived from drowning the lake.
 
Other time she would tell me a story about a princess who turned into a stone because she did not follow what her mother had told her "do not gaze at the back." Today I could analyze this phrase through multiple lens, but at the time the moral of the story is probably about listening to what your mother has to say.
 
Some other time I would be told a story of her own life during the Japanese occupation. She happened to live at the time when Indonesia was still under Japanese colonization. And she would describe eagerly how she was making friends with the Japanese children in the School of the People (Sekolah Rakyat.) And how admiring the Japanese souldier was, because they were very discipline. My grandmother still remembered the song they sang while marching the town.
 
I am so happy to have a grandma who was very knowledgeable about world, in her own way. She was such a story teller. When I was a kid, I keenly remember how I would believe everything she said. And I will keep believing her story if she could tell me one right now. But then school happens. Starting from middle school I see her lesser and lesser, until I heard a news about the day when she was finally not able to tell her story. I wish I had recorded all ther stories she told me in any form possible and immortalize them into anything visible. She is one of my true heroes. She is a hero without being labeled as one. She had experienced so many wars: the Japanese occupation, Sarikat Islam Indonesia, and the last once was the Civil war between Aceh and Indonesia. If one day I could write a book, it will be on her honor.
 
Coming back to my childhood...
 
I grew up in a small town where people know each other. It seems that the townspeople had an unwritten agreement in raising the towns-children. So instead of raising their children individually, they would send their children to the afternood school where the children were taught to read Kuran and learn how to make ablution, and conducting the prayer. By the time I was 10 years old I was more than able to read Kuranic verses and other Islamic texts written in Arabic alphabet which was actually Malay language. We call that the Jawi scripture.
 
And that was how my primary school schedule constructed, in the morning  from 8 am to 1 pm I had to go to school (formal school) and from 4pm to 5pm I went to the afternood school. That was how I acquired my first step sort of knowledge.
 
I still regret the fact that my parents did not provide me access to popular children books. Again, without them making excusses, I would really understand what affect their chioises in raising me at the time. First, when I was a kid, between 1994 to 2014, the civil war was still going on. It is still clear in my memory of what was happening at the time. All valuable things such as clothes and kitchen stuff were hidden outsite the house, sometime burried undeground. The logic that they were trying to fulfil is if the house was burned at least we could still live outside with all these things: blanket and kitchen equiptments.  
 
I still remember how everything was reversed. Women were made to go to the farm, while husbands stayed at home to prevent the unwanted. For a man to go to the farm could be accussed for doing hidden meeting with the rebel. Or even being kidnapped by the rebel and forced to fight with them against 'the country.'
 
I am aware that regret won't change anything. Therefore, I prefer to make my childhood experience a learning for myself so that I can be a better human being in my own version. Also if one day I get my turn to be parent I would do my best to educate my chidren from early age. I can foresee myself being a strict father who would ask his children to read books as much as possible and to keep a journal. I will make sure that if I fail to become a writer, my children should become one!
 
 
*What is happening? I was gonna write about Peter Pan that happens to be one of the assignments for Science Fiction and Fantasy Class. How could I end up here? God knows :)
 
 

Repost dari tulisan di facebook pribadi

Ada sisi positifnya saya mengujungi paris di umur ke 21, yaitu di bolehkannya memasuki museum dengan gratis. Siswa yang berumur 18-24 tahun di izinkan memasuki museum dengan gratis - syaratnya siswa tersebut harus memiliki surat izin tinggal (residence permit) dari negara EU. Nah, kebetulan saya sedang tinggal di Romania untuk enam bulan dalam rangka mengikuti program pertukaran pelajar (Erasmus+) dan telah mengantongi surat izin tinggal dari kantor imigrasi Romania, jadilah kesempatan emas ini berlaku buat saya.

 

Museum dan icon kota yang saya masuki dengan gratis di antaranya Musium Luvre, musium yang menyimpan koleksi lukisan Da Vinci, the last supper dan Mona Lisa dan The Arch of Triumph.

 

Tempat-tempat yang harus di kunjungi di Paris versi saya:


1. Menara Eiffel




2. The Arch of Triumph




3. Musium Luvre






4. Notre Dame





5. Sungai Seine




6. Pantheon






Tempat favorit saya di Paris, toko buku Shakespeare and Co. Entah apa yang sepsial dengan toko buku ini. Padahal harga-harga bukunya juga sangat mahal. Ditambah lagi kalau berkunjung di pagi hari akan dipenuhi oleh para turis. Kalau ingin membaca buku dengan tenang di toko buku ini, datanglah di malam hari. Toko buku ini buka hingga jam 11 malam.

Oya, yang spesial dengan toko buku ini, karena toko buku ini kerap menjadi tempat tonngkorang para penulis hebat seperti Hamingway dan lain-lain. Sampai hari ini pun toko buku ini masih menyediakan ruangan khusus bagi penulis profesional untuk berdiskusi. Bahkan konon katanya penulis dapat menginap didalam toko buku ini gratis.


8. Mesjid Agung Paris



 

Setelah mengunjungi Paris saya merasa bahwa Paris adalah satu tempat wisata dimana seorang harus berkunjung sekali seumur hidup tapi setelah itu tidak ingin kembali lagi. Kenapa? Mungkin karena volume pengunjung yang terlalu padat?

 

Saran saya jika berkunjung ke Paris, berkunjunglah disaat low season. Masalahnya Paris sepertinya tidak pernah surut pengunjung.

 

Alasan berikutnya karena sistem underground Paris yang super ribet. Di arah menuju stasiun metro atau RER ada banyak pilihan menuju stasiun lainnya. Terkadang untuk menuju ke ruang tunggu kereta, dibutuhkan waktu sampai 30 menit. Ditambah lagi karena lokasi ruang tunggu kereta berada sangat jauh didalam trowongan.

 

Terakhir karena warga Paris tidak begitu ramah. Dimana-mana turis sangat dihargai. Tidak dengan di Paris. Banyak orang yang takut untuk ditanya. Alasannya mungkin karena banyaknya penjual dan orang-orang yang meminta bantuan. Sehingga kalau ditanya mereka jadi malas.

 

Secara keseluruhan Paris memang sangat membuka mata. Apalagi dengan arsitektur kota Paris yang sangat detail. Bagi yang suka foto-foto, setiap sudut kota Paris sangat cocok untuk dijadikan latar!

Tulisan saya lainnya menyangkut Europe Trip:





Repost dari facebook pribadi.
 
Secara umum Milan bukanlah tempat yang ramah untuk saku pelajar atau backpacker. Saya pribadi tidak merekomendasi para backpacker untuk mengunjungi kota ini. Salah satu alasannya adalah karena memang tidak begitu banyak yang bisa di lihat, terkecuali bagi yang suka fashion. Kalaupun ingin mengunjungi Milan, disarankan untuk melakukan day trip. Semua objek wisata yang ada di Milan dapat dikunjungi dalam sehari penuh.
 
Objek wisata kota Milan:
1. Duomo
2. Galleria Vittorio emanuele II
3. Gereja Santa Maria delle Grazie
4. Castello Sforzesco
5. Navigli
 


Duomo

Castello Spforzesco




 
Untuk cerita yang berkaitan dengan jalan-jalan saya di Milan ada dişini

Courtesy of wikihow.com
Jika saya diberi kesempatan untuk memberi masukan kepada sistem pendidikan Indonesia, maka saya akan mengusulkan satu program saja yaitu program perencanaan atau lebih tepatnya, PROGRAM PERENCANAAN MASA DEPAN.

Pernahkah kita memikirkan apa yang ada didalam pikiran anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu ketika hadir kesekolah? Mereka tidak punya clue sama sekali. Mereka hadir karena orangtua mereka menganggap bahwa sekolah lah yang akan mampu mengubah masa depan hidup anak-anak mereka. Lalu kata yang kerap terucap adalah kata-kata seperti "makanya kamu sekolah yang bener. Biar kamu tidak menjadi seperti kami."

Tidak dipungkiri bahwa sekolah telah merubah hidup orang banyak. Namun, tidak jarang juga ada banyak yang memutuskan untuk meninggalkan sekolah karena menganggap bahwa tujuan akhir dari sekolah hanyalah untuk mencari uang. Jadi dari pada mengahabiskan banyak waktu disekolah, mereka lebih memilih menghabiskan waktu mencari uang. Apalagi ditambah dengan kondisi dimana status sumber pengahasilan didalam keluarga tidak menentu. Pada akhirnya mereka juga terpaksa harus terjun langsung dalam menyediakan makananan diatas meja. Kalaupun meja adalah bagian dari properti rumah mereka.

Sebuah penelitian dilakukan oleh seorang ahli antropologi Amerika, Oscar Lewis, tentang 'Kemiskinan' dinegara-negara seperti Meksiko, Puerto Rico, dan Amerika Serikat. Dari penelitiannya Lewis berkonklusi bahwa salah satu penyebab terjadinya kemiskinan berantai dari generasi ke generasi adalah adanya budaya-budaya yang  bersifat turun-menurun. Budaya-budaya yang dimaksud adalah budaya yang bersifat negatif seperti: adanya perasaan minder atau rendah diri terhadap kalangan atas baik secara pengetahuan maupun kekuatan didalam tatanan masyarakat, kurangnya kasih sayang dari orangtua karena kesibukan mereka untuk mencari nafkah, kecendrungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, menikah dini tanpa ada perencaan matang dan lain-lain.

Dari kesemua kriteria yang menyebabkan kemiskinan berantai ini, satu hal yang menjadi titik persamaan diantara mereka yaitu tidak adanya perencaan hidup. Orang miskin hidup dari hari kehari. Rencana harian mereka adalah bagaimana untuk bisa menyambung hidup esok hari. Bagaimana bisa menikmati sesuap nasi hari ini. Lalu dengan mentalitas seperti ini bagaimanakah hidup mereka akan bisa berubah?

Ketika masyarakat miskin menganggap bahwa sekolah adalah kunci utama yang bisa mengeluarkan mereka dari garis kemiskinan, maka sebagai lembaga pendidikan, hal yang paling utama yang seharusnya diajarkan dibangku sekolah adalah bagaimana kemudian hal ini bisa menjadi sebuah target.

Bentuk format yang mungkin bisa diaplikasikan disekolah adalah sebagai berikut:

  1. Sekolah menyediakan program konsultasi semesteran.
Setiap anak diberi kesempatan untuk mengungkapkan mimpi masa depannya. Berika mereka kesempatan untuk mendesign masa depan mereka baik dalam waktu pendek maupun masa panjang. Istilah yang paling umum di Indonesia mungkin REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

  1. Menindak Lanjuti
Ketika seorang anak mengungkapkan rencana masa depannya, sebagai konsultan perencanaan masa depan, sang guru harus menuntun atau memberikan jalan kepada si anak bagaimana perencanaan itu bisa tercapai. Misalkan sang anak ingin menjadi seorang diplomat. Untuk menjadi seorang diplomat diutamakan untuk lulus dari universitas tenama di Indonesia dan dari jurusan Hubungan Internasional, misalkan. Dalam kata lain sianak kemungkinan ingin berkuliah di Universitas UI jurusan Hubungan Internasional. Setelah melakukan riset ternyata untuk masuk UI dibutuhkan kemampuan dibidang ilmu sosial dan bahasa Inggris. Nah, sekolah harus memfasilitasi kebutuhan ini baik secara material maupun secara mental.
Mengingat karena si anak berasalh dari keluarga tidak mampu, sang guru juga diharapkan menyediakan informasi tentang beasiswa. Skenario apakah yang bisa dipakai untuk merealisasikan mimpi sang anak untuk berkuliah di UI, misalkan? Apakah dengan beasiswa pemerintah (LPDP) atau beasiswa dari organisasi tertentu.

  1. Evaluasi rencana masa depan
Setiap pertemuan si anak ditanyakan kembali apakah rencana masa depannya masih berlaku. Menginat imaginasi anak-anak berubah seringing dengan pengetahuan yang mereka dapat.

Mengapa jasa perencanaan menurut saya sangat penting? Karena banyak sekali orang yang tidak mengerti apa yang mereka sedang lakukan. Ditambah kondisi keluarga yang juga tidak tahu menahu secara detail apa yang mereka harus ajarakan kepada anaknya. Bahkan banyak sekali anak-anak yang baru mengenal buku ketika mereka duduk dibangku sekolah. Artinya, budaya membaca buku bukanlah bagian dari keluarga mereka. Ketika membaca buku saja bukan bagian dari keluarga mereka, lalu haruskah kita berekspektasi bahwa sang keluarga akan mampu menyediakan perencaan masa depan bagi anaknya. Jangan sampai, kurangnya perencaan menjadi penyebab terjadinya kemiskinan berantai di masyarakat kita.

photo credited to http://americanstyleenglish.net






Semester ini ada mata kuliah yang menurut saya unik sekali. Mata kuliah ini seolah menjadi kaca mata bagi mata katarak ku. Penglihatan yang awalnya hilang, kini telah lahir dan hidup kembali. Nama kacamata itu 'Cultural Studies.'
Didalam mata kuliah ini kami diajarkan tentang jenis-jenis Budaya. Kelihatannya topik ini sangat sepele. Tapi, coba ingat-ingat kembali tentang kesalahan-kesalan yang sering kita lakukan, yang juga umumnya bersifat sangat sepele, namun efek yang ditimbulkan sangat besar.
Pernahkah kalian mendengar berita tentang sebuah kebakaran yang hanya disebabkan oleh secuil sisa rokok? Iya, bentuk ketidaksadaran kita sebagai masyarakat akan budaya yang kita 'secara tidak' sadar kita tekuni hampir sama dengan efek yang disebabkan oleh perokok yang tidak bertanggungjawab melemparkan sisa rokoknya ke hutan. Akibatnya satu hutan gundul, hangus dibakar api yang awalnya terasa seperti tidak punya kekuatan apa-apa.

Budaya, menurut para Budayawan bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Budaya-budaya yang kita secara 'tidak sadar' menjadi bagiannya adalah sebuah 'alat' yang dipakai para konglomerat untuk membodohi kita. Teori seperti ini dikemukakan oleh Kritikus Budaya Marxist. Mereka percaya bahwa 'base' atau hal-hal yang berkaitan dengan produksi dan jasa dan  'superstructure' atau instansi kemasayaraktan seperti sekolah, agama dan lain-lain itu sangat bersinambungan. Dengan kata lain, instansi-instansi yang berfungsi sebagai media penyebar ideologi telah dipengaruhi oleh ideologi si konglomerat oportunis tersebut. Salah satu hal yang mereka usahakan melalui instansi itu adalah bagaimana membuat para kaum miskin diam atas kemelaratannya; bagaimana agar mereka menerima kemiskinannya sebagi bentuk 'takdir' dari sang maha kuasa. Kritikus Maxist menyebut kondisi tersebut 'False Conscious,' keadaan dimana masyarakat merasa seolah mereka mengerti keadaan yang mereka alami, namun sebenarnya hal tersebut adalah bagian dari rencana kaum konglomerat atau borju. 

Awalnya saya juga shock ketika membaca semua ini. Saya tidak percaya sama sekali. Tapi ketika melihat Indonesia dan mengaplikasikan teori ini kepada realitas kehidupan Indonesia, sepertinya masuk akal. Televisi, yang juga merupakan salah satu instansi milik konglomerat atau kaum borju menjadi salah satu alat yang bisa digunakan untuk menyampaikan faham maupun pesan tertentu. Tidak masuk akal mengapa Indonesia dipenuhi oleh kaum miskin yang sangat nyaman dengan status kemiskinannya? Bahkan dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit mereka masih saja bisa menikmati siaran TV yang notabene adalah penyebab terjadinya kebodohan masal? Yang menjadi penyebab kenapa mereka diam dan tanpa reaksi terhadap kondisi ekonomi mereka yang sedang hadapi.

Untuk itu dalam hal ini saya akhirnya sediki berpihak kepada kaum elitis yang menganggap bahwa ada perbedaan besar antara Budaya Tinggi (high culture), Budaya Menengah (Middle Culture) dan Budaya Rendahan (Low Culture). Salah satu argumentasi yang digunakan para elitis untuk mempertahankan teori ini adalah kemungkinan bahwa Budaya Menengah dan Budaya Rendahan tidak memiliki konten yang dapat membuat para penikmatnya untuk berfikir kreatif. Lihat saja sinetron, adakah bagian-bagian dari sinetron hang menstimulasi penontonnya untuk berfikir lebih kreatif dan kritis? Sebaliknya, budaya atas seperti lukisan, opera, karya sastra yang canon - semua ini membutuhkan proses pemikiran yang tinggi untuk akhirnya mendapatkan seluruh pesan yang dari awal si artis ingin sampaikan. Juga, karya-karya Budaya Tinggi ini dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan rasa kritisme terhadap segala hal dalam hidup - maukah itu keputusan yang para politikus ambil maupun pilihan hidup kita. Ketika kita telah terekspos kepada Budaya Atas, tentu kita akan lebih memahawi betapa sampahnya tayangan televisi, sehingga kita akan dengan begitu saja bisa menolak untuk mengisi otak kita dengan sampah-sampah itu.

Karenanya sebagai seorang mahasiswa Sastra, saya sangat menyarankan agar kita semua mulai menjauhi diri dari sampah-sampah yang dengan sengaja dibuat oleh kaum borju - sinetron, advertisement, dan sampah-sampah lainnya. Mulailah membaca buku. Mulailah mengenalkan anak-anak kecil disekitar anda dengan budaya membaca buku. Sebanyak apapun paham kotor yang ada dalam buku, seorang pembaca akan dengan mudah bisa melakukan metode 'pick and choose' mana yang baik dan mana yang buruk.
Note:
  • Cultural Studies tidak sesimplel yang saya jelaskan di atas. Didalam mata kuliah ini kami juga belajar tentang hubungan antar 'budaya' dan 'otoritas', tentang proses globalisasi dan bagaimana globalisasi mempengaruhi budaya lokal, tentang budaya bawah dan budaya tinggi, tentang mass culture atau budaya pop. Dan lain-lain.


Dimana-mana mahasiswa sangat identik dengan kata boke atau kanker (kantong kering), alhasil para mahasiswa di Indonesia terpaksa harus berlari ke opsi makanan yang termurah (sebut saja mie instan) yang tidak jelas kadar gijinya. Tentu untuk mengetahui tentang apakah benar mie instan itu mengandung bahan kimia yang berbahaya, hal ini masih sangat terbuka untuk di perdebatkan. Yang jelas, mie instan bukanlah makanan yang layak untuk otak mahasiswa yang sepanjang hari di eksploitasi untuk berfikir keras tentang teori-teori mulai dari Matematika hingga pertanyaan-pertanyaan Filosofis.
Kabar baik dari Turki, mahasiswa Indonesia yang mengenyam pendidikan disini tidak perlu lagi harus mengalami kenyataan pahit yang sama. Pasalnya departemen pendidikan Turki sangat memberikan perhatian penuh pada gizi rakyatnya, terutama gizi kaum mudanya. Karena pemerintah Turki memiliki kesadaran penuh bahwa kemajuan sebuah bangsa ada pada kaum mudanya.
Oleh karena itu di Turki universitas-universitas dilengkapi dengan yemekhane (kantin) yang telah disubsidi oleh pemerintah sehingga gizi dan harga makanan telah melewati proses pertimbangan yang sangat arif. Untuk sekali makan, para mahasiswa akan mendapatkan empat jenis makanan sekaligus yang terdiri dari; makananan pembuka yaitu bubur khas Turki (mercimek, sehriye, tarhana, dll); makanan utama yang umumnya adalah makanan yang mengandung karbohidrat (nasi, roti, atau makarna) dan daging-dagingan serta salad, tursu atau cacik; dan yang terakhir adalah tatli atau manisan. Untuk menu makanan lengkap seperti ini mahasiswa hanya perlu merogoh kocek sebesar 1.5 sampai dengan 2.5 TL, sangatlah murah jika dibandingkan dengan harga makanan di warung atau café-café umum.
Makanan yang di sediakan tentunya sudah melalui prosedur yang telah ditetapkan pemerintah. Bahkan setiap yemekhane kampus memiliki ahli gizi yang dapat mengkalkulasi kadar gizi yang terkandung pada setiap makanan. Beberapa universitas menampilkan daftar gizi makanan tersebut didalam website kampus.
Cara untuk bisa menikmati kesempatan makan di yemekhane pastinya berbeda dari kampus ke kampus. Untuk kampus saya sendiri, Celal Bayar Univesitesi, yang sangat menyambut hangat perkembangan teknologi, memutuskan untuk menyediakan kartu mahasiswa yang serba fungsi. Kartu mahasiswa yang berbentuk ATM ini dapat digunakan untuk: pertama, makan di yemekhane; kedua, untuk kartu perpustakaan; ketiga, sebagai ATM dan debit card; terakhir sebagai kartu pengenal mahasiswa.
Salah satu lagi program pemerintah Turki yang sangat fantastis adalah beasiswa makan siang untuk mahasiswa. Program ini sangat fantastis karena tidak hanya pemerintah Turki perduli pada gizi rakyatnya, tapi juga memperhatikan kemaslahatan mahasiswa kurang mampu. Dengan cara ini mahasiswa yang tidak mampu bisa menikmati fasilitas yang sama.
Program beasiswa makan siang seperti ini dibeberapa universitas di Turki juga tersedia untuk mahasiswa asing, namun untuk lebih jelasnya harus mengkonfirmasi langsung ke universitas masing-masing.
Akhrinya, mahasiswa Indonesia, yang istilahnya hanyalah orang yang sedang bersinggah di Turki, juga kecipratan atas kebaikan hati pemerintah Turki. Sekarang gizi anak Indonesia yang besekolah di Turki juga bisa lebih membaik. Semoga kebaikan pemerintah Turki ini dapat melahirkan pemuda-pemudi yang mampu membangun Indonesia kearah yang lebih baik. Sungguh ironis memang. Namun ketika Negara sendiri tidak memikirkan rakyatnya, opsi terakhir adalah berlari kepada Negara lain yang berbaik baik hati mengulurkan tangan. Sekian..