Oxymoron
By
Adhari
Romanian Anthenium, Bucharest |
Dia
selalu menjadi buli hanya karena menyukai cerita cinta. "Kamu itu
laki-laki!," teriak siapapun yang mendekatinya. Namun, dia tidak perduli.
Menurutnya setiap manusia memiliki satu bahasa yang hanya orang itu sendiri
yang mampu mengerti. Bagi Randi romansa cinta adalah
bahasa itu. Bahasa ibu yang dianugerahkan tuhan kepadanya sejak lahir.
Suatu
hari Randi bersabda "tahukah kalian, hanya cinta yang bisa mendamaikan
dunia. Cukuplah cinta yang perlu bertebaran menyentuh setiap butir pasir
dilautan. Hilangkan semua dendam dan amarah karena itu akan menciptakan
malapetaka lainnya."
Seperti
biasa, bahasa yang Randi gunakan terlalu sulit untuk dimengerti oleh kaumnya.
Sampai-sampai Randi sendiri mengharapkan keberadaan semacam hadits yang bisa
menjelaskan secara mendetail isi dari firman yang ia muntahkan. Atau
kesepakatan alim ulama, sehingga dalil-dalil itu tidak terlalu vague. Nihil, hanya Randi sendiri yang
mengerti yang ia katakan dan kali ini ia sendiri pula yang harus menjelaskannya
kepada umat. Darinyalah asal firman, hadits dan dia pula perawi dari semua
kata-kata yang keluar dari ronga mulutnya.
“Dengarin
nih!” ujar Randi, “Seni, perfilman dan sastra adalah buah hati dari sejarah.
Sejarah manakah yang ingin kita tunjukkan kedunia? Apakah sejarah yang kelam
atau sejarah yang manis. Demi kebaikan dunia, saya sendiri merasa bahwa kita
tindak pantas untuk mengingat kelamnya masa lalu! Kerena hal itu hanya akan
memupuk dendam yang terkubur dilubuk hati. Bagaimana kalau kita cukup
menyebarkan cinta saja? Dengan demikian dunia akan penuh dengan
kebahagiaan."
Menanggapi
khutbah Randi, kaum yang berada disekelilingnya hanya diam. Entah diam karena
sepakat atas argumentasi yang diutarakan oleh Randi atau diam karena mereka
sadar bahwa apapun pendapat mereka Randi pasti bersikukuh dengan pendapatnya
sendiri. Kemungkinan ketiga adalah, sang kaum tidak mengerti sedikit pun bahasa
sang rasul si pembawa berita. Sebuah cliche bahwa sang pembawa berita harus
memiliki kemampuan untuk berbicara diatas manusia rata-rata - harus filosofis
dan berbelit-belit.
Sepertinya
memang keajaiban lah yang sangat dibutuhkan orang-orang itu. Keajaiban bahwa
suatu hari akan lahir seorang alim yang mampu menafsirkan kata-kata kelas kakap
yang utarakan Randi kepada mereka, dengan bahasa yang sanggup mereka mengerti.
"huft……."
kata Ari yang muak dengan perdebatan yang tidak berhaluan,
"sudah
ngomong yang lain saja. Kepala ku saat ini sudah tidak memiliki ruang untuk
berpikir hal-hal yang berat. Atau bagaimana kalau kita makan bakso saja?"
"Hayu…..
Ngapain kita duduk dibawah pohon ini terus. Hayu ke kantin!"
Dikantin…..
Randi
masih belum puas dengan reaksi yang dia dapatkan dari teman-temannya. Layaknya
seorang misionaris, Randi merasa terpanggil untuk menjelaskan dengan lebih
detail lagi. Sehingga teman-teman disekitarnya bisa hadir pada satu titik
tertentu dimana mereka bisa sepaham, se-ia dan se-kata. Dimana mereka bisa
mengucapkan ikrar janji bahwa mereka telah berkonversi kedalam pehaman yang
diciptakan dan dianut oleh Randi, PENCINTA
DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
"Sekarang,
dibagian kata-kataku yang mana yang kalian tidak mengerti? Aku merasa bahwa ku
sudah menjelaskan semuanya dengan sangat simpel dan mendetail"
"Ok..
Gini deh. Kalian kira berapa banyak orang yang termotivasi untuk pergi perang
hanya karena nonton film yang mengagungkan salah seorang tokoh didalam film
itu. Atau karena tokoh didalam film itu menyebarkan pesan bahwa perperangan
adalah satu-satunya cara untuk mendaptakan pengakuan bahwa sang individu itu
adalah seorang hero atau anak muda?”
“Pesan
macam apa itu?” lanjut Randi “Apakah kita ingin perperangan terus-terusan
terjadi? Apa kita ingin mendoktrin manusia diseluruh dunia untuk menyukai
perperangan; hanya karena ingin merasakan kepuasan menjadi seorang hero, yang
pada dasarnya hanyalah bumbu film belaka?"
Tidak
lengkap rasanya jika Randi berkhutbah tanpa menyebutkan dalil. Kali ini ia
berbicara tentang novel yang baru saja ia selesaikan. Membaca novel itu menurut
dia adalah sebuah momen kepuasan batin. Walaupun mulanya ia sangat skeptis
dengan judul novel itu "SLAUGHTERHOUSE-FIVE
or THE CHILDREN CRUSADE, A Duty With Death." Didalam buku itu Randi
menemukan bayangan dirinya sendiri; tentang bagaimana seorang penulis merasa
kesulitan untuk menceritakan pengalamannya selama Perang Dunia Kedua di
Dresden. Seperti penulis itu, Randi juga sangat terobsesi menjadi seorang
penulis namun Randi belum juga mampu mengahasilkan satu karya pun. Dan yang
terpenting adalah penulis yang sekaligus narator didalam buku itu adalah
seorang yang anti-perang. Hal itu membuat Randi semakin yakin bahwa buku ini
sebenarnya adalah karyanya yang terlanjur didahului oleh orang lain, perasaan
yang Randi sering alami ketika membaca buku. Dan Randi akhirnya berkongklusi
bahwa itu hanyalah bagian dari fenomena writer’s block. "Bagaimanapun,
mungkin dulu jiwaku sudah dahulu menghampiri dunia untuk membantu penulis hebat
itu!" gumamnya dengan senyum lebar.
"Kalaupun
bukan Romansa Cinta, hanya ada satu pilihan yang boleh di toleransi,"
lanjut Randi mengenai novel yang baru saja ia sebutkan "yaitu cerita yang
tidak mengagungkan perang itu sendiri, seperti novel yang baru saja aku
sebutkan."
Benar
saja. Novel itu sangat anti-mainstream hero. Alih-alih menggambarkan seorang
pahlawan seperti Rambo, dia menceritakan kehidupan seorang yang bernama Billy
yang sangat tidak maskulin. Bahkan hampir seluruh bab buku itu menggambarkan
Billy sebagai sasaran bully selama perang. Menggambarkan betapa menyedihakannya
nasib Billy selama perang. Hanya ada satu karakter yang baik pada Billy saat
berada di Dresden, yang dia pun pada akhirnya ditembak mati karena mengambil
teapot milik orang lain.
Tidak
lupa pula Randi menjelaskan dengan mendetail tentang puisi karya salah satu
pujangga perperangan, Wilfred Owen “Dulce Et Decorum Est.” Bagian terfavorit
Randi adalah bagian dimana Owen mengatakan bahwa kata “dulce et decorum est”
sebagai sebuah kebohongan yang jadul. Kata yang bermakna “sungguh sangat indah
dan berharga untuk mati untuk bagi sebuah negara,” itu adalah hal yang Randi
sangat tidak terima. Karenanya sama dengan Owen, Randi ingin menyebarkan faham
yang sebaliknya. Faham PENCINTA DAMAI DAN
PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
Tiba-tiba
suara lantang mencuri perhatian sekumpulan pemuda yang sedari tadi sudah tidak
memiliki minat untuk mendengar lanjutan ceramah Randi. Dia adalah seorang
perempuan! Seluruh mukanya tertutup oleh kaca mata besarnya. Namun sangat
terlihat elegan dengan hidung mancung yang dianugrahkan tuhan padanya.
"Kamu
tidak pernah dengar ungkapan Catharses ya?"
Randi
melihat kekanan dan kekiri. Mencoba memastikan apakah perempuan berkacamata itu
berbicara padanya. Lalu ia kembali menatap perempuan berkaca mata itu seraya
memperagakan gerakkan (menunjuk jari pada diri sendiri) dan mengatakan
"SAYA?" memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar ditujukan padanya.
Perempuan
berkaca mata itu tidak memberikan tanda-tanda. Membiarkan Randi menikmati
kelinglungannya. Ia memilih untuk melanjutkan kata-katanya yang ia yakin butuh
penjelasan.
"Sebenarnya
ini itu permasalahn kuno. Orang purba saja sudah berhenti untuk memperdebatkan
ini. Itulah mengapa aku bertanya apakah kamu pernah mendengar kata
'Catharses'?" perempuan berkaca mata itu beretorika.
Randi
merasa tersinggung. Jadi selama ini si perempuan berkacamata itu telah
menguping pembicaraannya, Randi membatin. Ia tidak bermasalah sama sekali untuk
menambah jumlah pengikut, tapi Randi ingin memulainya dari lingkungannya
sendiri dulu. Layaknya seperti para pembawa faham baru lainnya. Sebelum
nantinya menyebarkan pemahaman tentang PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN
MELALU ROMANSA CINTA itu secara luas.
"Aristoteles
sudah pernah membahas ini didalam karyanya 'POETICS' tentang tragedi. Pada
zaman itu tragedi sempat manjadi perdebatan yang sangat serius. Banyak dari
mereka merisaukan efek yang bisa ditimbulkan oleh tragedi, seperti ketakutan
yang kamu miliki itu."
Randi
semakin tidak tenang. Ia merasa dipermalukan oleh perempuan berkacamata itu.
Namun dia juga tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Tidak
seperti orang lain pada umumnya saat itu, Aristoteles malah mendukung
pementasan tragedi. Ia menolak semua kerisauan yang di ungkapkan oleh para
cendikiawan saat itu. Salah satu alasan untuk memperkuat teorinya, Aristoteles
memperkenalkan kata 'catharses'"
Radi
semakin menunjukkan rasa penasaran tentang penjelasan wanita berkaca mata itu.
Kali ini Randi melihat hal yang berbeda ada pada wajah perempuan berkaca mata
itu. Entah apa pun itu. Yang jelas seperti ada binaran air laut ketika berjumpa
terik matahari.
"yaitu
efek yang dihasilkan oleh tragedi itu: rasa iba dan takut dan emosional.
Bukannya malah seperti yang kamu katakan tadi, mas berbaju biru - namanya siapa
mas?" lanjut wanita berkacamata itu.
"Randi"
teriak salah satu teman Randi.
"Begitu
mas Randi,” nadanya bicaranya semakin melembut seolah mengatakan bahwa
penjelasannya telah berhasi. “Jadi, tragedi atau film perang-perangan itu tidak
serta merata menggugah hati para penontonnya untuk merlomba-lomba ikut perang.
Tapi sebaliknya, ia membuat penontonnya merasa iba dan ketakutan sehingga
mereka malah menolak untuk ikut berperang, singkatnya begitu kalau menurut
Aristoteles."
"Ia,
namaku Randi. Lalu nama kamu siapa?" Randi sudah sejak lama mengabaikan
perkataan si perempuan berkaca mata itu. Dan berlari kedalam lamunannya tentang
cara yang ia bisa peraktikkan dalam meraih hati wanita itu.
"Ranti…"
jawabnya dengan rona wajah yang tersipu malu.
Tentu
saja Randi bukan seorang yang mudah dengan begitu untuk menundukkan kepala.
Didalam pikirannya ia masih ingin memperdebatkan apa yang dikatakan oleh
perempuan berkaca mata itu. Tapi ia tidak melihat ada maknanya. Karena
perempuan berkacamata itu telah mengquote
kata-kata seorang yang namanya sudah dikenal dunia. Siapalah lah Randi untuk
bersikeras dengan pemahamannya. Tetapi dalam lubuk hatinya terdalam, Randi
mebayangkan namanya bisa bersanding didalam sejarah dunia dengan seorang filsuf
terkenal asal Yunani kuno itu, seandainya ia sukses untuk memperdebatkan teori
itu. Namun bagaimana? Randi memutuskan untuk mejadikan hal itu goal jangka
panjangnya. Untuk saat ini Randi punya goal yang lebih penting, menaklukkan
hati Ranti.
*******
Sementara
itu Randi mendekati Ranti dengan jurus romansa cinta yang ia dapatkan didalam
film-film dan novel Nicholas Sparks yang dia lahap. Dan berhasil. Dalam
hubungan percintaannya, Randi dan Ranti masih kerap berada dalam perdebatan
sengit terutama ketika mereka berada ditoko buku dan bioskop. Ranti ingin
menonton film bergenre perang dan sci-fi, sedangkan Randi ingin menonton film romantic comedy. Namun, diluar tempat itu
mereka hanyalah dua insan yang dimabuk cinta. Mereka selalu berdampingan
bagaikan bebek angsa yang membentuk simbol love ketika menyatukan kepalanya
dengan sang kekasih.
Hubungan
mereka pun berlangsung hingga pernikahan. Kali ini Ranti menyerahkan segalanya
pada Randi tentang jenis pernikahan apa yang akan Randi pilih. Ranti tidak bisa
menyembunyikan kodratnya sebagai wanita yang menyukai hal-hal romantis. Dan
Randi adalah pangeran romantis yang membuat hidup Ranti sempurna.
Pada
saat buah hati pertama mereka lahir mereka setuju menamainya Oxymoron, sebagai
gambaran hubungan ibu bapaknya yang pernuh dengan kontradiksi. Inilah sebuah
cerita cinta yang tragis: tragedi romantis.
THE
END
0 comments:
Post a Comment