courtasy of lifehacker.com

Beberapa hari lalu saya baru saja menghadiri sebuah acara piknik bersama teman dan masyarakat Indonesia yang ada di kota Izmir. Saya sangat antusisas untuk hadir setiap kali acara seperti ini dihelat. Bukan hanya karena ingin menyicipi makanan Indonesia yang biasanya kami coba sajikan diselang-selang acara, tapi juga karena keinginan untuk memberi asupan semangat pada diri sendiri (menurut saya bisa berkumpul dengan orang-orang sesama negara adalah sebuah kegiatan yang bisa memberi asupan semangat).

Setiap kali berkumpul bersama teman sesama negara, saya merasa asupan semangat saya bisa kembali ke posisi seratus persen. Walaupun asupan ini akhirnya akan kembali kepada titik nol seiring dengan waktu. Salah satu alasanya adalah karena saat berkumpul kami bisa bercerita, bertukar keluh dan kesah selama berada diperantauan, juga bisa saling menanyakan kabar. Semua hal kecil seperti ini nyatanya bisa menghadirkan perasaan hangat layaknya ketika berada ditengah-tengah keluarga sendiri. Dengan demikian semangat pun kembali ke posisi utuh.

Di kota tempat saya bersekolah, kota Manisa, kebetulan hanya ada beberapa orang Indonesia saja. Karena tempat tinggal kami yang sangat berjauhan akhirnya kami jarang bisa bertemu. Acara seperti yang di adakan PPI Izmir-lah yang akhirnya bisa mengumpulkan kami semua. Namun karena posisi Izmir yang berada dikota seberang, saya pun akhirnya harus berangkat kesana dengan merogoh kocek yang lumayan.

Lokasi kota saya sebenarnya tidak terlalu jauh dari kota Izmir namun karena sudah bukan lagi bagian dari kota Izmir, akhirnya saya harus menaiki bus antar kota, yang artinya saya harus membayar sedikit lebih mahal. Padahal kalau saja moda transportasi umum kota Izmir (eshot, izban atau metro) disambung sampai Manisa, saya mungkin tidak perlu menghabiskan banyak uang.  Alasan keuangan inilah yang akhirnya membuat saya memilih-milah hari yang tepat buat saya untuk bisa berkumpul dengan teman-teman Indonesia. Acara piknik seperti kemarin misalnya, saya memutuskan untuk ikut karena disana semua orang akan berkumpul.

Bagi teman-teman yang tinggal di kota Izmir, mereka sering mengadakan acara perkumpulan. Tidak selalu resmi, acara yang mereka adakan terkadang hanya sekedar makan bersama. Percayalah dinegara asing tidak ada yang lebih berharga dari sekedar bisa berkumpul bersama orang satu negara dan menyicipi makanan Indonesia.

Hal ini membuat saya berfikir apakah harga menjadi seorang yang sosial itu mahal?

Jujur selama empat tahun saya di Turki saya merasa saya semakin sering menghabiskan waktu sendiri di kamar dengan komputer saya aja. Bahkan tiba-tiba saya menyadari bahwa makna dari "liburan" dalam kamus saya menjadi "menonton film di leptop," bukan jalan-jalan dll. Sempat saya berkata kepada salah satu teman saya ketika dia bertanya, apa yang kamu lakukan di hari minggu? Dan saya pun menjawab setengah bercanda, I will socialize with my book dan film. Suatu hal yang mengagetkan namun juga penuh dengan alasan. Salah satu alasannya adalah karena tidak adanya opsi lain untuk orang seperti saya yang kebetulan secara ekonomi hanya cukup saja. Tidak ada ruang bagi saya untuk bisa berhedonisasi.

Sering ada ajakan dari teman-teman Turki saya untuk nongkrong di warung kopi. Terkadang saya iya-kan. Namun sering kali saya hanya menolak dengan sopan. Karena kembali lagi, ada tagihan-tagihan yang menunggu saya. Seperti tagihan asrama dan lain-lain. Akan sangat egois jika saya mengedepankan keinginan saya untuk berhedonisasi, daripada melunasi prioritas awal saja.

Terkadang saya mengutuk keadaan. Namun, sering kali saya hanya mencoba untuk mensyukuri apa yang saya punya.

Lalu bagaimana dengan foto jalan-jalan saya yang berseliweuran di akun sosial media saya? Itu semua bisa saya lakukan dengan menekan pengeluaran secara besar-besaran. Dengan meminimalisir pengeluaran selama musim sekolah, saya pun akhirnya memiliki beberapa sisa di kantong. Sisa itu lah yang akhirnya saya gunakan untuk biaya transportasi. Untuk biaya makan? Makan adalah prioritas terakhir saya saya saat jalan-jalan. Terkadang selama seharian saya hanya makan roti, pisang dan air. Toh, di era digital seperti saat ini siapa yang butuh makan bukan? Yang membuat kenyang kan foto. Hehe.. (excuse my sense of irony!)

Sosial atau antisosial biasanya diartikan dari seberapa seringnya kita mau berinteraksi dengan orang sekitar. Namun di era modern ini sosial atau tidaknya seseorang kerap kali dilihat dari mau atau tidaknya individu itu untuk ikut nongkrong di café atau restoran atau mal atau bioskop tanpa memperhatikan apakah individu itu sanggup atau tidak untuk mengakomodir gaya hidup itu. Saya jadi berfikir kenapa mahal sekali ya untuk menjadi seorang yang sosial? Lalu apakah ini penyebabnya orang-orang pada lari ke media sosial? Karena mengalami hidup yang sosial di dunia nyata itu mahal, maka hidup di sosial media lah pelarian terakhirnya. Namun ironisnya ternyata mengakses sosial media pun mahal. Harga paket internet mahal. Lalu apakah menyendiri dikotak dan kesepian adalah satu-satu hal yang murah dalam hidup ini? Lalu seberapa banyak kah para anti-sosial yang sebenarnya bukan anti-sosial namun korban dari mahalnya harga menajadi manusia yang sosial? Apakah hanya para kaum sosialita saja yang layak hidup sosial?

Hidup tidak henti-hentinya memberikan makanan untuk berfikir (food of thought) HAHA :d :d



courtesy of kate's cafe.com
Jika menilik ulang sejarah hadirnya kopi ke Nusantara, maka tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Belanda yang kebetulan sempat meng-koloni Indonesia. Kini setelah berabad-abad setelah Indonesia merdeka, kopi tetap menajadi salah satu komoditas tani di Indonesia. Bahkan saat ini kopi Indonesia semakin bervariasi. Bukan hanya kaya akan cita rasa, namun juga kaya akan makna. Kopi telah berbaur menjadi sebuah budaya yang tidak bisa dilepaskan dari gaya hidup masyarakat lokal.
Namun dalam beberapa tahun terakhir nama kopi semakin naik daun. Kopi telah naik pangkat dari hanya sekedar minuman warga lokal,  kini menjadi minuman bergengsi. Salah satu penyebab naiknya citra kopi adalah hadirnya warung kopi modern atau yang akrab dengan sebutan cafe. Bukan hanya di kota-kota besar, kini cafe pun telah merambat ke kota-kata kecil seperti Takengon dan Bener Meriah. Kedua kabupaten ini adalah kabupaten penghasil kopi dengan kwalitas yang tidak perlu diragukan. Ntah apa yang melatarbelakangi menjamurnya cafe di kedua kabupaten ini; apakah hanya sekedar mengikuti tren budaya pop saja atau mungkin saja kedua kabupaten ini sudah siap maju dalam meramaikan budaya bisnis modern. Semoga yang kedua adalah alasan yang melatar belakangi hadirnya warung kopi modern di kedua kabupaten yang sempat satu itu.
Pada saat kepulangan saya beberapa bulan lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu cafe di kabupaten Bener Meriah. Nama cafe itu cafe Seladang. Cafe yang mengadopsi tema "menyeruput kopi langsung di kebun kopi" itu pun berlokasi langsung di tengah-tengah  kebun kopi. Jadi penikmat kopi bisa langsung melihat dari mana kopi yang mereka seruput berasal. Ada satu hal lagi yang menarik dari cafe ini, atau semua cafe yang berada di dataran tinggi gayo, yaitu keinginan untuk mengenalkan budaya minum kopi masyarakat Gayo. Konon masyarakat Gayo minum kopi dengan gula merah. Jadi alih-alih meminum kopi dengan gula, disini pelanggan akan di manjakan dengan gula khas Gayo yaitu gula aren atau gula merah. Namun budaya ini sempat meredup karena tutupnya pabrik gula yang sempat ada disana.
Satu hal yang menggelitik hati saya, jika pengemasan kopi ala modern berkembang di tanah Gayo, lalu apakah ini akan membantu perekonomian masyakarat? Atau budaya ngafe hanya akan menjadi budaya "panas taik ayam", budaya yang hanya hadir ketika masih populer. Ketika kepopuleran ngafe hilang, maka bubarlah semua bisnis cafe? Semoga tidak.
Kegelian saya semakin bertambah ketika megetahui bahwa mayoritas pelanggan yang hadir di cafe-cafe adalah mereka datang bukan berdasarkan kwalitas kopi yang hidangkan, namun dari kepopuleran cafe dan ke-foto-able an cafe. Jadi niat awal mereka datang café bukan karena mereka ingin berkumpul dengan kerabat atau menyicipi kopi yang berkwalitas tapi karena ingin berfoto-foto. Sebuah budaya yang superficial yang sedang menjangkiti dunia. Ketika semua kegiatan hanya didasarkan oleh keinginan untuk memoto bukan karena ingin menikmati.
Hal lain yang menyebabkan menjamurnya café-café modern adalah faktor media. Beberapa tahun terakhir ada banyak sekali produksi film yang mengangkat tema tentang kopi, sebutnya Filosofi Kopi. Kehadiran film seperti ini mengangkat citra kopi. Masyarakat semakit tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia kopi. Tapi disisi lain kehadiran media juga melahirkan sebuah budaya yang dangkal. Orang datang menyicipi kopi agar di anggap kekinian. Bukan semata-mata karena ingin benar-benar menyicipi kopi.
Jangan salah, saya adalah penggemar berat tulisan Dewi Lestari. Saya sudah membaca Filosofi Kopi jauh sebelumnya akhirnya buku ini ledak dipasaran paska penadaptasian buku ke film. Namun, hal yang terjadi di masyarakat kita saat ini adalah budaya yang mengedepankan kekinian dan mengenyampingkan makna dan fungsi. Mereka ikut menikmati hal yang baru tapi hanya untuk terlihat up-to-date, bukan karena mereka benar-benar ingin memahami makna hal baru itu dengan sesungguhnya.
Kehadiran café didaerah-daerah adalah sebuah hal yang perlu kita seleberasi. Bukan hanya karena ini menandakan bahwa daerah sudah siap untuk mengimplementasikan gaya bisnis modern namun juga menandakan bahwa masyarakat di daerah sudah siap untuk bersaing. Apalagi ditambah dengan banyaknya percoban untuk membaurkan kekhasanahan budaya lokal dengan budaya modern. Semoga daerah-daerah di Indonesia semakin berkembang dan keluar dari ketersampingan dan ketersudutuan seperti halnya yang terjadi selama ini.

Sekian








Danau Lut Tawar, Gayo High Land
Disamping fakta bahwa saya belum 100% sadar apakah hidup ini benar-benar realita atau hanya bagian dari mimpi1, saya harus menanggapi satu pertanyaan "how was home?" dari kolega saya di kampus. Sebuah pertanyaan yang sangat wajar karena akhirnya, saya ulangi sekali lagi AKHIRNYA, saya bisa menginjakkan kaki di tanah kelahiran saya setelah 4 tahun berturut-turut tidak pulang. Saya yang nyatanya sedang dalam situasi, meminjam terminologi T.S Eliot, drunk in fatigue, akhirnya mencoba meresapi pertanyaan ini. "How was home, really?" 

Dalam meresapi pertanyaan ini saya bukan hanya mencoba untuk memanggil kembali ingatan saya tentang kampung halaman tapi juga mencoba untuk menganalisa makna dari pertanyaan itu sendiri. Pertama, pertanyaan itu bisa bermakna kondisi rumah. Kedua, pertanyaan itu bisa bermakna bagaimana keadaan keluarga karena home adalah sebuah metonymy untuk keluarga. Semua hal ini muncul satu persatu bagai foto yang bemunculan di laman google saat dibuka dari komputer dengan jaringan super lelet.

Setelah semua pikiran ini bermunculan saya pun mempertanyakan kembali ketololan saya. Kenapa saya harus mengabil pusing pertanyan yang bisa dijawab dengan kalimat basa-basi klasik seperti, "home was fine. I have a great summer, and my family was fine too. Everybody was so happy and bla.. Bla.. Bla..". Lagian, mungkin saja pertanyaan tersebut keluar dalam rangka basa-basi, kenapa saya harus pusing?

Terlanjur basah, saya pun melanjutkan resapan paska kepulangan saya dengan khusuk. Dengan sangat menyesal saya harus jujur pada diri sendiri bahwa ekspektasi saya tidak terbayarkan. Keadaan kampung halaman masih saja sama seperti saya tinggalkan empat tahun lalu. Ada satu dua hal yang berubah, dan itu pun sangat tidak signifikan.

Di kabupaten Bener Meriah, misalnya, perubahan yang sangat terlihat jelas adalah adanya landasan terbang yang lebih baik. Saya menekankan kata lebih baik karena sebenarnya landasan terbang ini sudah ada sejak pertengahan tahun 2000-an. Saya ingat betul hari pembukaan landasan terbang ini, saya beserta keluarga berduyun-duyun hanya untuk merayakan hari peresmiannya. Cukup senang bahwa landasan terbang ini diperbaiki, artinya ada opsi tambahan bagi saya ketika akan pulang selanjutnya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, opsi yang saya punya hanya  menaiki kendaraan darat yang memaksa saya harus menempuh belasan jam untuk sampai di rumah.

Meskipun demikian, ada satu hal yang saya sangat harapkan, permainan harga. Semoga di masa yang akan datang harga tiket pesawat bisa sedikit lebih rasional. Saat ini dikarenakan oleh kondisi dimana satu-satunya maskapi penerbangan yang beroperasi mengakat penumpang dari dari ke bandara Rembele (TXE) adalah Wingsair, anak dari perusahaan penerbangan Lionair, masyarakat tidak bisa komplain melainkan mengambil opsi yang ada. Adapun perkiraan harganya adalah IDR 275-300K untung tiket promo dan IDR 400-500K untuk tiket normal. Dibandingkan dengan tiket bus antar kota? Dua kali lipat. Harga normal tiket bus antar kota Bener Meriah - Banda Aceh adalah IDR 120K, sedangkan Bener Meriah Medan adalah IDR 140K.

Selebihnya, perkembangan apa yang sedang terjadi di kampung halaman? Secara politik, permasalahan pilitik klasik masih mendominasi instansi pemerintahan lokal seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Permasalahan moral juga semakin menjadi konsern banyak masyarakat, salah satunya adalah permasalah free sex, tren yang sedang naik daun di kalangan anak muda di daerah terpencil. Efek dari pergaulan bebas ini adalah banyaknya pernikahan dini. Sebuah peraturan adat di Aceh bahwa ketika ada pemuda dan pemudi yang kepergok melakukan hubungan diluar nikah, maka mereka harus dinikahkan SEGERA, tidak perduli apakah mereka sampai umur atau tidak. Sebuah peraturan yang memerlukan banyak perdebatan dan analisa terutama secara agama, sosial, budaya dan kemaslahatan si individu. Efek dari pernikahan dini ini adalah bertambahnya populasi, tentu. Tapi dalam waktu bersamaan juga bertambahnya para pekerja non-profesional. Hal terakhir yang mereka bisa geluti, dalam hal profesi, adalah menjadi petani, dan petani. Jika ini terjadi maka siklus keluarga mereka tidak akan berubah. Jika hal ini terjadi maka kehidupan masyarakat perkampungan bisa ditebak bahwa keturunan dari pernikahan dini ini juga memungkinkan untuk jatuh pada lubang yang sama. Dan siklus ini akan berulang lagi, berulang lagi, sampai saat ketika masyarakat sadar bahwa pendidikan sangat penting. Bahwa mengetahui perkembangan teknologi penting. Jangan ikuti kemauan anak anda untuk membeli telepon genggam saat dia masih SD. Dan berikan pemahaman pada anak-anak bahwa hidup ini keras!

Kedua, efek yang paling tragis dari pernikahan dini ini adalah angka perceraian yang semakin meningkat. Mari hadapi bersama, bahwa mereka masih sangat belia. Pernikahan bukanlah hal yang bisa mereka hadapi. Dengan umur yang masih relatif muda, ego masing-masing masih sangat tinggi. Belum lagi permsalahan sifat kekanak-kanakan. Ujung-ujungnya adalah perceraian. Salah seorang wartwan asalah kota Takengon bahkan dengan lancang mengatakan bahwa faktor mengapa angka perceraian di Aceh Tengah tinggi beberapa tahun kebelakangan ini bukan semata-mata karena dalam lapangan begitu adanya, tapi karena dalam jangka waktu itu Bener Meriah masih menumpang di Pengadilan Agama Aceh Tengah. Dengan kata lian, dia mengatakan bahwa sebenarnya angka perceraian tersebut adalah milik Bener Meriah. J

(what the heck, saya bukan seorang ahli dalam keluarga, saya hanya ahli dalam mengetahui bahwa hidup dalam garis kemiskinan itu sangat sulit. Bayangkan jika anda memiliki anak yang sangat berpotensi tapi anda tidak mampu secara finansial, apakah anda tidak merasa bersalah?)

Permasalahan selanjutnya adalah lapangan pekerjaan yang sangat minim dan sistem tenaga kerja yang membunuh. Dalam momen kepulangan saya kemarin, saya juga berkesempatan untuk berkumpul dengan teman SMP saya. Topik perbincangan kami saat berkumpul adalah tentang lapangan pekerjaan di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Mereka yang dominannya berkuliah di jurusan kesehatan (dokter, bidan, perawat dll), frustrasi dengan keadaan. Bayangkan saja gaji bidan honor di desa hanya sebesar IDR200k, dan itu pun dibayar tiga bulan sekali. Apakah ini manusiawi? Pertama mereka  terpaksa masuk dalam sistem (menjadi bidan honor,) karena tidak ada pilihan lain. Kedua setelah masuk dalam sistem mereka harus masih disiksa dengan birokrasi yang rumit. Saya jadi bertanya-tanya apakah sistem tenaga honorer yang disediakan pemerintah layak untuk dilanjutkan? Mengingat karena sistem-nya yang sangat PHP, meminjam terminologi anak muda kekinian.

Dalam observasi saya selama di kampung halaman saya menemukan fakta di lapangan bahwa ada banyak sekali pegawai honorer di kantor pemerintahan (guru, pegawai kantor pemda dll) yang sudah mengabdi selama 10 tahun lebih tanpa ada kepastian bakal di angkat menjadi pegawai negeri atau tidak. Ini sangat tidak manusiawi. Bagaimana mereka akan menghidupi keluarganya dengan gaji yang hanya cukup untuk membayar uang transportasi mereka ke kantor saja. Ironisnya, kondisi kantor pemerintahan juga jauh dari memuaskan. Dikarenakan kondisi pada era modern ini semua pekerjaan menggunakan komputer dan internet, banyak karyawan generasi tua yang tidak bisa beradaptasi. Dilapangan, yang paling banyak mengerjakan pekerjaan adalah tenaga honorer. Para pegawai negeri? Mereka hanya duduk santai dan sesekali menandatangani dokumen. "Apakah mereka tahu proker mereka?" Sebuah pertanyaan besar yang mengaung di kepala saya.

Saya semakin bertanya-tanya, apakah korupsi di Indonesia semata-semata salah dari para koruptor atau korupsi di Indonesia hanya buah yang harus dipetik oleh Indonesia karena sistem birokrasi yang ia tanam. Para pegawai negeri itu mengalami masa kepegawaian yang sulit selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya mereka di angkat menjadi pegawai negeri. Lalu apakah korupsi menjadi bentuk balas dendam mereka? Tidak ada yang tahu. Saran pribadi saya hapuskan sistem tenaga honorer kalau hanyak untuk mengeksploitasi para tenaga kerja honorer. Jadi pegawai negeri atau tidak usah buka lowongan sama sekali. TITIK.

Saya juga menyarankan untuk kita semua untuk tidak berharap menjadi pegawai negeri. Mari kita mencoba untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar menjadi pegawai negeri bukan satu-satunya opsi yang dimili oleh para sarjanawan muda.

Kembali ke pertanyaan awal "how was home?", akhirnya setelah berpikir panjang saya pun memilih untuk menjawab pertanyaan dengan cara basa-basi. "Everything was great, except it ends so fast. I wish I could stay at home longer."






courtesy of Qatar Airways
Pada tahap ini saya sudah merasakan servis dari berbagai maskapai penerbangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Namun dikarenakan budget yang saya miliki, disaat melakukan perjalanan saya pun terpaksa memilih maskapai dengan pilihan harga yang lebih ramah kantong. Untuk didalam negeri sendiri saya baru menggunakan jasa masakapai Lion Air dan Air Asia. Sedangkan untuk tingkatan luar negeri saya baru menggunakan jasa maskapai Qatar, Malaysia, Pegasus, Atlasglobal, Wizzair.

Dalam tulisan ini saya ingin berfokus pada servis yang diberikan oleh maskapi asal Timur Tengah, Qatar Airways, yang kebetulan sudah saya tumpangi sebanyak tiga kali berturut (kalau dihitung transit 6 kali).

Pertama kali saya menumpang pesawat Qatar sekitar tahun 2012. Pada tahun yang sama juga merupakan kali pertama saya keluar dari Indonesia. sendiri pula. Entah karena kurangnya pengalaman atau memang begitu adanya, saya merasa bahwa servis yang diberikan oleh Qatar Airways sangat baik.

Saya belum pernah menaiki Qatar Airways untuk penerbangan jarak dekat, tapi untuk penerbangan jarak jauh Qatar Airways adalah pilihan yang sangat baik. Berikut alasannya:

  1. Harga yang Terjangkau
Bagi mahasiswa harga adalah segalanya. Harga, bahkan terkadang, menjadi tolak ukur bisa atau tidaknya pulang. Sudah rahasia umum bahwa untuk mendapatkan harga yang menyenangkan, perlu membeli tiket lebih awal. Untuk jangka waktu, memang masih dalam perdebatan. Ada yang mengklaim bahwa 3 bulan sebelum hari H adalah waktu yang tepat untuk membeli tiket. Namun, nyatanya saya beli tiket 2 bulan sebelum hari H dan saya masih dapat tiket promo. Artinya masih banyak cara untuk mendapatkan harga tiket termurah. Satu hal, jangan lupa ikuti terus website yang menyediakan lampiran harga dari berbagai maskapi seperti skyscanner dll. Untuk Qatar Airways sendiri, tiket promo biasanya di lampirkan dihalaman utama website. Atau untuk lebih aman, subscribe aja websitenya dengan email. Selanjutnya setiap ada promo akan dikabarkan melalui email. Pilihan lainnya adalah dengan menuliskan langsung di google "qatar airways promo", maka laman pilihan harga promopun akan langsung muncul. Dengan begitu anda tidak perlu repot lagi mencari menu promo.

  1. Cabin Crew yang Ramah
Tentu untuk yang satu ini setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda. Saya sangat beruntung bisa memiliki pengalaman selama penerbangan yang sangat menyenagkan. Yang paling ngademin dari Qatar Airways adalah, gaya para pramugari yang sangat elegan. Tidak terlalu menor dan tidak terlalu slutty. Disini para pramugari masih diperlakukan sewajarnya. Dan juga sangat beragam. Ada Asia, Afrika, bahkan ras Eropa.

Terakhir kali saya menumpangi QR, saya meminta ke pramugari untuk membawa selimut karena akan berada di bandara selama 10 jam. Dan, si pramugari dengan baik hati mengatakan "just put it in your bag."

  1. Makanan yang Ramah Islam
Meskipun untuk pilihan minuman masih disediakan minuman beralkohol, tapi untuk pilihan makanan sudah tertulis dengan jelas dibuku menu bahwa semua makanan sesuai standar halal. Jadi untuk penumpang yang beragama Islam, tidak perlu ragu untuk makan.

makanan di dalam pesawat QR
Pengalaman pribadi! Karena lapar dan tidak ingin mengeluarkan uang saya akhirnya meminta makanan sisa dari cabin crew. Dan dikasih. Awalnya saya minta untuk makan di dalam pesawat, tapi karena sudah ada pengumuman untuk mendarat, saya pun akhirnya membukus makanan dan membawa turun. Akhirnya sekarang saya punya sendok, garpu, dan pisau dengan label Qatar Airways. :D :D

Intinya, kalau transit lama, gak ada salahnya minta makanan. Hitung-hitung bisa menghemat. Kan lapar juga kalau harus transit selama 10 jam. Mana makanan di bandara mahal lagi. Solusinya, ya bungkus makanan dari pesawat.

  1. Transit yang Menyangkan
Jika tujuan akhir anda bukan Qatar, maka otomatis akan mengalami transit di Doha. Terutama jika penerbangan yang dilakukan lumayan jauh. Tapi jangan takut, trasit di Doha menyenangkan kok. Ada banyak pilihan. Ada komputer apple yang bisa menghilangkan penat. Ada restroom yang menyediakan kursi malas, bisa selonjoran kaki dan tidur. Pilihan yang paling epik adalah bisa ikut tour kota Doha yang berdurasi 3 jam. Pilihan yang terakhir ini bisa di nikmati jika kamu transit lebih dari 6 atau 7 jam. Dan kalau kamu transit siang hari. Paling telat jam 8 malam. Untuk info lebih lengkap melalui tour, klik link ini.

Sekian reaksi penumpang tentang maskapai penerbangan Qatar Airways. Semoga bermanfaat. Jika anda berencana untuk melancong ke kawasan Eropa dan Amerika, tidak ada salahnya untuk mencoba Qatar Airways.