Setelah beberapa bulan on and off membaca buku karya mba Laksmi Pamuntjak ini, akhirnya saya rampung juga. Sejujurnya, selama proses membaca buku ini saya berulang kali berubah pikiran tentang pendapat saya mengenai buku ini. Awalnya saya merasa ada kejanggalan dari segi bahasa dan saya berasumsi bahwa hal ini terjadi karena pada dasarnya buku ini ditulis dalam bahasa Inggris sebelum akhirnya diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Jadi, seperti umumnya novel terjemahan yang beredar di Indonesia, selalu ada keganjilan dari segi bahasa. Asumsi kedua saya, mungkin hal ini terjadi karena bahasa Indonesia yang kita gunakan selalu dipengaruhi oleh bahasa daerah atau bahasa ibu; bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek Jawa misalnya atau bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh dialek Melayu. Selalu ada kekhasan tersendiri dari tiap-tiap penulis dengan latar belakang mereka masing-masing yang membuat pembaca dari latar belakang berbeda merasa kesulitan meresonasi cerita tersebut kepengalaman mereka pribadi. Namun pendapat saya berubah seiring dengan bertambahnya bab yang saya baca. Dan akhirnya perasan ini konsisten hingga bab terakhir, yaitu saya sangat mengacungkan jempol terhadap novel ini.

“Karya ini merupakan karya fiksi berlatar belakang sejarah. Sejumlah tempat seperti Kadipura, Rumah Sakit Waepo, dan Rumah Sakit Sono Walujo di Kediri adalah fiktif. Adegan-adegan Srimulat dan adegan-adegan si Sanggar Bumi Tarung juga merupakan buah imajinasi pengarang. Dan meskipun serbuan ke Universitas Res Publica, Yogyakarta, pada 19 Oktober 1965 terjadi siang hari, pengarang memindahkannya ke malam hari”

Novel ini diawali dengan alenia di atas, yang menurut saya sangat sukses utuk merangkumkan seluruh isi novel ini. Sebuah hiperbola memang, karena tidak mungkin sebuah alinea mampu menggambarkan seluruh isi cerita.

Secara singkat, “Amba” ada sebuah novel yang bercerita tentang kisah cinta dua insan, Amba dan Bhisma, yang terpisah karena tragedi terbesar yang pernah ada di Indonesia yaitu penyerbuan Universitas Res Publica di tahun 1965 yang juga berhubungan dengan kasus PKI di Indonesia. Dan yang novel ini coba gambarkan adalah hidup paska kejadian ini. Dimana Amba dan Bhisma telah berpisah selama 40 tahun, namun masih memendam cinta mereka dalam-dalam.

Novel ini dibagi menjadi 7 buku (bab dalam bentuk tebal,) dimana setiap buku terdiri dari bab-bab. Setiap bab mengangkat kisah yang berbeda-beda. Dan dalam perjalanannya, kisah hidup setiap tokoh secara berangsur-angsur dikemukakan. Meskipun begitu cerita dalam novel ini tidak berbentuk linear, melainkan acak. Di buku pertama, misalnya, berawal dari pencarian panjang Amba akan keadan dan situasi Bisma paska usainya masa tahanan di Buru. Namun di buku selanjutnya, pembaca malah di bawa mengeksplorasi kehidupan Amba dari masa kecilnya hingga akhirnya bertemu Bisma.

Melalui Bab ini, saya, sebagai pembaca yang masih awam akan kisah Mahabrata, akhirnya mampu memahami referensi yang secara sadar dipakai oleh mba Laksmi terhadap pemilihan nama para tokoh seperti Amba, Bhisma, dan Salwa. Hal ini menambah kekayaan novel ini. Juga dengan begitu mengangkat salah satu tema yang disematkan kedalam seluruh cerita yaitu perbedatan antara Takdir atau Nasib dan Nama. Didalam budaya Indonesia kita selalu diingatkan oleh pentingnya nama. Dan konon, nama yang diberikan kepada seorang anak akan menentukan nasibnya. Didalam novel ini kita juga menyaksikan perdebatan ini. Apakah Amba, nama yang diambil dari salah satu tokoh Mahabrata, akan hidup persis seperti cerita dalam Mitologi tersebut?

Selain itu, sisi lain buku ini adalah tentang keinginan untuk menujukkan sisi lain dari sejarah. Dalam salah satu wawancara, Mba Laksmi pernah mengatakan bahwa alasan beliau menulis buku ini adalah karena kegelisahan beliau terhadap situasi sejarah Indonesia yang sangat sempit. Penguasa mengatur narasi sejarah. Akibatnya, kita sebagai masyarakat hanya tahu satu sisi koin sejarah tersebut. Karenanya novel ini, meskipun bebentuk fiksi, mencoba untuk menghadirkan sisi koin lainnya.

Jujur saya akui, sebagai seorang yang terlahir dipertengahan tahun 90an, saya memiliki pengetahuan sejarah yang sangat minim. Bahkan kalau kalian menanyai saya tentang G30S/PKI, saya tidak bisa mengatakan apa-apa selain: tragedi terbesar di Indonesia yang juga menyebabkan diturunkannya presiden Soekarno. Menurut perbincangan saya dengan orang yang lebih dewasa dari saya, dulu mereka sempat dipaksa menonton film dokumentasi yang berbau propaganda tentang kekejaman PKI. (Alhamdulillah hal seperti ini tidak lagi diberlakukan di generasi saya) Hal ini membuat masyarakat Indonesia membenci hal-hal yang berbau PKI. Namun seperti saya katakan tadi, didalam rejim yang dipimpin oleh seorang dictator, bisa dipastikan bahwa sisi sejarah yang kita ketahui hanyalah satu dari seluruh versi yang ada. Dan saya sangat senang sekali ada seorang penulis yang mencoba mengisi versi–versi sejarah dari sisi lainnya. 

Bhisma, misalkan, seorang tokoh yang digambarkan memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis di Indonesia namun secara pribadi tidak melihat ada persamaan visi dan misi dengan mereka. Keikutsertaannya dalam partai tersebut murni karena solidaritas terhadap beberapa tokoh yang ada di partai tersebut. Namun secara individual, Bhisma melihat sisi komunisme yang ada di Indonesia sebagai hal yang ambruk yang tidak sesuai dengan kodratnya. Bhisma juga menyayangkan sisi fanatisme terhadap Stalin dan tokoh-tokoh komunisme Rusia lainnya. Sebagai seorang yang memiliki latar belakang pendidikan di Jerman Barat, Bhisma sadar bahwa tokoh-tokoh tersebut telah kehilangan pamornya disana. Bahwa Negara lain yang juga menjunjung nilai komunisme tak lagi melihat tokoh tersebut sebagai bintang, namun perusak nilai komunisme itu sendiri melalui kediktatorannya. Namun Bhisma hanya diam dan memokuskan dirinya untuk menolong negeri. Sebagai seorang yang berasal dari keluarga Borjui, Bhisma memilih hidup jauh dari kenyamanan walaupun sebenarnya dia bisa saja menjadi dokter kondang di Jakarta dan hidup nyaman. Dia memilih untuk mengabdi di daerah terpencil debagai dokter. Bahkan ketika dia berada di Buru sekalipun, dia masih tetap pada pendiriannya untuk mengabdi kepada negeri. Dalam salah satu bab saya terhentak oleh salah satu alinea dimana Bhisma menyayangkan orang yang hanya ikut-ikutan dalam partai tersebut, “bahkan mereka belum pernah membaca buku Karl Marx ‘Das Kapitalis’” katanya. Dan benar, bukan hanya dalam kasus PKI tapi dalam kasus-kasus –ism –ism lainnya dan bahkan agama, kebanyakan orang-orang yang berakhir dengan radikalisme dan kekerasan adalah orang yang tidak mengerti tentang paham yang mereka anut. Mereka menjadi bagian paham tersebut hanya mengandalkan hasutan dan ikut-ikutan. Tanpa perduli untuk belajar sedikitpun.

Jadi setidaknya ada tiga sisi yang bisa kita jadikan pelajaran dalam novel ini:

1.        Sisi Kesusastraan Asia “Mahabrata”. Dengan membaca novel ini kita mampu melestarikan budaya dan sastra Asia

2.      Sisi Sejarah Indonesia. Dengan membaca buku ini kita bisa melihat sisi sejarah Indonesia dengan kaca mata yang berbeda

3.       Kisah cinta yang berlatar sejarah dan selain itu juga mengikuti bingkai kisah yang ada dalam “Mahabrata”.


Rasanya sebutan yang tepat untuk novel ini adalah historiographic metafiction. Kebetulan beberapa kesempatan lalu saya sempat belajar Posmodernisme, dimana kami membaca artikel dari teoritisi seperti Linda Hutheon, Fredric Jameson dan Jean Baudrillard. Adalah Hutheon yang berpendapat bahwa sastra Postmodernisme memiliki keunikan tersendiri dan beliau pun menciptakan salah satu terminologi yang saya sebutkan tadi, histeriograhic metafiction yang secara gamblang memiliki makna: sebuah karya fiksi yang mengandung sisi sejarah dan juga fiksi yang bercerita tentang fiksi. Dalam hal ini kita bisa melihat novel “Amba” sebagai sebuah karya fiksi. Namun dalam waktu bersamaan dalam novel ini kita melihat adanya intertextuality dan parody “Mahabrata” dan tulisan-tulisan dari penulis barat lainnya seperti T.S. Eliot. Rosa Luxemburg dan lain-lain. 

Akhir kata, novel ini adalah novel yang sangat kaya akan pembelajaran. Sebagai seorang mahasiswa jurusan sastra, saya merasa sangat senang bisa membaca buku ini. Karena dalam buku ini saya bisa mengeksplorasi gaya tulisan, sejarah, juga kesusatraan yang belum saya sentuh sebelumnya. Saya memberikan 4.5 dari 5.











courtesy of http://blog.socialintent.com

 
Sadarkah kita bahwa segalanya berubah sangat cepat akhir-akhir ini? Salah satu factor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah kemajuan dibidang teknologi. Didalam teknologi komunikasi, misalnya, lima belas tahun lalu saya belum mengenal yang namanya telepon genggam. Bahkan telepon rumah saja, keluarga saya tidak punya. Tapi memang saat itu kami tidak membutuhkannya. Jadi tidak ada alasan bagi kami untuk memaksakan diri untuk punya telepon rumah. Lebih-lebih konflik militer masih berlangsung di Aceh saat itu. Punya teknologi secanggih telepon rumah bisa menjadi masalah besar. Pihak GAM bisa menganggap sipemilik telepon mata-mata. Dan pihak milisi akan berpikir sama. Lima belas tahun lalu, ditempat saya tinggal mungkin hanya ada satu atau dua keluarga yang punya telepon rumah. Itu pun karena mereka memang sangat membutuhkannya, bisa karena salah satu anggota keluarganya yang berada di kota besar seperti Jakarta, Bandung dan lain-lain. Saya masih ingat waktu salah satu abang saya sempat merantau di Bandung, bapak saya kerap menumpang ke rumah orang lain di kampung seberang untuk menggunakan telepon rumah mereka. Era yang sangat aneh memang.

Kemudian telepon gengang mulai bermunculan. Kalau di Negara lain atau di kota besar seperti Jakarta, mungkin telepon genggam sudah muncul di awal tahun 90-an atau bahkan malah lebih awal lagi. Tapi di kota-ku, Aceh Tengah, waktu itu, sekarang sudah mekar menjadi kabupaten Bener Meriah, seingat saya, telepon genggam baru muncul di awal atau pertengahan tahun 2000-an. HP yang pertama muncul, tentu saja, seperti yang masih segar dalam ingatan kita, adalah Nokia 7600. Dengan bentuk fisiknya yang besar dan masih sangat minim aplikasi. Bahkan mungkin kata “aplikasi” saja tidak cocok untuk disandingkan dengan hape yang satu ini. Di awal atau pertengahan tahun 2000-an, seperti halnya telepon rumah, masih sangat sedikit orang yang memiliki telepon genggam. Bagi yang kebetulan punya telepon genggam ditahun ini, mereka terpaksa harus memilikinya memang karena kebutuhan. Mungkin karena anaknya yang merantau di kota besar atau karena bisnis perdagangan (kopi, spare parts motor, dll) yang memaksanya harus memiliki hape guna mempermudah komunikasi dengan dealer, agen, dan lain-lain.

Untuk kota kecil seperti Bener Meriah, memiliki hape bisa menjadi subuah teater tersendiri. Orang-orang udik seperti saya sangat mudah sekali ditakjubkan oleh sesuatu. Melihat si pemilik hape lari ke daerah yang lebih tinggi dengan harapan sinyal bisa lebih baik adalah makna hiburan sesungguhnya. Selain takjub dengan konsep hape waktu itu, saya juga menaruh minat yang sangat tinggi pada teknologi.

Pertengah akhir 2000-an abang ku yang tadinya merantau di Bandung pulang. Awalnya ingin kuliah disana, namun akhirnya memutuskan pulang ke Aceh untuk tes polisi. Pas pulang, dia bawa hape Sony Ericsson K510i. Saya ingat sering pencat-pencet hape-nya secara diam-diam terutama  pas ditinggal dicharger. Tapi dimasa ini hape sudah bukan barang asing lagi. Sudah banyak orang yang punya hape. Bahkan dengan teknologi yang lebih canggih lagi. Mungkin saat itu-lah fungsi hape sudah berubah, bukan hanya sebagai penghubung orang-orang yang dipisahkan oleh jarak, tapi juga sebagai sebuah simbol yang akan menentukan status seseorang ditengah masyarkat berdasarkan kondisi ekonomi mereka.

Kemudian dunia SMP dimulai. Saya waktu itu berada di pondok selama tiga tahun. Selama saya disana tentu banyak progress berlangsung. Blackberry mulai bermunculan di kota kecil saya. Walaupun saya yakin waktu itu mereka, si pemilik Blackberry, belum tahun fungsi blackberry sesungguhnya. Mereka pakai blackberry hanya untuk kelihatan berkelas saja. Apalagi dengan kondisi sinyal telkomsel (satu-satunya provider yang masih ada waktu itu) yang buruk, kalaupun mereka faham fungsi BBM, email dan lain-lain, sinyal tidak mendukung.

Tahun 2008 atau tepatnya saat saya berada dibangku kelas 3 SMP, saya berkesempatan untuk ikut Jamboree Asean di Cibubur. Waktu di pondok, salah satu gadget yang saya sempat miliki adalah kamera tustel Nikon yang masih pakai roll film. Malu-malu in ya. Itu pun akhirnya disita sama bagian pengurus. Padahal rencananya mau dibawa ke Jamboree biar bisa mendokumentasikan semua kegiatan. Mungkin ada baiknya juga sih kamera itu disita, kalau aku bawa ke Jamboree mungkin aku bakal jadi cerita paling memalukan disana. Secara, kamera digital sudah ada waktu itu, walaupun yang punya baru hitungan jari. Dalam rombongan kami, yang punya kamera digital baru Pembina saja. Itu pun baru dua orang. Bukan kaya sekarang, sudah banyak yang punya kamera LSLR. Selain itu, hape dengan fasilitas kamera juga sudah banyak. Jadi kami juga pada bawa hape begituan.

Saya, tentu belum punya hape waktu itu, tapi abangku si nomer tiga punya. Somehow aku sukses meyakinkan orangtua ku dengan merengek dan lain-lain agar dia meminjamkan hapenya ke aku selama mengikuti kegiatan Jamboree ini. Hape-nya waktu itu lumayan bagus dan punya fasilitas kamera, Nokia 6300. Tapi sempat nyesal juga sih pakai hape dia. Karena pas pulang dari Jamboree, tiba-tiba hapenya rusak. Dan selanjutnya adalah perasaan nyesal dan bersalah tiada henti. Andai saja waktu itu aku pakai hape bapak aja, Sony, yang juga berkamera walaupun tidak sebagus Nokia 6300.

Sepulang dari Jamboree kebetulan saya mulai merasakan yang namanya berada dikelas 3 SMP, yang berarti sebentar lagi bakal mengikuti Ujian Akhir Nasional. Saya berkesempatan untuk punya hape lagi, yang saya dengan bangga bisa ngaku-ngaku punya hape pertama. Lagi-lagi aku pakai hape abangku tapi kali ini hape abang si nomer dua. Waktu itu hapenya adalah hape nokia berwarna lupa seri berapa.

SMA dimulai. Karena saya SMA di Banda Aceh, yang berarti 12 jam perjalanan untuk bisa ketemu orangtua, akhirnya saya dibelikan hape baru. Waktu itu saya lagi tergila-gila dengan N-gage sampai-sampai saya beli yang secondhand. Tapi setelah beberap hari pakai, dan ternyata rusak, akhirnya saya balikin. Ujung-ujungnya saya pake hape Nokia (lupa seri berapa), yang masih belum punya akses internet. Sampai akhirnya blackberry sudah sangat popular di sekolah. Semua orang punya blackberry. Beberapa orang punya Samsung android, yang membuat aku sekarang berpikir kalau aku bisa ngasih saran ke diriku dimasa lalu, aku bakal bilang: harusnya kamu beli android dari pada blackberry gemini. Di akhir kelas tiga aku akhirnya bisa beli blackberry itu yang aku sampai saat ini masih aku pakai (walaupun secara fungsi hanya bisa telpon dan SMS karena keypad-nya sudah pada copot dan tombol tengah atau yang aku kadang suka bilang “kursornya” sudah gak sensitif).

Tahun ketiga di Turki akhirnya berkesempatan beli Samsung Tab. 4 demi bisa akses whatsapp, karena blackberry sudah gak memungkinkan lagi. Jadi aku pakai dua gadget sekaligus hape untuk nerima SMS dan telpon, tablet untuk internet (whatsapp dll) dan baca buku. 


Randomly taken from internet
Tahun ke empat di Turki, akhirnya bisa pulang pertama kali ke Indonesia untuk liburan musim panas. Sebelum pulang ke Turki lagi, aku becanda mau ngambil hape abangku yang kebetulan I-phon 4, which is the worst iphone ever made! Karena waktu itu ada aksiden kecil, dimana pas kebetulan aku yang pegang hapenya tiba-tiba LSD belakangnya tiba-tiba bengkak. Akhirnya dia bilang, oke hapenya buat kamu aja. Jadi sekarang aku bisa memusiumkan blackberry Gemini yang aku pakai dari 2010 sampe 2016. Ironisnya, walaupun secara teknis aku sekarang pakai iphone 4, aku gak melihat ada bedanya dengan BB Gemini ku. Pertama, batre iphone 4 yang super annoyingly boros. Jadi tetap saja, untuk urusan internet aku pakai tab 4.

Intinya, teknologi berkembang pesat sekali bahkan terkadang aku merasa terlalu pesat. Kenapa teknologi munculnya tidak pergenerasi aja sih? Biar kita nggak terlalu shock-shock amat. Misalkan dulu kan sistematis banget tuh. Generasi 80-an teknologinya A. Generasi 90-an teknologinya B. Masuk ke generasi 2000-an, teknologinya langsung borongan. Hape muncul dengan teknologi yang super setiap harinya. Internet semakin cangih di tahun 2000. Kamera sudah bukan masalah lagi. Kalau ingat-ingat di tahun 2000an, foto masih di anggap benda berharga. Sekarang foto sudah beribu. Semua orang bisa foto setiap harinya bahkan ada fenomena yang disebut selfie. Dulu senyum di foto aja masih di anggap asing. Terus internet. Dulu YM segalanya. Saya belum tahu email sampai tahun 2009. 2008 saat ikut Jambore, pas di tanya email sama kontingen asal Malaysia dll, saya gak ngerti sama sekali.

Pas SMA di Banda Aceh baru punya akun facebook yang trand-nya waktu siapa punya teman paling banyak dia yang gaul, gak peduli teman itu orang yang kamu kenal atau tidak. Akhirnya teman di facebook jadi beribu-ribu, padahal gak pernah saling sapa sama sekali. Saya mutusin untuk tutup akun dengan teman beribu ini tahun lalu pas saya resmi punya nama baru. Selain facebook, twitter juga muncul saat saya masih di SMA. Di twitter, trandnya siapa yang nge-twit dengan teknologi orang ketiga. Kalau nge-twit dari komputer atau hape biasa dianggap gak cool. Paling cool waktu itu kalau twitnya pakai Ubersocial. Tiba-tiba pas kuliah Whatsapp, Line, Instagram, Snapchatt, dll muncul. Sampai pada saat dimana saya akhirnya menyerah untuk menjadi bagian generasi baru ini. Saya gak mau punya akun snapchatt. Titik! Belum lagi yang namanya Vlog. Saya suka ikutin channel youtube, tapi bukan yang vlog.  Vlog, bagi saya sudah melewati batas. Just to clarify, vlog dalam kamus saya, channel youtube yang isinya satu atau dua orang yang sibuk dengan dirinya sendiri dan membaginya kekhalak ramai. Kalau channel youtube yang berisi konten menarik dan worth of attention, saya gak mempermasalahkan.

Segalanya berjalan begitu cepat! I can’t keep up with the world anymore. Didunia saya, Sastra, hal ini dibahas di angkatan postmodernisme, dimana angkatan ini muncul sebagai reaksi dan juga kelanjutan dari angkatan sebelumnya (hal ini masih menjadi perdebatan.) Salah satu hal yang dibahas dalam angkatan ini adalah betapa pendapat angakatan Enlightenment tidak benar sama sekali. Angkatan Enlightenment mengkatan bahwa progress itu baik dan penting. Namun sebagai manusia yang hidup dari hasil sebuah progress, kaum postmodernism menyangkal hal itu. Progress dan ilmu pengetahuan dan lagis tidak selamanya penting dan bagus. Lihatlah kondisi kami saat ini, kami sangat tidak terorganisir sama sekali. Pemikiran kami terpecah kemana-mana karena informasi bergerak begitu cepat, efek dari digitalisasi dan kepesatan teknologi. Belum lagi dengan adanya makanan instan, instant messaging, media sosial dan lain-lain, 24 jam tidak cukup lagi untuk bisa memahami keadaan dunia saat ini. Emosi kita dapat dimanipulasi dalam hitungan dekit. Ketika kita melihat video youtube bertama komedi, kita tertawa. Semenit berikutnya kita menangis menyaksikan video korban perang di Suriah. Dunia ini gila! Para Ilmuan yang tidak sepakat dengan konsep postmodernisme berargumentasi dengan kegilaan era ini. Frederic Jameson dan Jean Baudrillard, misalnya, kedua tokoh ini sangat concern dengan kondisi posmodernisme yang semakin hari membuat orang yang hidup didalamnya semakin tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana hayalan lagi. Baudrillard menyebutnya simulacra. Jameson menyebut kondisi ini dengan generasi yang terputus dari sejarah. Walaupun di dalam produksi karya postmodernisme sering ada unsur sejarah, menurut Jameson, sisi sejarah yang dimunculkan tidak memiliki makna sama sekali sangat dangkal dan kosong.

Lalu bagaimana kita bisa tetap tersadar dengan segala ke-instanan yang ada? Haruskan kita berhenti sejenak keluar dari keinstanan yang ada? Stop mengkuti media sosial, berita dan lain-lain. Haruskan kita kembali ke alam saja, dimana kedamaian selayaknya berada?



“Mister Pip” adalah sebuah cerita fiksi karya seorang penulis asal Slandia Baru, Lloyd Jones. Dalam novel ini penulis menuangkan kisah tentang kekuatan sebuah cerita atau story-telling dalam merubah kehidupan manusia kearah yang lebih baik. Selain itu, yang membuat novel ini menjadi lebih menarik adalah pemilihan setting. Penulis sengaja memilih Bougainville, Papua Nugini tahun 1990-an sebagai tempat berlangsungnya cerita. Hal signifikan tentang pemilihan setting ini adalah terjadinya perang saudara di tahun tersebut, yang juga menjadi bagian paling penting dalam keseluruhan alur cerita novel ini.

Cerita bermula dengan sebuah deskripsi mengenai seorang yang bernama Mr. Watts atau orang sekampung memanggilnya “Pop Eye”. Dia adalah satu-satunya orang kulit putih yang tersisa di kota Bougainville. Dahulu ketika pertambangan masih aktif ada banyak orang kulit putih yang bekerja disana. Namun ketika perang saudara pecah, mereka melarikan diri.

Matilda, si narrator, bercerita bahwa ayahnya juga sempat bekerja di pertambangan dan sangat dekat dengan orang-orang yang bermana ala-ala German (orang kulit putih aka bule.) Kedekatanya dengan orang tersebutlah yang membawa ayahnya ke Australia. Rencananya Matilda dan Ibunya, Dolores, akan menyusul. Namun, sebelum mereka sempat menyusul pemblokade-an pun berlangsung. Akhirnya Matilda dan ibunya terperangkap di kota Bougainville yang sedang konflik.  


courtesy of oztypewriter
Dalam kondisi konflik, dimana kepastian tidak pernah ada, orang-orang di kota Bougainville masih menaruh harapan atas masa depan anak-anaknya. Sekolah mereka sudah lama ditutup karena guru mereka pergi entah kemana. Namun mulai hari sekolah akan kembali dimulai, dan yang menjadi gurunya adalah Mr. Watts, seorang kulit putih yang penuh misteri. Bahkan orang sekampung lebih sering mengolok-olok dia karena pelakuannya yang aneh. Dalam waktu-waktu tertentu dia suka menggiring istrinya dalam gerobak dan memakai hidung merah ala badut.
Awalnya orang sekampung tidak yakin Mr. Watts punya kapasitas untuk mengajar. Namun, waktu akhirnya menjawab. Tidak hanya Mr. Watts mampu mengajar, namun juga merubah hidup anak-anak ini selamanya. Terutama si narrator, Matilda.

Sejak awal mengajar, Mr. Watts mengaku bahwa dia tidak mengerti banyak hal dan dia bukanlah seorang guru beneran. Namun dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengajar. Karena dia satu-satunya guru disana, dia harus meng-handle banyak hal. Dan dia sangat kewalahan dalam melakukan itu. Namun ada satu hal yang dia sangat ahli, dia sangat ahli dalam pelajaran tentang Charles Dickens. Atau lebih pastinya, novel karya Charles Dickens yang berjudul “Great Expectation”. Rencananya Mr. Watts akan membaca satu bab dari novel tersebut perharinya. Dan, anak-anak Bougainville terlihat menyukainya. Kondisi Bougainville yang tidak punya akses ke listrik saat itu, karena si pemberontak telah memutuskan akses mereka ke bensin, membuat masyarakat Bougainville harus rela berada dalam kegelapan setiap malamnya. Dan yang menjadi hiburan bagi anak-anak Bougainville adalah imaginasinya. Setiap malam mereka menghabiskan waktu berimaginasi tentang kelanjutan cerita hidup karakter yang bermana Pip. Dan disinilah ketika bisa mempelajari korelasi antara judul “Mister Pip” dan keseluruhan cerita.

Ada banyak permasalah muncul dari buku yang di pakai Mr. Watts dan kepercayaan masyarakat kota Bougainville. Ibu Matilda, Dolores, adalah wanita yang sangat religius. Ketika menemui bahwa anaknya telah dihasut oleh sebuah buku fiksi, dia sangat marah. Sering kali Dolores datang kesekolah dan meng-interupsi sesi bercerita mereka dan memulai beceramah. Nantinya sisi fundamentalisme Dolores akan berakibat negatif pada kehidupan masyarakat Bougainville.

Singkat cerita kondisi kota Bougainville tidak lagi kondusif. Si pemberontak dan pihak militar mulai datang silih berganti. Ketika pihak military atau redskin datang dan mendeteksi adanya tulisan Mister Pip, mereka mengira bahwa dia adalah nama seseorang dari kampong itu. Ketika Mr. Watts mencoba menjelaskan bahwa itu adalah karakter didalam sebuah novel, dia gagal membuktikannya karena novel miliknya hilang dari tempatnya. Ternyata ibu Matilda telah mengambilnya dan menyimpannya dirumahnya. Akibatnya beberapa rumah dibakar oleh pihak redskin.

Selanjutnya pihak pemberontak yang datang. Namun dalam novel ini alih-alih melihat sisi gelap para pemberontak, kita malah melihat sisi manusiawinya. Tidak pernah ada tindakan kasar yang mereka lakukan kepada masyarakat. Saat si pemberontak mengintrogasi Mr. Watts, Mr. Watts berhasil meyakinkan mereka untuk becerita secara berkala tentang kehidupannya. Jadi setiap malam mereka berkumpul disatu tempat dan mendengarkan cerita hidup si Mr. Watts. Bagaimana dia sampai hidup di Bougainville dan menikah dengan Grace, istrinya yang menderita penyakit mental.

Ketika semua ini sudah berjalan lancar, malah pihak militer datang dan menangkap para pemberontak yang membaur dengan masyarakat. Akibatnya masyarakat juga berada dalam masalah besar. Ketika pihak militer mengintrogasi dan menanyai siapa Mister Pip, salah satu dari pihak pemberontak menujuk tangan kepada Mr. Watts. Kebetulan Mr. Watts mengaku sebagai Mister Pip ketika berkenalan dengan si pemberontak.  Akibatnya, hari itu berakhir dengan beberapa pembunuhan. Salah satunya adalah pembunuhan Mr. Watts. Ada bagian yang sangat vulgar dan grafik dalam novel ini. Salah satunya adalah ketika Mr. Watts dibunuh, mayatnya di mutilasi dan dijadikan pakan babi. Dibagian ini pembaca juga bisa melihat sisi baik ibu Matilda, Dolores. Ketika para pemberontak membunuh Mr. Watts, Dolores berbicara bahwa dia akan menjadi saksi dihadapan tuhan kelak. Ucapannya membuat dirinya berada dalam posisi rumit. Pihak militer menembak dikaki. Dan ini juga berujung pada percobaan pemerkosaan Matilda. Dolores tidak membiarkan ini. Sebagai ganti dia menaruh nyawanya. Lagi lagi, Dolores dibunuh dan dimutilasi. Mayatnya dijadikan pakan babi.

Bagian ini adalah bagian paling emosional bagi saya pribadi. Membayang kekejian dilakukan oleh pihak militer dalam novel ini membuat saya murka. Dan beberapa kalia saya malah menitiskan air mata.

Setelah beberepa pembunuhan terjadi, akhirnya pihak militer meninggalkan desa tersebut. Kini masyarakat sangat berkabung. Mereka memutuskan untuk membunuh babi yang memakan mayat saudara mereka. Dan menguburnya.

Bagi Matilda pribadi, hidup sudah tidak ada maknanya lagi. 3 terpenting dalam hidupnya telah hangus: novel “Great Expectation”, Mr. Watts, dan Ibunya.

Tiba-tiba hujan lebat turun dan berujung pada banjir besar. Pada pristiwa ini Matilda sudah tidak tau lagi apakah dia harus bertahan hidup atau menyerah saja. Namun keajaiban muncul, sebuah batang kayu menyelamatkannya. Dia menamai batang kayu itu Mr. Jagger, dari karakter dalam Great Expectation yang menurut Matilda adalah seorang penolong (savior). Selanjutnya tiga orang dalam perahu muncul dan menyelamatkannya. Kita Matilda bangun dia menemui dirinya didalam rumah sakit, artinya dia telah terselamatkan dan berhasil melarikan diri dari kota Bougainville. Selanjutnya dia terbang ke Australia dan bersekolah disana.
Sebenarnya ceritanya sudah selesai disini. Namun ada beberapa cerita yang juga sangat berkesinambungan dengan keseruhan cerita. Seperti, cerita bagaimana akhirnya Matilda bisa menjadi seorang Dickens expert. Ketika kuliah di Queensland University dia menulis tesis mengenai Dickens. Sebagai pembaca kita sadar relasi antara Matilda dan Charles Dickens, karena kita mengikuti seluruh cerita hidupnya. Namun bagian ini berfungsi sebagai penekanan (emphasis) bagaimana pentingnya novel dan story-telling dalam kehidupan yang dilalui para karakter. Bahkan novel ini membuat pembaca merasa bahwa karakter Pip dalam novel “Great Expectation” lah yang telah membantu Matilda melewati segala kekejaman hidup yang dia lewati. Matilda sering membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupa yang dilalui Pip. Pip adalah teman imaginasi bagi Matilda. Bukan, Pip adalah penolong, seorang hero, yang membantu Matilda untuk tetap bertahan hidup.

Dibagian akhir novel, Matilda mencoba mengunjungi orang-orang terpenting di masa lalunya seperti rumah Mr. Watts di Slandia Baru. Disana Matilda bertemu dengan mantan istrinya. Ternyata Mr. Watts sempat menikah dengan orang kulit putih sebelum akhirya menikah dengan Grace, orang kulit hitam asal Bougainville yang dulu mengenyam pendidikan di Slandia Baru. Dan mempelajari penyebab Grace mengindap penyakit mental. Menurut cerita versi Mr. Watts, Grace bigitu karena anak mereka yang meninggal saat masih kecil karena sakit. Namun, menurut istri pertama Mr. Watts, Grace begitu karena dia tidak bisa membedakan yang mana yang realita dan yang mana imaginasi. Disini kita akhirnya tau kenapa Mr. Watts memakai hidung badut merah itu. Ternyata, Mr. Watts sempat ikut dalam produksi drama yang berjudul Queen of Sheba. Sheba dulunya adalah nama Grace. Dan pergantian nama adalah salah satu diskusi yang adalah dalam novel ini. Ketika Matilda mempertanyakan keputusan Pip untuk menukar namanya ketika pindah ke London, Mr. Watts menjelaskan bahwa terkadang mengganti nama memang sangat penting. Karena pergantian nama bermaksud untuk memulai hidup baru.

Novel ini berakhir dengan Matilda yang saat itu sedang berada di Inggris. Matilda mengunjungi semua tempat yang berhubungan dengan kehidupan Dickens. Hal ini dilakukan demi menyelasaikan tesisnya. Matilda kesulitan menulis tesisnya. Namun baginya menulis tesis tentang Dickens lebih mudah dari pada mempelajari hidup hero-nya Mr. Watts. Novel berakhir dengan kata-kata Matilda sendiri yang merefleksi tentang Dickens versi-nya sendiri. Bagi Matilda Dickens versinya adalah Mr. Watts.
“….my Mr. Dickens had taught every one of us kids that our voice was special, and we should remember this whenever we used it, and remember that whatever else happened to us in our lives our voice could never be taken away from us.” (Jones, 268)

Akhir kata, sebagai pembaca saya sangat menikmati buku ini. Awalnya saya hanya melihat bab pertama untuk tugas sekolah. Namun setelah memulai novel ini saya tidak bisa berhenti. Deskripsinya yang sangat mudah dimengerti dan temanya yang sangat menyentuh membuat saya terpancing. Hal lain yang membuat saya sangat menikmati buku ini adalah pengalaman pribadi saya tentang perang saudara. Ketika saya masih kecil, Aceh sempat menjadi daerah operasi militer (DOM). Meskipun memori saya tentang perang saudara di Aceh tidak begitu kuat karena saya masih berumur kurang dari 12 tahun saat itu, tapi saya masih ingat hal-hal kecil seperti ketika orang tua saya mengumpulkan semua baju, piring dan barang-barang berharga lainnya dan dikuburkan didalam tanah. Hal ini dilakukan agar ketika, seandainya, rumah kami terbakar, kami masih punya peralatan-peralatan penting untuk bertahan hidup. Hal lain yang saya masih ingat adalah kebakaran dimalam hari. Waktu itu saya sangat antusias dan senang melihat api itu. Mungkin pikiran saya sebagai anak kecil waktu itu, api besar di mana-mana itu sama seperti yang dirasakan anak-anak kecil ketika melihat kembang api. Namun ketika menyadari itu hari ini, saya memikirkan betapa konyolnya saya. Kami juga tidur dilantai. Tidak ada yang berani tidur di atas tempat tidur, karena logika orangtua kami mengantisipasi peluru yang kesasar. Jadi ketika membaca buku ini, semua memori masa kecil saya kembali hidup. Dan saya sangat bersimpati dengan karakter-karakter dalam novel ini.

Saya sangat merekomendasikan kalian semua untuk membaca buku ini. 
Empat bintang dari saya: ⭐⭐⭐⭐