Youth Action Forum 2018

60 Peserta YAP 2018 Bersama Kang Yoto
Pada tanggal 28 sampai dengan tanggal 31 Oktober yang lalu saya berkesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan Youth Action Forum batch 2018 yang diselenggarakan oleh United in Diversity sebagai salah satu SDSN Networks untuk Indonesia dan juga merupakan regional skretariat SDSN untuk Asia Tenggara.  Apa itu SDSN? SDSN atau Sustainable Development Solution Networks adalah sebuah inisiatif yang dibentuk oleh Skretaris Jendral Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam rangka mengimplementasikan Sustainable Development Goals dan Paris Climate Agreement.

Dipercayai bahwa dalam pengimplemtasian SDGs dan Paris Climate Agreement, ada tiga komponen masyarakat yang harus bekerja sama yaitu Pekerja Publik atau Pemerintah, Penggiat Bisnis / Bisnis Sosial dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Karenanya, dalam acara Youth Action Forum ini, setiap peserta yang hadir adalah permawakilan dari ketiga komponen tersebut. 

Pemberian Souvenir Kepada Ibu Tri Mumpuni
Saya kebetulan hadir mewakili organisasi yang berbasis di Kabupaten Bener Meriah, Aceh yang kami beri nama Education Forum (FCA). Organisasi ini dibentuk atas inisiatif sekumpulan akademisi dan profesional muda yang berasal dari Kabupaten Bener Meriah yang kemudian memiliki kesempatan untuk belajar maupun bekerja di kota-kota besar di Indonesia maupun luar negeri seperti Banda Aceh, Medan, Bandung, Jogja, Thailand, Turki dan Australia. Pembentukan organisasi ini bermaksud untuk memberikan sumbangsih terhadap kota dimana kami lahir dan tumbuh besar dengan cara memberikan capacity bulding terhadap sumber daya manusia-nya. Kami memusatkan kegiatan kami dibidang Pendidikan dengan alasan bahwa, walaupun presentase penduduk Bener Meriah yang melanjutkan sekolah hingga Sekolah Menengah Atas ataupun Sekolah Tinggi sudah banyak, tetapi jarang sekali yang memiliki mental berkompetisi yang tinggi. Oleh karena itu, kami berniat untuk meningkatkan kapasitas diri SDM di Bener Meriah terutama anak-anak yang sedang berada di bangku Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

Dalam perjalanan Education Forum, tentu banyak sekali mimpi yang tidak sejalan dengan ouput, salah satu penyebabnya adalah logistik. Mayoritas pengurus FCA berdomisili di tempat yang berbeda-beda, sehingga realisasi kegiatan cukup sulit dipenuhi. Namun kami tetap optimis dalam menjalankan misi kami. Salah satu cara yang kami anggap mampu menjembatani pemasalahan logistik ini adalah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Karenanya kami membuat website dimana kami tetap bisa berbagi informasi dengan anak-anak muda yang ada di Kabupaten Bener Meriah. Selain itu, kami juga mencoba untuk terus mengembangkan kapastis berorganisasi kami, salah satunya adalah dengan mengirimkan wakil kami di Youth Action Forum ini.

Acara Youth Action Forum 2018 berlangsung selama 4 hari yang umumnya membahas tentang pengimplemetasian SDGs dimana United In Diversity percaya mampu meningkatkan standar kebahagiaan hidup. Bagi UID, ada tiga tingkatan piramida SDGs: Pertama, dibagian bawah piramida ada hubungan antar manusia, dilevel kedua piramida ada hubungan manusia dengan alam, dan dibagian puncak piramida adalah hubungan manusia dengan spiritualismenya. Dipercayai bahwa kebahagian hidup dapat dirasakan ketika ketiga komponen ini menjalankan fungsi masing-masing dengan baik. Sejatinya konsep ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang ada disetiap agama. Di Islam, misalkan, ada ayat habluminannas wa habluminaAllah, didalam agama Hindu ada Tri Hita Karana dan lain sebagainya.


Lalu untuk menjalankan piramida tersebut dibutuhkan pernah ketiga komponen masyakat yang telah disebutkan sebelumnya. Namun bagaimana memastikan bahwa ketiga komponen masyarat benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik? Salah satunya adalah mengadvokasikan misi ini kepada pihak terkait.

UID sangat erat menjalankan advokasinya dengan menggunakan dua konsep yaitu Theory U oleh Otto Scharmer dan juga pengenalan terhapat Systems Thinking. UID percaya bahwa untuk memastikan setiap individu mampu menjalankan fungsinya didalam masyarakat, perlu belajar memahami diri sendiri dan cara untuk memimpin yang ramah terhadap kemaslahatan bersama yang berdasar pada pelindungan alam sekitar. Tentu saja kegiatan Youth Action Forum ini adalah salah satu usaha yang diambil untuk proaktif mengadvokasikan misi ini.

Selama 4 hari Youth Action Forum di-design sedemikian rupa untuk memenuhi target yang telah dibuat. Berikut adalah susunan acara selama 4 hari tersebut.

Hari 1:     - Learning Journey Overview
    - How is World Today and in the Future (Ibu Mari Elka Pangestu)
    - Crystallizing Insights on the Current Challenges and Opportunity
    - Leadership Challenges in the 21st Century
    - Youth Perspectives and Actions (Goris Mustaqim, Alwin Aditya, Alissa Wahid, Ayu            Kartika Dewi, Azelea Ayuningtyas)

Hari 2:     - Mindfulness and check in
    - Inspirational Session (Mantan Bupati Brojonegoro Sutoyo)
    - Leading in the 21st Century Complexity
    - 20 Minutes Dance
    - Social Presencing Theatre
    - The Power of Intention
    - Mindfulness and Check in

Hari 3:   - Inspirational Session (Ibu Tri Mumpuni dan Bapak Inskandar Kuntoadji)
    - Innovator's Compass
    - Everyday Creativity

Hari 4:    - Mindfulness and Check in
    - Socialpreneur for Sustainable Development (Bang Jalal dan Bang Silverius Oscar            Unggul)
    - Crystallizing Prototyping Ideas
    - Inspirational Session with Pak Eko Putro Sandjojo
    - Cultural Night

Seperti yang bisa diamati, kegiatan ini memang disusun sedemikian rupa untuk mendalami konsep SDGs yang sangat umum dibicarakan namun jarang sekali kita bisa memahami secara mendalam. Terkadang pemaparan konsep berdasarkan textbook juga tidak banyak membantu. Oleh karenanya didalam workshop ini peserta bukan hanya dibekali dengan konsep yang disampaikan oleh para mentor hebat seperti Kak Shobi Lawalata, Ibu Cokorda Dewi, Bang Isra dan lain-lain, tetapi juga dilengkapi dengan contoh nyata dari para penggiat aktif SDGs.

Azelya Ayunigtyas, Ayu Kartika Dewi, Alissa Wahid, Alwin Aditya dan Goris Mustaqim.
Dari sisi LSM ada Alwin Aditya, Goris Mustaqim, Alissa Wahid, Ayu Kartika Dewi yang bergerak dibidang yang berbeda-beda. Alwin Aditya mewakili Aparatur Muda Indonesia mengungkapkan bahwa, beliau dan teman-teman aparatur muda membentuk komunitas ini dengan niat untuk membangkitkan semangat aparatur muda untuk proaktif dalam menjalankan tugas mereka didalam badan-badan pemerintahan. Begitu juga dengan Goris Mustaqim yang mewakili Yayasan Asgar Muda mengungkapkan bahwa yayasan ini dibentuk karena dasar rasa prihatin terhadap kondisi sosial di masyarakat. Yayasan ini bertekad untuk membantu memberdayakan masyarakat kurang beruntung dengan cara-cara yang baik. Berbeda dengan Ayu Kartika Dewi dengan Sabang Merauke-nya, beliau membentuk lembaga ini sebagai usaha untuk memerangi polarisasi dan intoleransi yang semakin marak di Indonesia. Dengan program Pertukaran Pelajarnya, Mba Ayu mencoba untuk meningkatkan dialog antar suku dan agama sehingga harapannya prasangka terhadap suku atau agama yang berbeda bisa lebih diminimalisir. Ketika saya bertanya apakah ada oposisi dari pihak orangtua, beliau menjawab, "tentu saja ada." Namun beliau sangat bangga dengan angka partisipasi kegiatan Pertukaran Pelajar yang digarapnya. Selanjutnya, Wahid Institute, sebagai lembaga yang mewakili salah satu organisasi agama paling besar di Indonesia, mencoba merangkul isu-isu sosial yang berkembang di masyarakat. Mba Alissa Wahid mengaku saat ini salah satu konsentrasi beliau adalah pendidikan pranikah bekerja sama dengan Kementrian Agama. Program ini dibentuk untuk meminimalisir terjadi perceraian dimasyarakat yang dipercayai menjadi akar dari permasalahan-permasalahan lainnya. Selain program Pendidikan Pra-nikah ini, Wahid Institute juga membantuk komunitasnya berdasarkan dinamika yang ada didalam masyarakat, mulai dari isu intoleransi, ekonomi dan juga keagamaan.

Selain Perwakilan dari LSM, peserta juga diberikan pembelajaran mengenai Bisnis Sosial. Adalah sebuah pengetahuan umum bahwa perekonomian dunia dikuasai oleh segelintir orang atau perusahaan saja. Ini terjadi karena bisnis model yang umum dipelajari adalah menghasilkan untung sebesar-besarnya dengan menekan cost seminim mungkin. Cara berpikir ini yang saat ini sedang dirubah dengan kosep bisnis sosial. Berbeda dengan bisnis pada umumnya yang menganut sistem kapitalisme (mementingkan keuntungan sendiri), bisnis sosial menggunakan bisnis model yang mengukur keberhasilan dari seberapa banyak masyarakat yang terbantu dari bisnis tersebut dan seminim apa kerusakan terhadap alam yang disebabkan oleh bisnis tersebut. Bahkan bila memungkinkan, bisnis tersebut harus membantu mengkombat permasalahan kesusakan alam yang sudah terjadi. Bisnis model seperti ini mungkin sangat sulit untuk dimengerti, namun buktinya ada saja orang-orang yang menggelutinya. Ambil Bang Silverius Oscar Unggul, misalnya, dengan bisnisnya Telapak, beliau mengajak masyarakat petani untuk melakukan bisnis kayu tanpa merusak alam. Dalam penebangan satu pohon, petani diwajibkan untuk menanam 10 pohon pengganti. Selain itu, kayu yang dihasilkan harus memiliki sertifikat bahwa kayu tersebut tidak diperoleh dengan cara merusak alam. Beruntunglah, ternyata negara-negara di Eropa sudah mulai menerapkan kebijakan bahwa mereka hanya menerima kayu yang bersertifikat. Akhirnya masyarakat yang tadinya melakukan penebangan pohon secara illegal dengan dibayar murah, kini dirangkul oleh Telapak. Ditambah lagi, karena Telapak adalah satu-satunya perusahaan yang bersertifikat di Indonesia, petani akhirnya mendapatkan penghasilan dan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Contoh lain lagi, Azelya Ayuningtyas, dengan bisnisnya du'Anyam, membangun bisnis ini dengan dasar ingin memberdayakan perempuan di Timur Indonesia dengan kemampuan yang sudah mereka punya, menganyam. Dengan bantuan Ayuningtyas dan tim, perempuan di Timur yang awalnya bergantung dari penghasilan suami, kini bisa membantu perekonomian keluarga dengan keterampilan menganyam mereka. Dan yang paling mengagumkan adalah Ibu Tri Mumpuni dan suami Pak Iskandar, membuat pembangkit listrik tenaga hidro di daerah-daerah terpencil tanpa ada implikasi untuk mengambil untung sama sekali. Mereka mejalankan bisnis sosial mereka murni atas dasar hati nurani. Selama sesi, Buk Tri dan Pak Iskandar berulangkali mengajarkan kamir terhadap konsep niat. Ketika melakukan pekerjaan hanya mengandalakan akal, kata beliau, maka yang akan dihasilkan adalah uang semata. Namun ketika bekerja didasari oleh hati dan pikiran, maka yang dihasilkan adalah cinta dan kemaslahatan sesama.

Bisnis model yang digunakan oleh para penggiat bisnis sosial ini memiliki kemiripan dengan cara kerja yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sukses di Indonesia. Kang Suyoto, misalnya, sebagai Bupati Kabupaten Bojonegoro periode 2008 - 2018, beliau menggunakan sistem kepemimpinan yang disebut sebagai open government, dimana kebijakan beliau dibuat berdasarkan laporan dan keluhan publik. Untuk menjalankan sistem kepemimpinan ini beliau mengadakan pertemuan setiap hari Jumat untuk mendengarkan keluhan publik. Salah satu kesuksesan beliau selama menjadi Bupati Bojonegoro adalah mentranspormasi jalan yang selalu rusak karena kontur tanah dan kondisi alam yang tidak stabil. Setelah melakukan studi, akhirnya Kang Yoto merubah jalan yang awalnya berbentuk aspal menjadi jalan yang memakai bahan paving block. Hal ini terbukti lebih efektif dan lebih ekonomis karena jika kondisi tanah berubah, paving block tidak ikut rusak.

Begitu juga dengan Pak Eko Putro Sandjojo, sebagai Mentri Desa, beliau merubah konsep pembangunan yang awalnya bergerak dari kota ke desa. Kini dengan program Dana Desa, Indonesia ingin merubah mentalitas ini, sekarang pembangunan di desa harus dikedepankan sehingga urbanisasi bisa diminimalisir. Tugas selanjutnya adalah memberikan pelatihan kepara aparatur desa agar dana yang diberikan dapat dimaksimalkan untuk membangun perekonomian dan infrastruktur dikawasan pedesaan.

Dengan semua pengenggerak-penggerak diatas, akan menjadi sebuah understatement jika saya mengatakan bahwa program Youth Action Forum ini adalah program yang luar biasa. Kami sebagai peserta belajar secara mendalam tentang konsep SDGs dan cara realistis untuk memulainya, sadar bahwa konsep hanya akan menjadi konsep ketika diambil dari textbook, kami juga diberikan contoh nyata penggiat SDGs seperti yang sudah saya paparkan diatas. Terakhir, program ini bukan hanya program kepempinian 4 hari saja dan selesai. UID sudah menyiapkan program lanjutan untuk memastikan bahwa pembelajaran ini sustains dengan menantang para peserta untuk membuat program pembangunan masyarakat. Untuk 3 program yang terpilih, UID akan memberikan dana sebesar 25 juta untuk masing-masing kelompok terpilih. Dana ini nantinya akan digunakan untuk membantu perealisasian kegiatan. Akhir kata, saya sangat merekomendasikan teman-teman yang aktif di organisasi untuk mengikut Youth Action Forum selanjutnya.

0 comments: