Courtly Love di abad ke 21

Courtesy of elainestirling



Akhir-akhir ini saya tiba-tiba teringat dengan Courtly Love, salah satu topik di mata kuliah Medieval Thought and Literature waktu S1. Penyebabnya, tentu, rumitnya menjalin hubungan pertemanan antara lawan jenis seiring dengan bertambahnya usia. Dulu, pada saat masih remaja, dekat dengan teman peremuan terlepas dari pressure tertentu. Bahkan kalaupun terjadi sebuah chemistry, masih dianggap sebagai sebuah hubungan yang innocence. Jadi, sekali lagi, belum ada pressure


Fenomena ini sangat berbeda di kalangan usia dewasa atau kelompok umur yang dianggap masyarakat sudah layak untuk berumah tangga (umur 25 sampai 30an). Orang-orang, terutama kaum perempuan, tidak lagi hanya sekedar mencari teman mengobrol. Tetapi kandidat calon pasangan. Alhasil, mengajak seorang teman perempuan terikat dalam sebuah diskusi yang berstimulasi (a stimulating conversation) menjadi sebuah hal yang menakutkan. Takut disalah artikan.   


 

Di abad pertengahan (middle ages) lahir sebuah fenomena sosial yang disebut Courtly Love di kalangan aristokrat. Fenomena ini membedakan antara pernikahan dan cinta. Para aristokrat biasanya menikah karena pertimbangan ekonomi dan strata sosial. Karenanya cinta sering absen. Dalam hal inilah, Courtly Love hadir untuk memastikan bahwa cinta masih bisa didapatkan. Akan tetapi, there is a catch. Courtly Love adalah sebuah hubungan yang platonik, tidak melibatkan hubungan fisik. Hubungan fisik hanya terjadi antara seorang istri dan suami. 


Sebaliknya, orang yang terlibat dalam Courtly Love, Seorang kekasih (lover), adalah orang yang benar-benar dicintai. Hanya saja , aturan dari Courtly Love hanya membolehkan kedua individu yang terlibat untuk berdansa, tertawa dan menikmati waktu bersama. 


Lalu apa kaitannya dengan cerita diawal? Menurut saya Courtly Love ini adalah sebuah konsep yang menarik. Hanya saja saya ingin menawarkan sebuah proposal baru. Bagaimana kalau kita membuat sebuah Courtly Love dengan konsep baru yang lebih cocok untuk abad ke 21. 


Dengarkan! Courtly Love di abad ke 21. Dua individu, laki-laki dan perempuan, terikat dalam diskusi-diskusi yang berstimulasi tentang perpolitikan dunia, sastra, dunia psikologi, musik dan film tanpa membebankan satu sama lain tentang ujung dari hubungan itu. Keduanya menjaga hubungan itu murni hanya karena menikmati percakapan yang terlibat anatara keduanya. Terdengar asik?


Seperti tersambat petir, saya yang tiga hari yang lalu telah menulis sebuah draft untuk tulisan ini dalam bahasa inggris, tiba-tiba menemukan film dengan judul THE MIRROR HAS TWO FACES siang tadi. 


Topik yang diangkat film ini persis sama dengan apa yang saya pikirkan akhir-akhir ini. Perbedaanya tokoh lelaki dalam film ini, seorang professor matematika di Columbia University, menganggap bahwa seks adalah sebuah penghalang untuk mendapatkan hubungan intelektual. Alhasil dia mencari pasangan yang murni berdasarkan pada intelektualitas semata. Tanpa seks sama sekali. 


Dia menemukan perempuan idamannya. Hanya saja, istrinya, seorang professor sastra di institusi yang sama, menginginkan lebih. Dia ingin sebuah hubungan yang juga melibatkan hubungan fisik dan komplikasi-komplikasi hubungan lainnya. Terjadilah konflik. 


Saya tidak mengatakan bahwa saya sepaham dengan tokoh lelaki dalam film ini. Tentu tidak. Saya percaya bahwa sebuah hubungan harus melibatkan soul (you are attracted to one another), body (hubungan fisik) and mind (level intelektual yang sama). Konsern saya hanya pada pressure yang ada dalam sebuah pertemanan antara lawan jenis diumur saya saat ini. Kenapa harus menciptakan pressure itu? Menemukan teman yang memiliki level intelektual dan kalau ngoborl nyambung saja sudah sulit. Kenapa harus mem-pressure satu sama lain dengan pemikiran "pernikahan". 


Mungkin saya defensive saja sih. Karena saya belum berpikir untuk menikah. Who knows? Mungkin saja pemikiran saya berubah seperti profesor laki-laki itu diakhir film.




Draft awal. Dibuang sayang. 

In the middle ages, love and marriage were two different things. You could get married without the presence of love.  Especially among the nobles, marriage were often arranged. In the absence of love, came a new social convention called COURTLY LOVE. 


COURTLY LOVE happpened between two individuals who shared the same affection. However, there was a rule. The lovers were not allowed to consumate their love. It was considered a breach to the rule if they ended up having physical relationship. In other words, COURTLY LOVE is purely a platonic relationship. 


The most famous example of COURTLY LOVE is a love story between Lancelot and Guinevere in the King Arthur story. 




Of course, everything about COURTLY LOVE is wrong. It normalises loveless marriage and that marriage is a contractual procedure. 


Meanwhile, in the 21st century, a lot has changed. In the Western world, in particular, marriage is no longer a prerequisite. People can live under the same roof and perform a marital act without marriage certificate.


That's not the case with the East. While they have embraced some form of liberalism, many still hold on to the old view of marriage. 


0 comments: