Courtesy of http://gutenberg.net.au
Blake's "The Little Black Boy" is a poem about a little boy who has just received an important lesson about life from his lovely mother. His mother tells the little boy that world is just a temporary thing deliberately created by God to test human's faith "And we are put on earth a little space / that we may learn to bear the beam of love". Once human beings pass the test "For when our souls have learnt the heat to bear," continues the mother, God will gather them in His "… golden tent like lambs rejoice." Golden tent here is probably metaphor for heaven. To be a good child the little black boy was, he then spread this seemingly wise message to his surrounding namely to the little English white boy.

This is probably the first impression one might get when he or she read Blake's "The Little Black Boy." But since I intend to analyze this poem through poststructuralist lens or the applied form of poststructuralism: deconstruction, it has to be different. What poststructuralist critics do to the texts is: 1. they list the binary opposition and contradict its conventional purpose; 2. they try to look deeper at the metaphor used in poem and reveal its intended and unintended meaning; 3. they try to find ambiguous sentence or phrase or even word. Taking these three steps as guide I will try to do the deconstructive reading of "The Little Black Boy."

As I said in the first paragraph that at first glance this poem might sound like a religious poem, but when we look deeper we will find another shocking discovery to the extent that this poem might also sound like it produces a racist connotation. It can be understood through the binaries presented in the poem such as white/black, light/shade, English (Europe)/ the southern wild (Africa). Throughout the poem we can get the implication that white/light/English are being privileged "White as angel is the English Child" over black/shade/Africa "But I am black as if the bereav'd of light". Contrary to its predecessors who believe that text should be analyzed in isolation, poststructuralist believe that reality itself is text. Thus we can connect the mentality being implied in this poem as the reason used by European colonizers to colonize their countries like Africa.


"And these black bodies and this sun-burnt face/
Is but a cloud, and like a shady grove

The cloud will vanish we shall hear his voice"

The attempt to make white/light/English as the privilege ones continue throughout the poem such as in the lines above when it seems to say that when people die and go to heaven, they all are going to have white skin ". Thus it implies that white is the color of heaven. Cloud is used to create an image of how having black skin and sun-burnt face are just temporary thing, just like the cloud that comes and disappears anytime.

As for the mother who at first glance seems to look like a good, loving and caring mother, when looked through poststructuralist lens can be the opposite. Earlier I try to prove that this poem is so far away from delivering religious message. Therefore by being consistent to that note, I would also like it to be applied to mother. Consequently, instead of giving religious message, the mother does the opposite. She, through her seemingly religious lesson, makes the son adore the color of white instead of the color that he is more related to. In addition, this message also has made the son unappreciative toward the physical appearance God has given to him. Hence it answers the reason why the little black boy shares the massage to the English boy, because he is desperate to be liked. So the little boy is under the impression that if he can convince the white boy that in the heaven they are all gonna be the same "And be like him" he will treat him better "..and he will the love me."

But then again we have to also consider the reason why the mother have that thoughts? Perhaps, since religion is sometime brought to one country by the colonizers, perhaps that message the mother have is taught to her by the priest who has been professionally trained by the colonizers to brainwash them. The message is perhaps part of propaganda deliberately shared to the people so that the colonized society would think of its colonizers in a positive way.

In conclusion, Blake's "The Little Black Boy," is a very intense poem that is open to many interpretation depending on which lens one prefers to use while looking at it. As for me, I think poststructuralism or Derrida's deconstruction is the perfect lens to put on my eyes in order to see the very things this poem offers. It can be looked up by examining the binaries, the metaphors, and the ambiguous words.

courtesy of https://akubunda.wordpress.com/2012/01/24/tentang-gugur/
Satu hal yang Hari sangat benci - Hari benci ketika digantung dan dihianati. Bagi Hari janji tetaplah janji. Dan itu harus ditepati. Namun ketika ada satu hal lain yang membuat janji itu terancam batal, Hari tetap saja tidak bisa di ajak kompromi. Dia akan secara otomatis kesal dan mendumel.

Saat itu sudah memasuki bulan Maret. Sebuah hukum perjalanan bahwa untuk mendapatkan tiket pesawat yang murah meriah, tiket harus dibeli beberapa bulan lebih awal. Hari, yang sejak awal tahun 2016 telah membayangkan hari kepulangannya, sudah sangat siap menghadapi hari-hari pembelian tiket. "Ini saatnya nih mengabari Bapak," ujar Hari. Dan hari pun menelpon Bapak mengabari hukup perjalanan yang ia pelajari dari pengalamannya melakukan perjalanan selama empat tahun terakhir ini.

Namun nihil, bapak memberikan nada-nada yang tidak meyakinkan. Apakah ini pertanda bahwa kepulangan kali ini juga akan gagal? Hari langsung berfikir negatif. Dan dia pun mengancam Bapak "kalau begitu putuskan saja pak "pulang atau tidak"? Saya tidak masalah kalau tidak pulang sama sekali. Tapi satu hal yang pasti, kalau saya tidak pulang tahun ini, saya tidak akan pulang tahun depan!  Dan satu hal lagi, saya mau keputusannya secepatnya, agar saya bisa mencari kegiatan lain untuk mengisi liburan musim panas yang akan berlangsung selama empat bulan itu."

Bapak tentu berusaha menenangkan Hari dengan mengatakan bahwa "Ia tahun ini kamu sudah pasti pulang, tapi untuk masalah biaya transportasinya kami belum bisa kirim sekarang." Lalu Hari kembali menjelaskan tentang hukum perjalanan. Dan jawaban bapak atas penjelasan itu sangat membuat Hari kesal. "Tidak apa. Sekalipun mahal yang penting kamu pulang." Jawaban itu sangat mengecewakan bagi Hari, karena dari awal permasalahan yang menyebabkan  Hari tidak bisa pulang selama empat tahun adalah masalah keuangan. Dan tiba-tiba sekarang Bapak berbicara begitu. Ini sungguh tidak logis menurut Hari. Hari menawarkan tiket pesawat promo yang harganya jauh dibawah harga normal dan Bapak malah menawarkan membeli harga biasa saja. Hari kembali berargumen "kalau kita bisa dapat harga murah, kenapa harus mengeluarkan uang banyak pak?," dengan pasrah.

Hari sangat cepat naik pitam. Kejadian seperti ini dengan cepat bisa membuat dia meluap-luap. Luapan terbesar yang bisa keluar dari kejadian seperti ini adalah ucapan seperti "ya sudah pak. Sekarang kita buat saja keputusan antara pulang atau tidak? Bagi saya cara berbicara bapak telah menunjukkan tanda-tanda bahwa kemungkinan untuk pulang tahun ini sangatlah minim. Dari pada saya berharap banyak lalu akhirnya gagal, menurut saya lebih baik kita putuskan saja." Hari menutup telepon dan berhenti menghubungi bapak selama berminggu-minggu. Bagi Hari aksi yang dia ambil sangatlah beralasan. Walaupun sebenarnya hal yang dia lakukan tidak sepenuhnya adil. Tapi Hari merasa bahwa jauh selama empat tahun dari kedua orangtuanya telah merusak psikologinya "yang saya harapkan hanyalah bertemu dengan mereka. Apakah itu salah?"

Ada alasan mengapa Bapak berlaku demikian. Ternyata ada hal lain yang sedang terjadi didalam keluarga. Kakak ketiga Hari tiba-tiba meminta izin untuk menikah. Bapak tidak melarang keputusan itu sedikitpun. Dan tidak pernah pula Bapak mendikte keputusan hidup anak-anaknya. Mulai dari masalah sekolah bahkan hingga permasalah menikah seperti ini sekalipun. Tetapi dia ingin diberikan waktu. Setidaknya hingga akhir tahun, karena anak kesayangannya akan pulang tahun ini. Ayah juga sudah tidak sabar bertemu dengan anak kesayangannya. Betapa ayah sudah menunggu hari-hari ketika Yusuf akhirnya bertemu dengan Ya'quf setelah terpisahkan sangat lama. Hari sudah menyusun secara rapih cerita apa yang ia akan sampaikan kepada ayah, tentang hari ketika ia ditenggelamkan kedalam sumur. Tentang hari ketika ia mendekam di penjara karena fitnah. Dan hari itu terancam gagal karena Randi. Betapa Hari akhirnya membayangkan bahwa Randi tak ubahnya seperti kakak-kakak lelakinya nabi Yusuf yang telah membuatnya merasakan banyak tantangan dalam hidup.

Randi sudah tidak sabar ingin menikahi wanita pujaannya. Tidak perduli hal lain yang sedang berlangsung dalam keluarga. Tiba-tiba Randi langsung melamar ke keluarga si mempelai wanita tanpa sepengetahuan keluarga. Sehingga pernikahanpun tak terelakkan. Ayah dengan terpaksa masuk kedalam panggung sandiwara yang diciptakan oleh Randi. Dan melupakan keadaan Yusuf yang sedang merindukan kebersamaan bersama keluarganya.

Diminggu-minggu saat Hari menolak menelpon Bapak, ternyata Bapak juga tidak berusaha untuk menelpon Hari. Kemungkinan besar Bapak sedang disibukkan oleh rencana pernikahan Randi. Hari semakin kesal. Karena sebenarnya keputusannya mogok nelpon hanyalah sebuah luapan kekesalan. Dalam lubuk hatinya Hari sangat ingin menelpon dan beharap kondisi sudah membaik, dan bapak sudah mengantongi uang untuk membeli tiket kepulangan Hari.

Dari saudaranya Hari mendapatkan kabar bahwa Randi jadi menikah. Beberapa pihak keluarga pergi menghantarkan Randi sebagai mempelai laki-laki ke rumah mempelai wanita. Dan mereka pun resmi dinikahkan di bulan Maret itu.

Kekesalan Hari bertambah. Pertama karena kepulangannya terancam gagal, dan kedua karena ia merasa keberadaannya terhapus dari keluarga. Kenapa dalam acara sesakral ini Hari tidak mendapatkan kabar sedikitpun. Setidaknya Hari bisa menguncapkan beberapa doa. Doa agar mereka salalu dimabukkan oleh asramara cinta, sama seperti ketika Zulaikha tergoda oleh ketampanan Yusuf.

Hari hanya bisa terdiam. Dan menunggu akhir dari semua drama ini. Dan berharap semoga April, bulan yang sengaja dipilih oleh Allah sebagai penanda musim semi, dapat menyemaikan harapannya untuk pulang ke tanah air dan bertemu dengan keluarga tercinta. Kepulangan ini bagi Hari bukan hanya sekeadar pulang, tapi jauh lebih besar dari itu. Kepulangan ini adalah untuk menyemaikan rasa kekeluargaan yang sepertinya pupus oleh empat tahun yang telah berlalu
Keluargaku di kota Adana dalam perayaan hari batik

"Empat tahun berlalu bukan tanpa ada wacana kepulangan sama sekali. Malah sebaliknya, setiap awal tahun aku dan bapak selalu berpikiran positif bahwa kami akan melewati libur musim panas bersama. Namun, sepertinya Allah selalu punya rencana lain.

Di tahun pertama, misalnya, aku tidak bisa pulang karena aku merasa bahwa aku belum sattle secara penuh baik dari segi universitas maupun ketika ditinjau dari sisi "kerasan atau tidak kerasan." Karenanya, pulang sepertinya bukanlah jawaban yang baik untuk situasiku saat itu. Seandainya saat itu aku nekad pulang, rasanya liburanku akan penuh dengan ketidaknyamanan. Aku akan menghabiskan waktuku memikirkan apa yang akan terjadi saat aku kembali ke Turki nanti. Untuk itu aku rasa keputusanku untuk tidak pulang kala itu adalah keputusan yang bijak. Bijak karena aku menemukan sisi positif ketidakpulanganku, aku menemukan keluarga baru. Adalah teman-teman Indonesia di kota Adana yang membuat ketidakpulangan terasa biasa saja.

Keluargaku di kota Izmir

Tahun kedua memberikan cerita yang berbeda kenapa aku akhirnya tidak pulang. Sepertinya waktu itu orangtuaku sedang dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil. Dalam tingkatan itu aku merasa bahwa aku tidak punya hak lagi untuk memaksa. Tak perduli bagaimana pun kerasnya keinginanku untuk pulanh, ketika memang hal yang paling terpenting dari keselurhan diskusi ini (uang) tidak ada, semuanya berubah menjadi sia-sia. Aku pun akhinya memutuskan untuk menikawati waktuku dengan keluarga keduaku - teman-teman Indonesia di Izmir. Saat itu aku sudah tidak lagi berdomisili di Adana. Aku memutuskan untuk mendaftar universitas baru dengan jurusan baru, yaitu universitas dan jurusanku saat ini, CBÜ - Bahasa dan Sastra Inggris. Kami melewati liburan musim panas bersama, tinggal bersama, masak bersama dan juga jalan-jalan. Ketika melihat kebelakang saat ini, aku merasa bahwa hari-hari itu merupakan salah satu hari yang paling indah didalam hidupku.

Tahun ketiga ketika Bapak sudah menyanggupi kepulanganku secara materi, aku yang malah tidak siap pulang. Saat itu aku sedang dihadapkan pada situasi dilematis. Disatu sisi kalau aku pulang urusan visa, dokumen erasmus dan lain-lain akan terlantar. Namun disisi lain juga, hari kepulangan yang aku tunggu kini hadir. Aku tidak tahu apakah kesempatan ini akan hadir lagi. Setelah berdiakusi dengan bapak akhirnya kami sepakat bahwa fokus ke erasmus saja dulu. Tahun berikutnya baru pulang. Setelah membuat bapak berjanji, akhirnya aku pun tekad bahwa tidak ada pulang di musim panas 2015.
Baru lah sekarang, di summer 2016, keputusan pulang itu final. Tak ada lagi kendala. Pun ada kendala, kendala itu berhasil ditepis jauh-jauh. Tak akan ku biarkan seekor nyamuk pun menghalangi kepulanganku kali ini. Aku yakin Allah sangat ikut andil dalam suksesnya rencana kepulangan ini. Tanpanya semuanya sangatlah mustahil. Terimakasih Allah"

Foto yang saya abadikan saat pertama kali mendarat di bandara Ataturk Istanbul
"Akhirnya" adalah sebuah ungkapan yang kerap digunakan sebagai penanda perasaan lega. "Akhirnya" terucap karena hal yang di tunggu-tunggu akhirnya muncul ke permukaan. "Akhirnya" hadir membawa berika gembira.

April hadir membawa berita gembira. Layaknya hari ketika Chaucer dan teman seperjalanannya bersenang-senang menyambut April untuk berkunjung ke Katedral Canterbury, Hari pun merasarakan perasaan yang sama. Ia bahagia dan berucap "akhirnya". "Akhirnya" bagi Hari adalah sebuah pencapayan. Bagaimana tidak, hampir empat tahun Hari menunggu saat-saat seperti ini, dan baru kali ini terealisasi.

Empat tahun yang lalu Hari memutuskan untuk menjadi perantau. Bagian yang ia sukai dari merantau adalah hari ketika ia kembali ke kampung halamannya. Ia merasa bahwa ada sensasi magis mucul saat hari kepulangan itu. Hari mengatakan bahwa (saya petik) ada sebuah kebahagiaan batin yang tak terjelaskan menyerbak saat hari-hari seperti itu.

Dan Hari harus kecewa menyadari bahwa bagian terfavoritnya dari kegiatan merantau ternyata tidak terlaksanakan selama empat tahun. Betapa setiap menit ia menyesali keputusannya untuk merantau. Betapa ia berharap agar ia berada di rumah saja, bersama ibu, ayah dan kakak-kakaknya. Pernah ada seorang nenek, tapi kegiatan merantau telah menjauhkan Hari dengan nenek terkasihnya. Dan ia pun menyesal untuk hal itu. Hari menyesal.

"Akhirnya," ucap Hari dengan lega "aku bisa pulang."

Satu permasalahan kembali mendominasi pikiran Hari. Ia bertanya-tanya apakah ia masih ingat perasaan magis yang ia sempat agung-agungkan. Seperti apa perasaan itu? Empat tahun telah merenggut ingatan Hari akan perasaan magis itu.

Kini Hari bersedih. Karena ia tidak tahu lagi seperti apa perasaan magis itu. Tapi Hari juga lega karena penungguannya akhirnya usai. Setelah berkontemplasi panjang, akhirnya Hari memutuskan bahwa sedih bukanlah jawaban. Ia memutuskan bahwa bahagia adalah hal yang layak hadir didalam situasi ini.
"Ia, aku harus berbahagia. Tak penting tahu atau tidak seperti apa perasaan itu lagi. Yang jelas AKU PULANG"


********

Qatar dari udara. Foto yang saya abadikan di tahun 2012, kali pertama saya berangkat menuju Turki

Dalam rangka kepulanganku ke Indonesia setelah empat tahun merantau di tanah Ottoman, Turki, aku menutuskan untuk membuat sebuah tulisan bersambung. Agar semua perasaan, agar semua yang saya lewati selama momen bahagia ini bisa terekam secara utuh dalam bentuk tulisan. Tentu dalam penulisannya saya lebih memilih menggunakan sistem penulisan yang berbeda. Daripada menulis seadanya, aku memutuskan untuk membuatnya dalam bentuk narasi. Dan juga menambah dan mengurangi detail dari setiap momen demi mempuitisasi setiap keadaan.

Untuk mengikuti kelanjutan tulisan berseri ini, silahkan klik label yang ada dibagian bawah postingan ini (Tulisan Berseri, Catatan Kepulangan)
courtesy of http://www.vocfm.co.za/
Once is a year muslims around the world are celebrating Ramadan, a month where the muslim people fast from down to sunset. That would be the very simplest definition of ramadhan. If you ask the muslims about Ramadan, they will immidiately tell you that Ramadan is so much more than just not eating and not drinking from down to sunset. It's a month of the purification of soul. Your soul will be purified by avoiding any sorts of temptation: temptation to eat, temptation to drink, sexual temptation, tempting to talk ill of others etc. This is the real meaning of Ramadan. It purifies you from your past wrong-doings.

In addition, during Ramadan the muslim also goes to the mosque at night after isya prayer, to do a special prayer called tarawih. This prayer is only conducted during the holy month of Ramadan. The rakaat differs from one place to another, some do it 23 rakaat including the witir, others do it 11 rakaat. Despite these differences they are doing it for the same purpose, they want to reconncet with their khalik (the creator).

By the end of this festivity, the people are required to pay their zakat al-fitr or the tax of the soul. The money or food (normally it is paid in a form of rice in Indonesia, but then again it is strongly advised to pay it with the primary food in the country) will then be shared to the people who are on the list of eligible people to receive this. They are the poor, the needy, the collectors of zakat, the reconciliation of heart, for freeing captives, the debtors, the fighter who fights in the way of God, and the traveler.

If anything this whole ritual tells us, it tells us how beautiful this religion is. It not only concerns to the well being of its people, but it also invites us to question what this whole thing is designed for.

Islamic teaching always advocates two things: "hablu minaAllah wa hablu minannas" to have a good relationship with the creator, and also to have a good relationship among people. The realization of this message can be clearly seen in the ritual of Ramadan, where the people are made to purify his/her self, his/her soul, to reconnect with Allah, and then it doesn't forget to help in reconnecting people. These are the message of ramadan, among other thing.

A research proves that fasting during Ramadan does not only succeed in fulfilling the message itself, but it also shows a positive effect health-wise. People who fast are likely to have improvements in blood pressure, cholesterol, insuline sensitivity and etc.

In terms of socio-economy, we can see how Islam also takes care of its people. It teaches the people to care about the other people around them by sharing a small amount of their wealth to the needy people. Yet, it is not a free thing. It is repaid with a purified version of your self and your soul. Thus, Islam shows it is not only a religion, it is a way of life. Islam teaches so much positivity, as oppose to the negative things that media often associate this beautiful thing with.

Happy Ramadan. May Allah accept all our good deeds and our duas. Ameen..



Di abad ke 21 ini, turisme adalah bagian dari era yang disebut postmodernisme. Bukan berarti bahwa di abad-abad sebelumnya turisme belum pernah dilakukan. Pernah, tapi pelakunya hanya mereka-mereka yang berkantong tebal.
Adalah OKB (Orang Kaya Baru) Amerika yang pertama kali mempopulerkan kegiatan berturisme ini. Di abad ke 20-an ekonomi Amerika tumbuh pesat. Banyak yang naik strata, dari awalnya hanya kalangan biasa, menjadi kalangan menengah ke atas. Dari sana lah ungkapan "American Dream" awalnya berasal. Hal ini bisa kita lihat di karya sastra dari abad ini misalkan "The Great Gatsby, " yang juga menggambarkan betapa masyarakat Amerika mengagung-agungkan pesan "American Dream" itu. Amerika Dream adalah sebuah idealisme atau faham bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk sukses, asalkan mereka mau bekerja keras. Fitzerald, penulis "The Great Gatsby," bukan hanya menggambarkan antusiasme faham itu, tapi juga menggambarkan betapa dangkalnya faham itu. Karena faham ini juga berpotensi untuk membutakan manusia akan arti kebahagian. Faham ini seolah mengatakan bahwa kehagiaan adalah sinonim dengan memiliki harta banyak. Tapi hal itu tidak terjadi dengan kasus Gatz, dia kaya tetapi dia tidak bahagia. Dia kaya dengan menghalalkan segala cara.

Sebenarnya cerita "The Great Gatsby" tidak ada hubungannya dengan turisme, tapi cukup bagus untuk menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Amerika di tahun 1920an. Kita bisa melihat bahwa banyak kelas-kelas baru bermunculan, seperti halnya Gatz. Nah, kalau Gatz sepertinya hanya menggunakan hartanya untuk hidup bermewah-mewahan, masyarakat Amerika lainnya menggunakan hartanya untuk bertraveling ke Eropa (Old World). Mungkin, karena sastra yang dapat menggambarkan situasi ini adalah novel-novelnya Henry James seperti "Daisy Miller," dan lain-lain.

Untuk Orang Kaya Baru (OKB) Amerika saat itu, mengunjungi Eropa adalah sebuah statement akan kelas sosial mereka. Berkunjung ke Eropa bukan semata-mata bagian dari kegiatan intelektualitas. Padahal kegiatan mereka selama di Eropa adalah mengunjungi musium, katedral dan kastil-kastil. Kedangkalan pemikiran ini lah yang kerap kali di ungkapan James di dalam novel-novel. Sehingga sempat James dianggap penghianat negara, dan novel-novelnya pun tidak lolos terbit di Amerika, melainkan di Inggris. Ironis adalah ketika James terlihat seperti mengeritik kedangkalan masyarakat Amerika yang mengunjungi Eropa hanya untuk status sosial semata, dia malah akhirnya menanggalkan kewarganegaraan Amerikanya dan menjadi warganegara Inggris.

Nah, sejak abad ke 20 kegiatan bertraveling ini sudah kerap dilakukan, tapi seperti saya katakan tapi, pelakukanya hanyalah OKB Amerika.

Lalu yang berbeda dengan abad ke 21 apa?

Nah, perbedaannya sepertinya terletak di pelaku travelingnya. Saat ini kita bisa melihat bahwa yang bertraveling bukan hanya mereka yang kaya tapi juga dilakukan oleh mereka yang hampir tidak memiliki uang. Dan namanya pun seperti dirubah, alih-alih menggunakan kata "traveling" yang sepertinya terdengar elitist, mereka memilih menggunakan kata "backpacking" sebagai kata yang mewakili kegiatan yang mereka lakukan.

Hal yang menarik tentang traveling di abad ke 21 ini adalah, ini bukan hanya sebuah kegiatan selingan, tapi bertransformasi menjadi sebuah profesi. Banyak kita lihat bermunculan yang namanya travel blogger atau travel writer. Salah satu yang terkenal di Indonesia misalkan the naked traveler. Nah, dengan begitu kita bisa melihat bahwa traveling bukan hanya sebuah kegiatan kosong, karena buktinya ada juga kok yang menghasilkan uang dengan bertraveling. Apalagi dengan majunya ICT (Information, Communication and Technology), yang secara total telah merubah gaya hidup dan persepsi masyarkat dunia. Ada yang beragumentasi bahwa orientasi masyarakat kita telah berubah dari yang awalanya status sosial di tentukan oleh keikutsertaan seseorang pada proses produksi, menjadi keikutsertaan dalam mengkonsumsi. Jadi kalau di abad ke 18 dan 19, atau bahkan ke 20, status sosial seseorang ditentukan oleh seberapa banyak ia berinvestasi pada proses produksi, sekarang di abad ke 21 ini yang mendifinisikan status sosial seseorang adalah seberapa banyak ia mengkonsumi, produk apa yang dia gunakan dan sejenisnya. Menurut saya ini juga berpengaruh pada kegiatan traveling, karena traveling identik dengan kegitan mengonsumsi. Mengapa akhirnya orang-orang berlomba-lomba bertraveling, mungkin salah satu alasannya adalah karena foto, pakaian, produk yang mereka dapat dari tempat mereka melancong dapat meningkatkan martabat mereka di kalangan sosialnya.

Tentu itu adalah sebuah analisa yang sangat sempit sekali. Para backpacker, yang kegiatannya sepertinya berbasis pada keputusan filosofis, pasti akan menolak secara keras. Mungkin backpacking adalah sebuah gerakan penolakan atas label buruk yang menimpa kegiatan bertraveling itu sendiri. Jadi dari para backpacker kita bisa melihat sebuah aksi inelektualitas dengan hadirnya buku-buku yang merekam kegitan mereka. Mereka terlihat lebih interaktif dengan masyarakat lokal sehingga kegiatab bertravelingnya masih mengandung makna tersendiri. Benjamin, salah seorang budayawan, menyebut situasi ini aura. Ia, menurut saya juga, ketian backpacking lah yang berusaha untuk memilihara keharian aura didalam kegitatan bertraveling ini. 


Marhaban ya ramadhan, selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara dan saudari muslim ku diseluruh dunia. Semoga amal ibadah kita diterima Allah SWT.

Jadi tahun ini adalah tahun keempat ku berpuasa di Turki. Walaupun begitu, setiap tahun ada saja keunikan yang membuat bulan suci ramadhan ini semakin berkesan dihati. Awal-awalnya memang terasa "asing". "Asing," dalam artian ada perasaan tidak familiar hadir menyelimuti hati. Seperti sedang berada ditempat yang sebenarnya namanya tidak asing bagi telingamu, namun situasi yang ada dilokasi menujukkan hal yang sebilaknya. Tidak memberikan tanda-tanda sama sekali bahwa kamu sudah pernah ada disana.

Empat tahun tinggal di Turki membuatku semakin memaklumi perasaan "asing" ini, dan mencoba untuk merangkulnya dengan cara menikmati setiap keanehan yang ada. Terkadang "keasingan" malah meninggalkan kesan yang tak terlupakan.

Salah satu perasaan asing yang berlanjut menjadi perasaaan kehilangan ini pada dasarnya timbul akibat adanya ekpektasi bahwa suasana ramadhan di Turki akan memiliki kesamaan dengan yang di Indonesia. Satu hal yang sangat mustahil. Setiap negara memiliki budayanya tersendiri, dan seharusnya aku sudah mewanti-wanti diriku akan hal itu.

Di Turki, saya tidak meraskan antusias ramadahan yang seharunya aku miliki. Bahkan kejadian ini sempat membuatku mempertanyakan imanku. "Kenapa aku tidak seantusias saat aku masih kecil? Apakah imanku sudah luntur?" kataku pada diri sendiri.

Bukan berarti bahwa masyarakat Turki tidak antusias dengan hadirnya ramadhan. Tentu mereka antusias. Tapi bedanya cara penyambutan ramadhan baik dari sisi media pertelivisian Turki, maupun dari festivitas mereka saat hari-hari penyambutan, membuat kami, saya pada khususnya, tidak mendapat radar antusiasme itu. Akhirnya, terjadilah koneksi sepihak. Mereka antusias (dengan caranya sendiri), kami merasa kehilangan atau keasingan.

Di Tanah Air, sebulan sebelum bulan ramadhan dimulai, kita sudah mulai merasakan euphoria-nya. Salah satu faktor yang pendukung adanya euphoria ini adalah banyaknya produk-produk baik makanan, minuman, pakaian yang berseliweuran di televisi - dengan mengangkat tema ramadhan. Selain itu ada juga program-program khusus yang disediakan untuk menyambut bulan suci ramadhan baik itu program keagamaan, maupun program yang tidak ada hubungannya dengan ramadhan sama sekali seperti program lawak dsb.

Itu dari segi media, dari segi kegiatan yang tersedia dibulan suci ramadhan, tentu juga menambah perasaan kefamiliaran itu. Misalkan adanya pasar khusus menjual penganan khas ramadhan, tarawih, tadarus dll - adalah hal yang sangat menambah faktor kehilangan dihati para perantau seperti kami. Meski disini juga ada tarawih, tapi ada saja perasaan yang berbeda. Intinya ide "rumah" juga sangat masuk akal jika dihubungkan dengan masalah ini.

Ramadhan kali ini juga tetap tidak menghadirkan euphoria yang meluap-luap didada. Tapi berhubung karena ada antusiasme lain yang mendominasi, sebut saja rencana kepulangan yang akhirnya hadir setelah empat tahun berlalu, akhirnya walaupun ramadhan akan dimulai esok hari saya tetap merasa tenang, atau bahkan tidak berekpresi sama sekali. Tidak lupa juga bahwa kami masih berada di suasana ujian akhir, jadi mungkin indera pemikiran jadi memiliki konflik perasaan, tidak tau harus antusias untuk mana dulu, ujian kah, kepulangan kah, atau ramadhan?

Tapi setelah ramadhan mulai baru lah kejadian-kejadian unik mulai mewarnai. Misalkan, hari pertama sahur aku tidak kepikiran sama sekali bahwa semua orang akan menyambut puasa pertama ini dengan antusiasme masif. Berhubung aku tinggal diasrama pemerintah Turki, aku tidak perlu menyediakan apa-apa untuk sahur, atau setidaknya itu lah yang ada dalam pikiranku. Ternyata, aku salah besar! Semua orang bangun untuk sahur. Sampai-sampai antri makanan mengular hingga lantai 2. Dan jumlah pengantri mungkin lebih dari 300 orang. Saat itu jam 2.40. Aku berusaha mengantri, berharap antrian akan cepat menyusut. Ternyata setelah menunggu sampai jam 3.00, antrian baru menyusut sedikit. Kepalaku langsung berputar. "Oh aku punya simpanan 3 paket Indomie" Aku langsung lari ke kamar dan menyeduh 2 paket Indomie di ruang belajar. Ada dua orang yang sedang belajar disana. Untunglah mereka memaklumi.

Begitulah sahur hari pertamaku. Sahur berbekalkan dua paket Indomie goreng. Dan hariku berlangsung dengan tragis. Aku terkulai, sama seperti terkulainya mie instan itu ketika di masukkan kedalam air mendidih…

Ini ceritaku, apa ceritamu



This blog compiles a life of a young Indonesian who once only dared to dream what amazing it would be like to live abroad, to be independent. But then life brings that dream into reality.

The word "abroad" does not only mean living outside of a country. For Adhari it's so much more than that. It means living away from one's parents. Yes, Adhari has been living independently since he was 12 yo. Now he is in his 20s.

It happens very systematically. Adhari started his journey by living a few kilo meters away from his parents house. But then Adhari is addicted to that feeling, the feeling of being independent. He then continued his journey to the level of province, which mean he doesn't only live away from his parent but he also needs to adapt with the new culture.

After that he planned to upgrade the level of his independence to the national level. But then God provided a better plan for him. He gets to experience the real living abroad experience. Up to now Adhari has been living in two countries apart from his own, Turkey and Romania. Adhari has traveled to several countries such as Italy (Milan), France (Lyon, Paris), the Netherlands (Amsterdam, Einhoven), Malaysia (Kuala Lumpur), and Qatar (Doha). Hence, it is not a surprise that Adhari uses this blog to record his experiences along the way.

Apart from that, this blog also displays Adhari's own interest in literary world, film, and culture in general. Hope these all inspire us all in one way or another.

Don't hesitate to comment. I will reply them as soon as I read them.

Adhari K 


Ulang tahun kali ini aku tak perlu berharap banyak. Allah telah memberiku kado di muka. Aku berdoa agar tahun ini aku bisa dipertemukan lagi dengan keluargaku, dan Allah menjawab doaku itu. Inshaa Allah setelah empat tahun terpisah dengan keluarga, di akhir bulan Juni nanti aku akan berkumpul lagi bersama mereka.

*****

Bagiku ulang tahun hanyalah momen untuk merefleksi diri. Dari angka yang bertambah kira-kira adakah sisi dari diriku yang berubah. Apakah perubahan itu condong ke hal yang lebih positif atau malah sebaliknya.


Selama 22 tahun ini hidup telah mengajari ku banyak hal dan terus mengajari ku banyak hal. Dan aku sangat bersyukur dengan segala pelajaran yang hidup dengan rela hati berikan padaku.


Di umur yang ke 22 tahun ini aku memang belum berhasil membuktikan diriku sebagai seorang yang sukses, seperti yang ada dalam persepsi masyarakat. Aku belum lulus kuliah. Aku belum mendapatkan kerja. Tapi satu hal, aku merasa bahwa aku semakin mengenal hidup. Sangat penting dalam hidup ini untuk menyadari keberadaan kita sebagai individu.


Aku sadar bahwa hidup ini penuh dengan cobaan dan aku tidak akan membiarkan cobaan hidup itu mendominasi diriku. Setiap kali ada cobaan aku akan terus mengingatkan diriku bahwa keberadaan mereka hanya sementara, yang abadi adalah keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan. Walaupun kebahagiaan itu bentuknya tidak terlihat dan teraba.


Bahagia dalam definisiku adalah mandiri secara ekonomi. Aku akan sangat bahagia sekali jika aku berhenti merepotkan orangtua ku tentang masalah keuangan. Aku akan sangat bahagia melakukan apapun selama yang aku lakukan itu murni tanpa harus mengorbankan jerih payah orang lain. Aku ingin hidup mandiri. Aku akan sangat bahagia sekali saat aku mampu membeli buku tanpa ada hambatan keuangan. Menurutku semua individu harus mendapatkan akses ke buku. Buku adalah ilmu yang sesungguhnya. Bukan institusi pendidikan!

Resolusiku untuk tahun depan: aku berharap tahun depan aku akan lulus sarjana. Dalam melanjutkan hidup paska sarjana, aku berharap agar Allah memberiku kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik lagi - baik itu berupa melanjutkan pendidikan S2 maupun bekerja.

Untuk tahun 2016 ini aku sangat bersyukur atas segala pelajaran hidup yang engkau berikan padaku ya Allah. Aku sangat bersyukur engkau masih terus berada didekatku ya Allah. Tenagkanlah batin ini, tenangkanlah pikiran ini. Tetaplah berada di dekatku ya Allah. Jangan biarkan aku tersesat dalam hidup yang penuh dengan jalan tumpu ini.

Adhari








Liputan saya mengenai acara Harika Endonezya ketiga yang publish di website PPI Turki


Tim Display dan Pameran
Dalam upaya mengenalkan Indonesia ke masyarakat Turki, Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Turki (KBRI Ankara) berkerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia wilayah Izmir (PPI Izmir) mengadakan sebuah malam kebudayan Indonesia yang bertema “Unity in Diversity” atau “Bhinneka Tunggal Ika”. Tema ini segaja dipilih karena dianggap paling mampu merepresentasikan keberagaman nusantara, baik dari segi etnisitas, budaya, maupun bahasa.

Acara yang diberi nama “Harika Endonezya” atau “Indonesia Sempurna” ini adalah program yang rutin dilakukan oleh KBRI Ankara. Sejauh ini program serupa telah dilakukan dua kali berturut-turut di kota Ankara. Kesuksesan acara Harika Endonezya sebelumnya membuat pihak KBRI Ankara berinisiatif untuk melakukan acara serupa di kota-kota lain di Turki. Untuk Harika yang ketiga ini, misalnya, KBRI Ankara memilih kota Izmir setelah mempertimbangkan bahwa Izmir merupakan kota terbesar ketiga di Turki.

Dalam sambutannya, Duta Besar Republik Indonesia untuk Turki, Bapak Wardana, mengungkapkan bahwa tujuan dari Harika Endonezya ini adalah untuk mengenalkan Indonesia ke masyarakat Turki. Selain itu, lanjut Pak Wardana, Harika Endonezya juga diharapkan mampu menghibur masyarakat Turki melalui fotografi, musik, tarian dan makanan Indonesia. Rencananya setelah kota Izmir, Harika Endonezya yang ke empat akan dilaksanakan di kota Istanbul pada bulan Oktober. Dalam kesempatan tersebut Bapak Wardana juga mengajak masyarakat Izmir untuk ikut serta dalam kompetisi pidato berbahasa Indonesia. Dua Pemenang akan dihadiahi tiket pulang-pergi ke Indonesia untuk mengikuti workshop budaya Indonesia di Jakarta dan Yogyakarta. Selain itu, pemenang juga akan dihadiahi kesempatan untuk menghadiri langsung upacara kemerdekaan Republik Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 agustus 2016 nanti.

Poster Harika Endonezya 3

Harika Endonezya yang ketiga ini dihadiri oleh Bapak Wakil Gubernur Provinsi Izmir Uğur Kolsuz, Bapak Wakil Wali Kota Izmir Dr. Sırrı Aydoğan, para konsulat negara-negara yang berada di Izmir, juga segenap kalangan pengusaha dan masyarakat Izmir sekitarnya.

Acara yang berlangsung tanggal 20 Mei 2016 di gedung Atatürk Kültür Merkezi, Konak, Izmir ini disusun menjadi 3 bagian acara yaitu Display dan Pameran, Resepsi Cocktail, dan acara inti yaitu pertunjukkan kesenian Indonesia.

Di dalam bagian Display dan Pameran tersendiri ada tiga stan yaitu pertama, stan brosur dan booklet yang berisi tentang informasi pariwisata Indonesia. Kedua, stan foto pariwisata Indonesia yang dipenuhi oleh lebih dari 40 foto yang bertema sangat beragam mulai dari indahnya alam Indonesia, sampai keunikan budaya Indonesia seperti foto lompat batu dari kota Nias. Ketiga, stan busana Indonesia yang disediakan khusus agar para pengunjung dapat mencoba langsung mengenakannya. Sebagai sandingan, stan busana ini juga dilengkapi dengan bingkai Instagram, agar para pengunjung bisa berfoto dengan gaya kekinian. Selanjutnya adalah stan alat musik dan pernak-pernik Indonesia, yang di dalamnya terdapat alat musik seperti angklung, gamelan dan wayang kulit.

Setelah awalnya mata para pengunjung disuguhi oleh Indahnya Indonesia melalui fotografi, alat musik dan kain Indonesia yang sangat detail, selanjutnya pengunjung juga diberikan kesempatan untuk memanjakan indera perasanya dengan sajian makanan ringan Indonesia seperti risoles, bolu kukus dan martabak telur.

Tak hanya itu, panitia Hakira Endonezya juga mencoba membawa pengunjung lebih jauh lagi dalam memanjakan indera pengelihatan dan pendengaran mereka secara bersamaan, dengan suguhan penampilan tarian Indonesia seperti: Tari Saman Gayo, Tari Kipas, Tari Piring, Tari Rapa’i Geleng, Tari Jaipong, Tari Yapong danTari Zapin. Demi menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia juga mampu berintegrasi di Turki, salah satu tarian khas Turki pun ditampilkan seperti Tari Horon dari daerah Laut Hitam. Selain penampilah tarian tradisional tersebut, ada juga penampilan akustik menggunakan angklung dan nyanyian bebahasa Indonesia, Turki maupun bahasa Inggris.

Kebehasilan Harika Endonezya tersebut dapat dilihat dari decak kagum para pengunjung yang mengatakan bahwa mereka sangat beruntung telah hadir di hari tersebut. Ada juga yang berharap agar acara ini berlangsung hingga esok hari, agar mereka bisa membawa sanak saudara mereka untuk merasakan budaya Indonesia dalam sehari. Paling mengagumkan adalah pengunjung yang sengaja hadir karena mereka telah berniat sejak lama untuk mengunjungi Indonesia, dan dengan menghadiri Harika Endonezya tersebut semakin mantap untuk mengunjungi Indonesia musim panas tahun ini. Dengan kata lain, salah satu misi dari Harika Endonezya telah terbukti keampuhannya, yaitu meningkatkan turisme Indonesia.

Dengan begitu, rasanya bukanlah sebuah hiperbola untuk mengatakan bahwa acara Harika Endonezya ketiga yang berlangsung di kota Izmir kali ini adalah sebuah acara dengan kombinasi yang paling sempurna. Hal itu juga telah menjawab makna dari penamaan “Harika Endonezya” itu tersendiri yaitu bukan hanya karena alam Indonesia yang sempurna, tapi juga menggambarkan keinginan untuk merepresentasikan kesempurnaan Indonesia itu tersendiri.
Nge-blog masih menyisakan racun yang ia tusukkan pada tubuh proses kreatifku beberapa tahun lalu. Aku masih terbuai oleh tusukan anak panah dari dewa cinta yang untus langsung dari kayangan Perbloggan. Walaupun tak sering aku memiliki perasaan ganda: antara senang dan kecewa. Senang, karena menulis memiliki efek terapi bagiku. Setiap kali satu tulisan selesai, itu dengan otomatis meningkatkan kwalitas gizi kepercayaan diriku bahwa aku mampu melakukan sesuatu. Kecewa, karena ternyata walaupun aku merasa sangat bangga atas apa yang aku kreasikan melalui tulisanku, tulisan-tulisanku masih gagal untuk mengikat minat pembaca. Tulisan ku masih gagal menjerat minat pembaca untuk mengutarakannpendapatnya tentang tulisan tersebut.

Tulisan pada hakikatnya hanyalah pendapat individu. Layaknya sepeti pendapat atau opini lainnya, tidak akan lengkap tanpa komentar dari pada pembaca. Sama halnya seperti berada di forum debat, tapi lawan debat memutuskan untuk berekting diam. Saya jadi bingung apakah argumentasi saya besifat mutlak benar, atau malah sebaliknya, salah dengan sesalah-salahnya sehingga mendapat jawaban pun tidak layak.

Iya, memiliki peliharaan pribadi berupa blog memang multifungsi. Pada momen-momen tertentu ia berubah menjadi psikiater yang mampu menangkan diri dengan mengatakan: "rileks, tarik nafas dalam-dalam, sekarang keluarkan. Sudah merasa enakan? Sekarang ceritakan apa yang ada dalam pikiranmu yang membuat dadamu sesak?"

Dilain waktu blog bertransformasi menjadi cermin ajaib yang akan menjawab dengan jujur pertanyaanmu. Layaknya cermin yang ada di dongeng-dongeng, cermin ini pun sangat langsung ke akar permasalahan. Kalau tulisanmu minim komentar, artinya kamu tidak memuaskan pembaca. Artinya kamu adalah penulis kelas rendahan.

Aku sangat sadar akan hal itu. Karenanya, sejak awal aku membuka aku blog ini, aku langsung bertekad untuk mempergunakan blog ini untuk medewasakan gaya menulisku. Berefleksi ke 3 atau 4 tahun yang lalu, ku akui aku merasa lebih baik. Sekarang aku pribadi lebih percaya diri dengan gaya tulisan yang aku lampirkan.

Ketika blog saja gagal untuk mengikat pembaca, rasa-rasa aku memang perlu berfikir ulang tentang niatku menjadi penulis profesional. Setidaknya untuk sementara waktu. Menulis adalah profesi yang sangat mahal. Bayaran untuk menulis ini bukanlah uang, tapi waktu. Siapa yang bisa meminjamkan waktunya untuk para penulis? Mereka butuh waktu minimal beberapa bulan atau tahun untuk mengasingkan diri dan mengerumuni dirinya dengan bacaan. Setelahnya mereka menulis karya yang sangat penuh akan makna. Karya yang mampu membuka mata para pembaca akan keberadaan kehidupan lain selain hidupnya sendiri. Atau terkadang, karya itu juga berfungsi sebagai statement akan keadaan yang mereka sedang alami. Mereka mengalaminya, namun mereka tidak mampu untuk mengungkapkan nama perasaan yang mereka alami. Terjadilah proses pengidentifikasian, lalu kata seperti "karakter dalam tulisan ini sangat menggambarkan pribadiku" pun terucap.

Cita-cita ku untuk menjadi penulis tidak akan mati begitu saja. Saya tidak akan dikalahkan oleh sisi cengengku. Namun sisi realistisku mengatakan, untuk saat ini akun akan fokus untuk mengumpulkan amunisi agar kedepannya bisa menulis dengan leluasa. Setelah lulus kuliah sarjana S1 aku mungkin akan melanjutkan S2 atau mungkin akan langsung kerja. Iya, aku akan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar aku bisa pensiun dini dan beralih ke profesi sejatiku. Aku tidak masalah untuk bekerja pada bagian yang mungkin aku tidak suka, kalau memang itu adalah satu-satunya jalan untuk bisa menulis.

Sungguh mustahil jika suatu haru aku langsung berteriak, aku tidak perduli untuk cari duit. Aku hanya ingin menulis. Ada banyak hal perlu dipikirkan terutama keluarga. Aku tidak mau keputusanku hari ini akan membuatku menyesal dikemudian hari. Satu hal yang akan membuatku menyesal dikemudian hari adalah ketidakmampuan mengakomodir keperluan anakku dalam menuntut ilmu, dalam berpacu di dunia pendidikan. Karena aku sadar betapa kekuranganku berasal dari ketidakmampuan lingkunganku untuk berpartisipasi dalam membuat diriku untuk benar-benar bisa. Jadi, benar menulis adalah satu-satunya hal yang aku impikan. Namun, aku tidak serta-merta menyerahkan jiwa dan ragaku padanya. Mengingat idealisme dan realitas adalah bagaikan air dan minya, mereka tidak akan bisa kawin.

Oxymoron
By Adhari
 
 
Romanian Anthenium, Bucharest
 
Dia selalu menjadi buli hanya karena menyukai cerita cinta. "Kamu itu laki-laki!," teriak siapapun yang mendekatinya. Namun, dia tidak perduli. Menurutnya setiap manusia memiliki satu bahasa yang hanya orang itu sendiri yang mampu mengerti. Bagi Randi romansa cinta adalah bahasa itu. Bahasa ibu yang dianugerahkan tuhan kepadanya sejak lahir.
 
Suatu hari Randi bersabda "tahukah kalian, hanya cinta yang bisa mendamaikan dunia. Cukuplah cinta yang perlu bertebaran menyentuh setiap butir pasir dilautan. Hilangkan semua dendam dan amarah karena itu akan menciptakan malapetaka lainnya."
 
Seperti biasa, bahasa yang Randi gunakan terlalu sulit untuk dimengerti oleh kaumnya. Sampai-sampai Randi sendiri mengharapkan keberadaan semacam hadits yang bisa menjelaskan secara mendetail isi dari firman yang ia muntahkan. Atau kesepakatan alim ulama, sehingga dalil-dalil itu tidak terlalu vague. Nihil, hanya Randi sendiri yang mengerti yang ia katakan dan kali ini ia sendiri pula yang harus menjelaskannya kepada umat. Darinyalah asal firman, hadits dan dia pula perawi dari semua kata-kata yang keluar dari ronga mulutnya. 
 
“Dengarin nih!” ujar Randi, “Seni, perfilman dan sastra adalah buah hati dari sejarah. Sejarah manakah yang ingin kita tunjukkan kedunia? Apakah sejarah yang kelam atau sejarah yang manis. Demi kebaikan dunia, saya sendiri merasa bahwa kita tindak pantas untuk mengingat kelamnya masa lalu! Kerena hal itu hanya akan memupuk dendam yang terkubur dilubuk hati. Bagaimana kalau kita cukup menyebarkan cinta saja? Dengan demikian dunia akan penuh dengan kebahagiaan."
 
Menanggapi khutbah Randi, kaum yang berada disekelilingnya hanya diam. Entah diam karena sepakat atas argumentasi yang diutarakan oleh Randi atau diam karena mereka sadar bahwa apapun pendapat mereka Randi pasti bersikukuh dengan pendapatnya sendiri. Kemungkinan ketiga adalah, sang kaum tidak mengerti sedikit pun bahasa sang rasul si pembawa berita. Sebuah cliche bahwa sang pembawa berita harus memiliki kemampuan untuk berbicara diatas manusia rata-rata - harus filosofis dan berbelit-belit.
 
Sepertinya memang keajaiban lah yang sangat dibutuhkan orang-orang itu. Keajaiban bahwa suatu hari akan lahir seorang alim yang mampu menafsirkan kata-kata kelas kakap yang utarakan Randi kepada mereka, dengan bahasa yang sanggup mereka mengerti.
 
"huft……." kata Ari yang muak dengan perdebatan yang tidak berhaluan,
"sudah ngomong yang lain saja. Kepala ku saat ini sudah tidak memiliki ruang untuk berpikir hal-hal yang berat. Atau bagaimana kalau kita makan bakso saja?"
"Hayu….. Ngapain kita duduk dibawah pohon ini terus. Hayu ke kantin!"
 
Dikantin…..
 
Randi masih belum puas dengan reaksi yang dia dapatkan dari teman-temannya. Layaknya seorang misionaris, Randi merasa terpanggil untuk menjelaskan dengan lebih detail lagi. Sehingga teman-teman disekitarnya bisa hadir pada satu titik tertentu dimana mereka bisa sepaham, se-ia dan se-kata. Dimana mereka bisa mengucapkan ikrar janji bahwa mereka telah berkonversi kedalam pehaman yang diciptakan dan dianut oleh Randi, PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
 
"Sekarang, dibagian kata-kataku yang mana yang kalian tidak mengerti? Aku merasa bahwa ku sudah menjelaskan semuanya dengan sangat simpel dan mendetail"
 
"Ok.. Gini deh. Kalian kira berapa banyak orang yang termotivasi untuk pergi perang hanya karena nonton film yang mengagungkan salah seorang tokoh didalam film itu. Atau karena tokoh didalam film itu menyebarkan pesan bahwa perperangan adalah satu-satunya cara untuk mendaptakan pengakuan bahwa sang individu itu adalah seorang hero atau anak muda?”
 
“Pesan macam apa itu?” lanjut Randi “Apakah kita ingin perperangan terus-terusan terjadi? Apa kita ingin mendoktrin manusia diseluruh dunia untuk menyukai perperangan; hanya karena ingin merasakan kepuasan menjadi seorang hero, yang pada dasarnya hanyalah bumbu film belaka?"
 
Tidak lengkap rasanya jika Randi berkhutbah tanpa menyebutkan dalil. Kali ini ia berbicara tentang novel yang baru saja ia selesaikan. Membaca novel itu menurut dia adalah sebuah momen kepuasan batin. Walaupun mulanya ia sangat skeptis dengan judul novel itu "SLAUGHTERHOUSE-FIVE or THE CHILDREN CRUSADE, A Duty With Death." Didalam buku itu Randi menemukan bayangan dirinya sendiri; tentang bagaimana seorang penulis merasa kesulitan untuk menceritakan pengalamannya selama Perang Dunia Kedua di Dresden. Seperti penulis itu, Randi juga sangat terobsesi menjadi seorang penulis namun Randi belum juga mampu mengahasilkan satu karya pun. Dan yang terpenting adalah penulis yang sekaligus narator didalam buku itu adalah seorang yang anti-perang. Hal itu membuat Randi semakin yakin bahwa buku ini sebenarnya adalah karyanya yang terlanjur didahului oleh orang lain, perasaan yang Randi sering alami ketika membaca buku. Dan Randi akhirnya berkongklusi bahwa itu hanyalah bagian dari fenomena writer’s block. "Bagaimanapun, mungkin dulu jiwaku sudah dahulu menghampiri dunia untuk membantu penulis hebat itu!" gumamnya dengan senyum lebar.
 
"Kalaupun bukan Romansa Cinta, hanya ada satu pilihan yang boleh di toleransi," lanjut Randi mengenai novel yang baru saja ia sebutkan "yaitu cerita yang tidak mengagungkan perang itu sendiri, seperti novel yang baru saja aku sebutkan."
 
Benar saja. Novel itu sangat anti-mainstream hero. Alih-alih menggambarkan seorang pahlawan seperti Rambo, dia menceritakan kehidupan seorang yang bernama Billy yang sangat tidak maskulin. Bahkan hampir seluruh bab buku itu menggambarkan Billy sebagai sasaran bully selama perang. Menggambarkan betapa menyedihakannya nasib Billy selama perang. Hanya ada satu karakter yang baik pada Billy saat berada di Dresden, yang dia pun pada akhirnya ditembak mati karena mengambil teapot milik orang lain.
 
Tidak lupa pula Randi menjelaskan dengan mendetail tentang puisi karya salah satu pujangga perperangan, Wilfred Owen “Dulce Et Decorum Est.” Bagian terfavorit Randi adalah bagian dimana Owen mengatakan bahwa kata “dulce et decorum est” sebagai sebuah kebohongan yang jadul. Kata yang bermakna “sungguh sangat indah dan berharga untuk mati untuk bagi sebuah negara,” itu adalah hal yang Randi sangat tidak terima. Karenanya sama dengan Owen, Randi ingin menyebarkan faham yang sebaliknya. Faham PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALUI ROMANSA CINTA.
 
Tiba-tiba suara lantang mencuri perhatian sekumpulan pemuda yang sedari tadi sudah tidak memiliki minat untuk mendengar lanjutan ceramah Randi. Dia adalah seorang perempuan! Seluruh mukanya tertutup oleh kaca mata besarnya. Namun sangat terlihat elegan dengan hidung mancung yang dianugrahkan tuhan padanya.
 
"Kamu tidak pernah dengar ungkapan Catharses ya?"
 
Randi melihat kekanan dan kekiri. Mencoba memastikan apakah perempuan berkacamata itu berbicara padanya. Lalu ia kembali menatap perempuan berkaca mata itu seraya memperagakan gerakkan (menunjuk jari pada diri sendiri) dan mengatakan "SAYA?" memastikan bahwa kata-kata itu benar-benar ditujukan padanya.
 
Perempuan berkaca mata itu tidak memberikan tanda-tanda. Membiarkan Randi menikmati kelinglungannya. Ia memilih untuk melanjutkan kata-katanya yang ia yakin butuh penjelasan.
 
"Sebenarnya ini itu permasalahn kuno. Orang purba saja sudah berhenti untuk memperdebatkan ini. Itulah mengapa aku bertanya apakah kamu pernah mendengar kata 'Catharses'?" perempuan berkaca mata itu beretorika.
 
Randi merasa tersinggung. Jadi selama ini si perempuan berkacamata itu telah menguping pembicaraannya, Randi membatin. Ia tidak bermasalah sama sekali untuk menambah jumlah pengikut, tapi Randi ingin memulainya dari lingkungannya sendiri dulu. Layaknya seperti para pembawa faham baru lainnya. Sebelum nantinya menyebarkan pemahaman tentang PENCINTA DAMAI DAN PENYEBAR KEDAMAIAN MELALU ROMANSA CINTA itu secara luas.
 
"Aristoteles sudah pernah membahas ini didalam karyanya 'POETICS' tentang tragedi. Pada zaman itu tragedi sempat manjadi perdebatan yang sangat serius. Banyak dari mereka merisaukan efek yang bisa ditimbulkan oleh tragedi, seperti ketakutan yang kamu miliki itu."
 
Randi semakin tidak tenang. Ia merasa dipermalukan oleh perempuan berkacamata itu. Namun dia juga tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
 
"Tidak seperti orang lain pada umumnya saat itu, Aristoteles malah mendukung pementasan tragedi. Ia menolak semua kerisauan yang di ungkapkan oleh para cendikiawan saat itu. Salah satu alasan untuk memperkuat teorinya, Aristoteles memperkenalkan kata 'catharses'"
 
Radi semakin menunjukkan rasa penasaran tentang penjelasan wanita berkaca mata itu. Kali ini Randi melihat hal yang berbeda ada pada wajah perempuan berkaca mata itu. Entah apa pun itu. Yang jelas seperti ada binaran air laut ketika berjumpa terik matahari.
 
"yaitu efek yang dihasilkan oleh tragedi itu: rasa iba dan takut dan emosional. Bukannya malah seperti yang kamu katakan tadi, mas berbaju biru - namanya siapa mas?" lanjut wanita berkacamata itu.
 
"Randi" teriak salah satu teman Randi.
 
"Begitu mas Randi,” nadanya bicaranya semakin melembut seolah mengatakan bahwa penjelasannya telah berhasi. “Jadi, tragedi atau film perang-perangan itu tidak serta merata menggugah hati para penontonnya untuk merlomba-lomba ikut perang. Tapi sebaliknya, ia membuat penontonnya merasa iba dan ketakutan sehingga mereka malah menolak untuk ikut berperang, singkatnya begitu kalau menurut Aristoteles."
 
"Ia, namaku Randi. Lalu nama kamu siapa?" Randi sudah sejak lama mengabaikan perkataan si perempuan berkaca mata itu. Dan berlari kedalam lamunannya tentang cara yang ia bisa peraktikkan dalam meraih hati wanita itu.
 
"Ranti…" jawabnya dengan rona wajah yang tersipu malu.
 
Tentu saja Randi bukan seorang yang mudah dengan begitu untuk menundukkan kepala. Didalam pikirannya ia masih ingin memperdebatkan apa yang dikatakan oleh perempuan berkaca mata itu. Tapi ia tidak melihat ada maknanya. Karena perempuan berkacamata itu telah mengquote kata-kata seorang yang namanya sudah dikenal dunia. Siapalah lah Randi untuk bersikeras dengan pemahamannya. Tetapi dalam lubuk hatinya terdalam, Randi mebayangkan namanya bisa bersanding didalam sejarah dunia dengan seorang filsuf terkenal asal Yunani kuno itu, seandainya ia sukses untuk memperdebatkan teori itu. Namun bagaimana? Randi memutuskan untuk mejadikan hal itu goal jangka panjangnya. Untuk saat ini Randi punya goal yang lebih penting, menaklukkan hati Ranti.
 
*******
 
Sementara itu Randi mendekati Ranti dengan jurus romansa cinta yang ia dapatkan didalam film-film dan novel Nicholas Sparks yang dia lahap. Dan berhasil. Dalam hubungan percintaannya, Randi dan Ranti masih kerap berada dalam perdebatan sengit terutama ketika mereka berada ditoko buku dan bioskop. Ranti ingin menonton film bergenre perang dan sci-fi, sedangkan Randi ingin menonton film romantic comedy. Namun, diluar tempat itu mereka hanyalah dua insan yang dimabuk cinta. Mereka selalu berdampingan bagaikan bebek angsa yang membentuk simbol love ketika menyatukan kepalanya dengan sang kekasih.
 
Hubungan mereka pun berlangsung hingga pernikahan. Kali ini Ranti menyerahkan segalanya pada Randi tentang jenis pernikahan apa yang akan Randi pilih. Ranti tidak bisa menyembunyikan kodratnya sebagai wanita yang menyukai hal-hal romantis. Dan Randi adalah pangeran romantis yang membuat hidup Ranti sempurna.
 
Pada saat buah hati pertama mereka lahir mereka setuju menamainya Oxymoron, sebagai gambaran hubungan ibu bapaknya yang pernuh dengan kontradiksi. Inilah sebuah cerita cinta yang tragis: tragedi romantis.
 
THE END

"When the poet's mother wondered where the poet had been conceived, there were only three possibilities to consider: a park bench one night, the apartment of a friend of the poet's father one afternoon, a romantic spot outside Prague one morning."
That is how the first page of this smart, witty, and funny novel begins. I deliberately quote that first paragraph to show that even the first page of the book has already given us hint that the whole book will be filled with interesting stories to read.
"Life is Elsewhere," is a novel by famous Franco-Czech novelist, Milan Kundera. It deals with the story of a poet name Jaromil. In a nutshell, the story begins with how Jaromil comes into existence and ends with his death.
Jaromil was brought to life when his mother was a student at a university. She was a typical of rebellious woman, who found her upbringing not so pleasant. Thus going to school was her way of rebelling her family's fate. One day her mother fell into a newly graduate engineer, and had an intercourse with him outside marriage. She was pregnant. When the young engineer reacts to the news not quite as what the mother has expected, she curses every rebellious attempt she had committed. She was hoping that the lover would take her pregnancy as a good news and they would have a happy life together, without her rich family. Quite contrary the young engineer suggested to abort the child which broke her heart even more. At the end, she decided to abuse her family's power and that worked to get the two to get married. Alas, love is no longer part of the marriage. The burn of love has been put out by the father's reaction and also the mother's dareness to make herself pregnant (as if the young engineer has not contributed to the process.) Making love for the young engineer is not equal to living with the woman for the rest of his life. For him at the time, making love is just a part of his sexual journey. As consequence, the two feel that the other has ruined the other's life.
She disgusts her husband for his reaction to the pregnancy. To react to this she prefers to think that the son will resemble Apollo, Greek god whose picture happens to be hanging at her room, not her husband. She believes with the saying what one's think and feel during the pregnancy is what the child will eventually become when he or she grows up .
Jaromil was born and mama, that is how this novel prefers to call the mother, was obsessed with her son. She records every words Jaromil has uttered. She finds Jaromil's words very poetic. Hence she calls her son a poet. That obsession is one of the things that this novel has been constructed with. The mother's obsession, and the mother's possession what bring Jaromil to his downfall.
When Jaromil was still young, he paint a picture and Mama takes that as a sign that her son is an artist. Mama praises Jaromil extensively and makes Jaromil believes he is a great painter. He was deluded for sometimes that he was one. But life proves that he is not particularly a great painter, for he is just able to paint one object, an almost sphinx-like object. And mama, again, takes that talent as her own contribution because she was thinking about Apollo when she was pregnant with him. It's her secret where the son gets its inspiration.
Jaromil has grown up, but he still cannot go away for his mother's shadows. Particularly when it comes to the facial formation. He finds his face and hair too feminine-like, which he takes as a reason why girls don't find him attractive. So he tries his best to be as masculine as possible by doing his hair so differently.
Jaromil's love story doesn't stream so smoothly. His first actual crush was with a one year older girl than him. They met at a Marxist group meeting. At this particular time he was trying to fit himself in life in terms of political choices. He seems to be in agreement with Marxist ideology. At this meeting he made an interesting argument. It catches a girl's attention, particularly a girl with eye glasses. They were very close for some times, but Jaromil's inexperience with woman drives the girl with eye glass away. He does not know how to consume love and it upsets the girl.
Another time he meets a girl with red hair, who comes from working class. By this time he was still inexperience but the girl helps him to explore his sexual life. Now Jaromil turns into a possessive man, just like the mother, who often treats his girlfriend very badly. He once said that he would not see her the same again if other men lay a finger on her, not even doctor.
One day, Jaromil was very angry because the girlfriend was late. Her excuse was that she was meeting her brother who intends to go out of the country illegally. She lied. But Jaromil has already taken her words very seriously. As he was a big supporter of the communist, he reported the news to local police and from then on the girlfriend was arrested. It went on for three year.
When she was released, she figures that Jaromil had died. Readers are told that her arrest was partly her fault and I would argue that it was also the man in his forty's fault who let her lie. Man in his forty is her other lover. Her deed has caused her family a great trouble. In fact her brother has not been released yet by the time she was released.
How di Jaromil die? He died of cold or pneumonia. A very poetic death isn't it? I personally think that what this novel tries to show is the classy and poetic-sound life of the poets, especially the romantic poets. Jaromil's personal life is considered very poetic because he lived very short life, just like the romantic poets, and his romantic obsession with love. I can't help but think of Robert Browing's dramatic monologue when I read the part where the narrator describes Jaromil's obsession over the red hair girl. He once had the thought of strangling the girl while she is sleeping, very Browing's dramatic monologue like, isn't it?
What's so special about this book:
  1. Metafiction
There are parts in the novel that breaks our focus from the fictional realm of the novel, such as in the part six "The Poet in His Forty" where the narrator tries to tell us the reasons behind his decision in constructing the story as such. The narrator also tries to theorize the life the characters are living. 
"The first part of this novel encompasses fifteen years of Jaromil's life, but the fifth part, which is longer, covers barely a year. In this book, therefore, time flows in a tempo opposite to the tempo of real life; it slows down."
This is not an analysis of the novel but part the novel. It's so interesting that the narrator who is supposed to tell the story but he the narrator also comments on the story.
  1. A work of literature that provides discussion on literary movement or style
Jaromil is the mouthpiece here. His status as a poet allows Kundera to employ theoretical preference or the perspective the characters have about arts are.
".... was no longer at all convinced that everything he thought and felt was solely his, as if all ideas had always existed in a definite form and could only be borrowed as from public library."

"....: for a poem to be a poem it must be read by someone other than the author; only then can it be proved that the poem is something more than simply a private diary in code and that it is capable of living its own life, independent of whoever has written it"

"That there were progress in the arts, he said, was indisputable: the trends of modern art represented a total upheaval in a thousand-year evolution; they had finally liberated art of obligation to propagate political and philosophical ideas and to imitate reality, and one could even say that modern art was the beginning of true history of art."

"He referred to Marx's ideas that until now mandkind had been living its prehistory, and that its true history only began with the proletarian revolution, which was the transition from the realm of necessity to the realm of freedom…………"

""A revolution is an act of violence," said Jaromil, "that is well known,and surealism itself knew very well that old-timers have to be brutally kicked off the stage, but it didn't suspect that it was one of them"" - Modernist mentality on Realist movement. Yes, Jaromil is both a modernist and a Marxist.  

(see part three no 15)
  1. Psychology
I would say that there is a sort of stream of consciousness in this novel but not quite as complicated as in Woolf's case. He the narrator goes to the character's inner mind but it is still in a tolerable amount.
The second type of psychology is the relationship between mother and son. Here the mother is the one who seems to suffer a mental disorder, since she is very possessive towards the son. She finds every woman tries to separate Jaromil from her. It's almost like the mother in D.H Lawrence's "Son and Lovers", in which the mother also has an over-obsessive feeling on the son.
  1. Politics
This novel is set in Czech when communism was first came to the country. Jaromil was part of the crowds who see communism as a solution for the social and economic gap in society. But the political tension was not so much discussed. Perhaps we can take girl with red hair's case as an example. There seems to be imposition of ideology happening in society at the time. Though Jaromil did take political action in his life, we can't see where is the narrator's stance on this. But still, politics is a big part of this novel. In fact the life of the main character, Jaromil, built up in sequence to the political tension upon which he has live his life.
  1. Jaromil's life is being compared to other prominent poets such as Shelley, Baudrillard, Rimbaud etc
(see: part four no 18)
Final thought:
This novel is so dear to me. I am so interested in the novel that talks about writer's life and his or her creative writing. How he or she comes about to become a writer. What makes this novel even grander to me is the characters' discussion on literature, arts and politics. It's the best recipe for my reading, really.