Taken randomly from random sites |
Beruntunglah kalian yang mempunyai masa kecil indah dalam hal baca-membaca.
Diwaktu saya kecil saya tidak dikenalkan secara langsung kedalam budaya membaca
terutama buku-buku yang mengandung pengetahuan umum. Tapi hal yang sangat saya
syukuri adalah keluarga saya lebih mengutamakan hal yang berbau agama. Ntahlah,
motif apa yang ada dibalik ini. Apakah orang tua ku memang berfikir bahwa agama
adalah akar yang paling penting dikenalkan sejak kecil atau tindakan ini hanya tindakan
kebetulan saja karena telah menjadi budaya di kampung kami.
Selama masa
kecil, saya hanya ingat sekali memegang majalah BOBO. Hal yang saya ingat dari
majalah itu adalah tentang semut. Tapi saya lupa cerita apa yang ada dibalik
semut itu. Saya juga lupa siapa yang telah membawa majalah itu kerumah tapi
saya sangat ingat betapa senangnya saya dengan keberadaan majalah itu.
Selebihnya saya tak pernah menyentuh buku jenis lain selain buku tentang neraka
dan sunan-sunan, tidak juga novel-novel. Tidak juga pernah dibacakan cerita
sebelum tidur. Hanya saja nenekku suka menceritakan pengalaman masa kecilnya
dan mitos-mitos yang ada di Gayo sebelum tidur jadi itulah hiburan masa
kecilku.
Setelah tumbuh besar aku jadi mengambil kesimpulan, “sebaiknya
anak kecil disatukan dengan orangtua. Anak kecil banyak bertanya dan orantua
suka bercerita. Kombinasi yang baik sehingga tidak akan merepotkan orang dewasa
yang disibukkan dengan permasalah dunia nyata.”
Menurut
nenekku hal yang paling berkesan dimasa kecilnya adalah melihat terntara Jepang
berlari-lari kecil dengan iringan yel-yel yang mereka teriakkan. Nenekku sangat
hafal liriknya tapi menyedihkannya aku sudah lupa kata-kata yang ia sebutkan.
Yang jelas kata-kata itu dalam bahasa Jepang.
Hal lain
yang sangat kuingat tentang nenekku adalah motivasi yang sangat ia pegang. Dia
tidak menyampaikan secara langsung bahwa kata-kata si Jepang itu sangan
menginspirasinya tapi dari ekspresi wajahnya aku tahu dia sangat termotivasi
oleh kata-kata itu. Inti Kata-katanyanya adalah “Kalian orang Indonesia
pemalas. Gunung sebegini luas kalian biarkan begitu saja.” Dari sinilah aku
bisa melihat mengapa ia begitu gigih dalam bekerja sebagai petani kopi. Bahkan
sampai usianya menginjank masa senja.
Ia tidak
membedakan dirinya sebagai perempuan yang mungkin dibelahan bumi sana hanya
duduk menunggu dirumah. Kalau dibelahan bumi lain emansipasi wanita baru saja
bergema, di Gayo perempuan sudah sejak lama bekerja sebagai petani bersama para
lelaki. Mugkin hal yang baru hanyalah dibidang pendidikan. Dulu orang Gayo
menganggap bahwa hidup perempuan sudah ditanggung oleh para lelaki jadi mereka
tidak perlu mendapat pendidikan yang baik. Karena menurut mereka pendidikan
hanyalah batu loncatan untuk mendapat pekerjaan. Apalagi pada masa Suhartoe
banyak yang sudah sekolah tapi malah larinya jadi petani, dengan alasan tidak
mau honor seumur hidup. Mereka merelakan kesempatan untuk bersekolah kepada
sodara lelakinya yang nantinya akan menjadi suami dan kepala rumah tangga orang
lain. Sangat heroic bukan?
Selain
cerita-cerita indah dari nenek dan buku boboku satu-satunya, aku juga ingat pas
SD ada buku yang sangat booming. Namanya RPAL dan RPUL. Semua orang mungkin
sangat akrab dengan buku yang satu ini. Bahkan bagi saya sendiri, RPAL RPUL
lebih dulu saya tahu daripada Buku Pintar-nya Iwan Gayo yang notabene karya
putra daerah Gayo. Mungkin karena harganya yang tidak siswawi membuatnnya tak
terlalu booming dikalangan anak sekolah menengah kebawah. Pertama kali saya
pegang Buku Pintar pas SMP. Itupun karena ada yang bawa ke asrama. Kebetulan anak
Iwan Gayo. Bersekolah ditempatku sekolah. Sejak saat itu saya jadi sangat
mengidolakan karya Iwan Gayo. Termasuk sketsanya tentang provinsi baru (ALA,) walaupun
sampai sekarang belum kenyataan.
Nah, karena
RPAL/RPUL adalah buku yang sangat booming dikalangan masa kecilku, sampai-sampai
tercipta suatu budaya. Budaya yang sangat positif. Kami (saya dan teman masa
kecilku) sering main tebak-tebakkan tentang Negara-negara lengkap dengan
atributnya, seperti bendera dan lagu kebangsaan. Sampai-sampai ada satu
pandangan bahwa “semakin banyak Negara yang kamu hafal berarti begitulah
kepintaranmu.” Kami jadi berlomba-lomba untuk menghafal nama-nama Negara
tersebut. Tapi kalau ditanya saat ini, kemungkinan besar saya sudah lupa semua.
Namun, satu
hal yang sangat membekas dimemoriku yaitu tentang Jepang dan lagu kebangsaannya
yaitu “Kimi Gayo.” Menariknya dengan lagu kebangsaan ini adalah kata-kata “Gayo”
yang sangat sangat akrab dengan diriku bahkan itu nama sukuku. Sampai-sampai
aku sering membuat kepalaku pusing dengan pertanyaan “Apa hubungannya Jepang
dengan Gayo?” Padahal mungkin saja ini sebuah kebetulan.
Hal lain
yang sangat akrab dengan suku Gayo adalah Taruk Jepang. Taruk Jepang atau pucuk
labu siyem memiliki arti yang sangat dalam bagi masyarakat Gayo. Bahkan ini
telah menjadi identitas masyarakat Gayo. Bahkan kalau kebetulan ada orang baru
yang menikah dengan putra lokal dan tiba-tiba sudah fasih berbahasa Gayo maka
candaan mereka adalah,
“Yoh, nge
lancar bebahasa Gayo kak ge?” (sudah lacar ya bebahasa Gayo ya kak?)
“Ke o yoh,
te nge mangat taruk jepang.” (ya iyalah kan sudah makan taruk jepang)
Lagi-lagi
kata Jepang terseret kedalam budaya Gayo. Lalu apa sih sebenarnya hubungan Gayo
dan Jepang? Apakah ada hubungan khusus (genetic) ataukah ini hanya kebetulan
semata? Ntahlah. Mungkin pertanyaan ini akan terus menjadi teka-teki bagi saya.
Atau mungkin juga teka-teki ini akan terbuka satu persatu seiring dengan
perjalanan hidup ini. I’ll keep you posted!
Adhari
30/04/2014 10:16PM (Waktu Turki)
30/04/2014 10:16PM (Waktu Turki)
Disaat gigi sedang sakit-sakitnya!
0 comments:
Post a Comment