RAMADHAN IN TURKEY 3: Parenting Style


#4. Parenting Style

Tema awal buka puasa memang untuk makan-makan. Tapi akan lebih indah ketika makan-makan juga bisa menghasilkan hikmah yang bisa dipentik. Bagi tuan rumah memberi makan untuk para perantau seperti kami adalah suatu kebahagian. Bagi kami juga diberi makan adalah suatu berkah.

Suatu hari kami di undang berbuka dirumah salah satu keluarga Turki. Rumahnya cukup unik. Letaknya dilantai paling atas. Atap apartemen juga masih bagian dari rumahnya. Dibagian atap apartmen sudah diubah fungsikan menjadi ladang jadi-jadian. Dia menanam tomat dan anggur disana. Waktu itu anggurnya sudah mulai berbuah. Prediksiku tiga minggu lagi sudah siap untuk dipanen.

Seperti biasa setelah shalat magrib si tuan rumah menyuguhkan cay dan perbincanganpun dimulai. Ia mengeluhkan anaknya yang kuliah tidak lulus-lulus. Dia bingung harus bagaimana. Apalagi sang anak adalah tipe anak yang tertutup. Ketika ditanya tentang kampusnya ia menjawab sesuai kejadian, apakah pelajaran-perlajarannya lewat atau tertinggal.

Sebagai ayah dia sangat peduli. Dia juga menegaskan bahwa dia tidak mungkin terlalu mencampuri anaknya. Apalagi sampai membanding-bandingkannya dengan orang lain yang lebih rajin atau lebih berprestasi. Katanya, itu hanya akan merusak psikologisnya.

Dia menutup curhatanya dengan mengatakan "sekarang kalian sudah dewasa. Kalian lebih tahu apa yang harus ia lakukan. Kami, orangtua, hanya bisa berdoa."

Posisi sebagai orangtua memang serba salah. Disatu sisi ia ingin melihat anaknya sukses tapi disi lain ia juga tidak ingin terlalu memaksanya. Inilah sebabnya untuk menjadi orangtua yang baik, seseorang harus memahami psikogis anak.

Tidak semua anak bisa menerima sistem parenting yang keras. Kalau si anak adalah anak bandel maka ia perlu dimarahi, dihukum kalau perlu. Namun, kalau si anak adalah si pendiam (introvert) maka sistem pendekatannya harus berbeda. Bisa saja dia memiliki masalah di kehidupan sosial. Dengan orang sekitarnya. Di bully dan lain-lain.

******
Bapak B memiliki kasus yang berbeda. Dia merasa bersalah karena sang anak memiliki antusias belajar yang sangat tinggi. Tapi nasib menjadikannya orang yang kurang mampu secara finansial, yang berarti ia tak mampu menuruti keinginan belajar anak yang sangat tinggi. Apalagi kenyataannya adalah untuk mendapatkan pendidikan yang baik uang adalah modal utamanya.

Ia tak henti-henti menyalahkan dirinya. Menyalahkan nasib yang telah menajadikannya miskin. Seandainya ia adalah orang yang mampu, saat ini ia pasti telah menyediakan buku dan fasilitas yang memadai lainnya untuk menunjang pendidikan sang anak.

Si anak juga diam-diam memiliki perasaan yang sama. Ia sangat berharap seandainya sang ayah bisa lebih mapan. Bisa menyediakannya fasilitas yang ia butuhkan. Minimal buku bacaan.

"Seandainya dulu aku bisa lebih rajin, bisa lebih serius bersekolah, pasti aku tidak akan begini. Pasti aku tidak akan mewariskan nasib ini. Walaupun aku yakin dia punya jalan sendiri untuk merubah nasibnya. Setidaknya kalau aku lebih beruntung, kemungkinan dia menjadi orang beruntung akan lebih besar."

0 comments: