#4. Parenting
Style
Tema awal buka
puasa memang untuk makan-makan. Tapi akan lebih indah ketika makan-makan juga
bisa menghasilkan hikmah yang bisa dipentik. Bagi tuan rumah memberi makan
untuk para perantau seperti kami adalah suatu kebahagian. Bagi kami juga diberi
makan adalah suatu berkah.
Suatu hari kami
di undang berbuka dirumah salah satu keluarga Turki. Rumahnya cukup unik.
Letaknya dilantai paling atas. Atap apartemen juga masih bagian dari rumahnya.
Dibagian atap apartmen sudah diubah fungsikan menjadi ladang jadi-jadian. Dia
menanam tomat dan anggur disana. Waktu itu anggurnya sudah mulai berbuah.
Prediksiku tiga minggu lagi sudah siap untuk dipanen.
Seperti biasa
setelah shalat magrib si tuan rumah menyuguhkan cay dan perbincanganpun
dimulai. Ia mengeluhkan anaknya yang kuliah tidak lulus-lulus. Dia bingung
harus bagaimana. Apalagi sang anak adalah tipe anak yang tertutup. Ketika
ditanya tentang kampusnya ia menjawab sesuai kejadian, apakah
pelajaran-perlajarannya lewat atau tertinggal.
Sebagai ayah dia
sangat peduli. Dia juga menegaskan bahwa dia tidak mungkin terlalu mencampuri
anaknya. Apalagi sampai membanding-bandingkannya dengan orang lain yang lebih
rajin atau lebih berprestasi. Katanya, itu hanya akan merusak psikologisnya.
Dia menutup
curhatanya dengan mengatakan "sekarang kalian sudah dewasa. Kalian lebih
tahu apa yang harus ia lakukan. Kami, orangtua, hanya bisa berdoa."
Posisi sebagai
orangtua memang serba salah. Disatu sisi ia ingin melihat anaknya sukses tapi
disi lain ia juga tidak ingin terlalu memaksanya. Inilah sebabnya untuk menjadi
orangtua yang baik, seseorang harus memahami psikogis anak.
Tidak semua anak
bisa menerima sistem parenting yang
keras. Kalau si anak adalah anak bandel maka ia perlu dimarahi, dihukum kalau
perlu. Namun, kalau si anak adalah si pendiam (introvert) maka sistem
pendekatannya harus berbeda. Bisa saja dia memiliki masalah di kehidupan
sosial. Dengan orang sekitarnya. Di bully dan lain-lain.
******
Bapak B memiliki
kasus yang berbeda. Dia merasa bersalah karena sang anak memiliki antusias
belajar yang sangat tinggi. Tapi nasib menjadikannya orang yang kurang mampu
secara finansial, yang berarti ia tak mampu menuruti keinginan belajar anak
yang sangat tinggi. Apalagi kenyataannya adalah untuk mendapatkan pendidikan
yang baik uang adalah modal utamanya.
Ia tak
henti-henti menyalahkan dirinya. Menyalahkan nasib yang telah menajadikannya
miskin. Seandainya ia adalah orang yang mampu, saat ini ia pasti telah
menyediakan buku dan fasilitas yang memadai lainnya untuk menunjang pendidikan
sang anak.
Si anak juga
diam-diam memiliki perasaan yang sama. Ia sangat berharap seandainya sang ayah
bisa lebih mapan. Bisa menyediakannya fasilitas yang ia butuhkan. Minimal buku
bacaan.
"Seandainya
dulu aku bisa lebih rajin, bisa lebih serius bersekolah, pasti aku tidak akan
begini. Pasti aku tidak akan mewariskan nasib ini. Walaupun aku yakin dia punya
jalan sendiri untuk merubah nasibnya. Setidaknya kalau aku lebih beruntung, kemungkinan
dia menjadi orang beruntung akan lebih besar."
0 comments:
Post a Comment