Semester ganjil
baru saja dimulai. "Hari ini adalah hari yang membesankan," keluh
hampir semua siswa. Tentu saja UPACARA adalah penyebab utamanya. Tapi tidak
untuk pemuda yang satu ini. Dia sangat terlihat bahagia hari ini. Sesekali
dadanya terangkat seolah ia berisyarat "ini hari pertama ku." Mungkin
ia adalah satu-satunya yang khidmat dari semua hadirin upacara.
Badannya cukup
kecil. Berdiri dibarisan ketiga membuatnya hampir tak terlihat sama sekali. Ia
tak terlalu suka berada dibarisan terdepan, meskipun ia bersikeras bahwa
upacara adalah hal yang terpenting. "Sebab dengan upacara kita bisa
mengisi ulang batrai nasionalism yang setiap hari dikuras habis oleh ulah para
petinggi negeri," ia yang menjadi jawaban andalannya. Dilain kesempatan ia
juga pernah berdalih dengan kata-kata yang lebih santai "kalau bukan pas
lagi upacara ngitamin kulit kapan lagi," ucapnya sambil gelagapan.
Hari ini ia
sangat berharap banyak. Hari ini adalah hari yang akan menentukan nasipnya tiga
tahun kedepan. Apakah keputusannya pindah ke kota yang baru ini adalah
keputusan yang tepat atau hanya akan menjadi penyesalan terbesar dalam
hidupnya. "Hari ini semua pertanyaan itu akan terjawab." Ia mengepal
tangannya seolah ia akan berteria "MERDEKA." Dadanya masih naik
turun. Ia menarik nafas penuh ekspresi. Seolah udara hari ini berasal dari
syurga. Ia tak mau menyia-nyiakannya barang sedetik saja.
Sudah hampir
setengah jam upacara selesai. Para guru seharusnya sudah melakoni perananya,
mememenuhi tugasnya. Memberikan hal yang bisa mengurangi rasa haus yang
dirasakan generasi muda ini. Mereka haus akan ilmu. Mereka sudah tak sabar
ingin melihat siapa gerangan malaikat pertama yang akan meniupkan wahyu kedalam
sanubari mereka. Namun sepertinya mereka harus membuang nafas kekecewaan. Buku
yang mereka persiapkan sejak dua minggu lalu khusus untuk hari ini, tampaknya
harus masih akan kosong hingga waktu yang tidak bisa ditentukan.
Hendri, nama
pemuda itu. Belum masuk sesi perkenalan. Tapi ia baru saja mencoretkannya
didalam buku barunya sambil sesekali menatap kesisi luar kelas. Ia melihat
anak-anak dengan santai duduk diberanda kelas, walaupun lonceng sudah
dibunyikan dari setengah jam yang lalau. Kemungkinan mereka adalah siswa lama.
Mengkin mereka sudah paham bahwa hari ini tidak akan ada kelas. Hari ini adalah
hari untuk menceritakan kehebatan liburan yang mereka alami. Si kaya akan penuh
dengan bangga berkelakar bahwa ia telah menghabisakan liburan di Disney
Singapore. Dan yang lain hanya berbinar berharap suatu hari ia bisa sampai
ketempat yang mereka juga masih abu-abu tentangnya.
Oh ternyata masih
ada harapan. Wanita yang berbadan cukup berisi sedang berjalan menuju kelas
105, dimana Hendri berada. "Pasti dia berbeda. Dia tak seperti guru
lainnya yang senang bergosip ketimbang mengaja. Dia pasti tak banyak berdalih,
bahwa hari pertama siswa tidak banyak yang datanglah, demi tidak
mengajar."
Dia membawa
kertas kosong yang langsung digilir kepada para siswa. "Tolong isi nama
kalian disini. Absen belum ada, nanti akan saya tandai sendiri siapa yang
datang." "Oh.. Sungguh rude," kata Hendri dalam hati. Ia tak
mampu menemukan padanan bahawa yang cocok menggantikan rude. "Tak bisakah
anda memberikan kata selamat datang kepada kami yang baru ini?"
"Anak-anak,
berhubung hari masih belum banyak yang datang kita tidak usah belajar dulu ya!
Sebagai gantinya bagaimana kalau kalain berkenalan saja satu sama lain. Ibu
permisi dulu ya."
Semua orang
bereaksi biasa saja selain Hendri. Ia belum juga selesai dengan
ketidakpercayaannya. Ia masih melongo. Ia tidak habis pikir bagaimana mungkin
guru berprilaku seperti itu. Ia meninggalkan kelas bahkan tanpa memperkenalkan
namanya. "Mungkin dia datang hanya ia mencari muka. Ia ingin terlihat
seperti guru yang rajin dimata kepala sekolah."
Belum juga jam 11
tapi para siswa dari kelas 2 dan 3 sudah behamburan kegerbang sekolah. Hari pertama itu artinya pulang sekolah lebih awal.
Hendri telah mencatat itu dibuku jurnalnya. Dan berarti ia sudah akan lebih
familiar tentang apa yang akan terjadi tiga tahun kedepan. Hendri puang ke
rumah dengan satu hal. Ia telah punya satu teman. Hanya satu. Itu pun karena ia
duduk semeja. "Satu lebih baik, dan aku sepertinya senang dengannya."
Tentu saja ia senang. Karena teman barunya itu lebih suka berkomunikasi dengan
buku ia pegang dan kaca mata tebalnya. Tidak jauh berbeda dengan Hendri.
"Hmm.. Untung aku rutin makan wortel," gumamnya sambil naik bus.
**
Minggu pertama
sudah berlalu. Hari-hari dimana kelas akan lebih sepi, suara bising akan lebih
berkurang, akhirnya dimulai. Hal yang paling ditunggu oleh Hendri adalah momen
penetapan hati. Kali ini siapa yang akan mengisi halaman jurnal yang telah ia
tandai dengan kertas berwarna biru. Halaman dimana ia telah menulis judul
dengan huruf besar -THE TEACHER I AM IN LOVE WITH-. Kriterianya sudah bisa
ditebak. Yang mengisi halama ini sebelum-sebelumnya adalah guru galak. Ia suka
kegalakan. Ia suka ketertiban. Mungkin alasannya.
Jumat. Ia telah
menyaksikan tingkah laku semua guru dan kini saatnya penentuan. Ia mengambil
buku kecil berwarna biru dari tasnya. Dan alih-alih menulis ia malah
mengetuk-ngetuk pencil kekepalanya. Ini bukanlah hal yang biasa. Ini rekor
tertinggi baginya. Biasanya ia sudah siap dengan jawaban, tapi kali ini ia
malah harus masih berpikir.
Pikirannya malah
berhenti dihari rabu. Bukan karena ia suka guru SNU itu. Ia hanya tidak habis
pikir dengan apa yang terjadi dikelas. Kelas disetting menjadi dua kubu. Meja
dideret didepan kelas. Kini suasana kelas persis seperti mahkamah pengadilan.
Dan satu lagi, meja guru berfungsi sebagai tuan hakim. Lalu apa fungsi deretan
meja itu? Itu akan menjadi tempat eksekusi. Satu kelompok yang berisi tiga
orang akan berada disana setiap minggu. Mereka akan menerangkan bahan
presentasinya dan nanti para pendengar akan terlibat langsung mengeksekusi
mereka.
Seperti biasa
pendengar yang tidak lain adalah temannya sendiri akan membuat mereka menjadi
pengecut. Ini adalah pertaruhan hidup dan mati. Antara dapat menjawab semua
pertanyaan atau akan tampil sebagai pengecut dengan merakting diam. Ketika diam
maka tuan hakin akan membuka mulutnya dan dia akan memberikan jawaban dari
pertanyaan pendengar. Inilah suasana kelas itu.
"Tahu kah
kalian? Di Barat, siswa yang terlibat langsung dikelas. Ini bukan lagi zamannya
guru mendikte. Kalian harus lebih bayak beraksi dikelas. Guru hanya berfungsi
sebagai pendengar sekar." Itu yang menjadi alasan terbentuknya suasana
kelas seperti ini.
Minggu bermingu
berlalu dan kasus pengeksekusian belum juga tuntas. Beruntung para pengecut
tidak dilempar ketahanan. Tapi wajah pucat siswa tak bisa dihindari dari hari
ini. Hendi cukup menikmati hari-hari ketika kelas ini berlangsung. Tapi ia
belum juga menentukan nama pemilik halam dengan penanda biru itu. Terakhir ia berpikir "ini bukan karena dia."
Hal yang muncul kemudian adalah kata BARAT. Kata barat lah yang membuatnya suka
kelas ini. Ia suka sumua yang berbau barat. "Aku suka sistem pendidikan
barat."
BARAT SNU, akhirnya berhasil memenangkan hati
halaman jurnal dengan penanda biru itu.
*****
5 Tahun
Kemudian……
Hendri sedang
munuju kampus. Ia sedang duduk disatu sudut didalam metro. Ia lupa membawa
novel yang ia telah baca hampir seminggu ini. Ketika ia mengotak-atik isi
tasnya yang ia temukan adalah jurnal lamanya. Cukup lama ia tak besentuhan
dengan barang kesayangannya itu. Hal yang pertanya ia lakukan akan menulis.
Kebiasan yang dulu ia rutin lakukan.
Sekarang
aku kuliah di Liberal Art Education.
Aku
tahu aku tidak masuk kampus negeridan terkenal tapi aku suka hidup baruku ini.
Aku
juru jurusan Literature with minor history.
Ia mengakhiri
lembar itu dengan emoticon smile. :)
Masih ada 5
stasiun lagi, berarti perjalanan masih akan berlangsung selama 20 menit. Ia
sangat menyesal tidak membawa novel itu. Ia seharusnya bisa menenendang jauh
rasa bosan ini. Akhirnya ia membuka-buka halama yang ada dijurnal itu. Dan yang
menarik perhatiannya adalah penanda biru. Ia mencoba cukup lama terdiam dan
tersenyum. Ia berpikir cukup keras untuk mengingat kembali. Untuk memeberikan
jawaban lantang antara ia atau tidak. Apakah benar SNU yang telah membawanya
kesini. "Oh… Aku di Barat sekarang."
Ia tertawa
seperti orang kesurupan. Kalau tidak karena semua orang melirik dia mungkin ia
tidak akan sadar bahwa ia sedang beraksi sangat aneh. "Dasar guru
SNU," ucapnya dengan nada mengutuk. "Pendidikan barat itu tidak
seperti yang kamu katakan!" "Siswa memang berperan aktif dikelas,
tapi guru bukan duduk saja." "Guru aktif dan siswa juga aktif, itu
yang aku saksikan disini" "Ngomong-ngomong terimakasih karena
kebohonganmu sudah mengahantarkanku kesini."
0 comments:
Post a Comment