Taken from imgkid.com |
Gugur 2012 adalah tahun yang penuh
tanda tanya. Apakah daun yang jatuh masih akan kembali tumbuh dimusim semi
yang akan datang. Atau bahkan ini adalah hari terakhir pohon-pohon ini untuk
melihat dunia. Daun itu jatuh perlahan. ia lebih senang disebut gugur.
Gugur adalah sebuah
kata sakral baginya, yang akan
membuatnya merasa ia tidak jatuh dengan sia-sia. Gugur adalah predikat paling
beharga. Manusia tidak akan mengatakan para pejuangnya telah mati dimedan
perang, tapi gugur. Gugur membuat segalanya menjadi lebih terdengar tidak
sia-sia. Membuat
pohon rela melepas daunnya, membuat
manusia merelakan kepergian orang yang dikasihinya. Aku meninggalkan mereka
dimusim gugur. Apakah aku telah gugur dari dalam hati mereka? Apakah mereka
telah rela melepaskanku?
Hujan deras memutuskan untuk hadir
minggu itu. 'Sudah lama tidak menyapa tanah,' serunya dengan penuh gairah. Tapi
ia lupa. Ia lupa bahwa ia telah membantu menyapu bersih daun, dari tangkainya.
Hujan mematahkan daun yang tulangnya sudah rapuh. Padahan daun telah berjanji
untuk tak akan meninggalkan tangkai sampai maut menyapanya. Ia berjanji bahwa
tak akan ada yang bisa memisahkannya. Tak juga badai, katanya. Tapi kini ia
telah membuktikan itu hanyalah ucapan kosong. Pohon seolah ingin mati saja. Ia
memohon guntur untuk mengambil raganya. 'Apalah arti memiliki raga, kalau jiwa
telah lama pergi,' tangisnya.
Tak hanya hujan, kini angin musim
dingin juga ikut menyapu bersih daun. Tak perlu ditanya bagaimana keadaan hati
si pohon malang itu. Ia bahkan bersumpah tidak akan pernah mau berbicara lagi
dengan hujan maupun angin, mereka telah memisahkan si pohon malang dengan
kekasih hatinya.
Keinginannya untuk mati ternyata
dijawab oleh salju. Kalaulah bukan mati, setidaknya salju telah membekukan hati
pohon. Dengan begitu pohon tidak akan merasakan sakit lagi. Kini pohon
benar-benar diam. Bukan karena ia telah berdamai dengan hatinya, tapi karena ia
telah mati
untuk sementara. Kendati begitu ia
bersumpah ia ingin mati untuk selamanya saja. 'Lebih baik mati dari pada
menanggung perih hati ini'
Salju yang terkenal dingin dan angkuh
itu tak mau bersuara. Ia bahkantak punya niat secuil pun untuk menenangkan si
pohon malang. Berkali-kali pohon menunjukkan wajah yang muram, alih-alih
mendekat, salju membuang muka. Dalam diamnya salju menjastifikasi 'aku hanya
hadir 3 bulan dalam setahun. Kita tidak saling kenal, lalu mengapa aku harus
peduli?' Sejak ditelanjangi oleh angin dan hujan, pohon tidak lagi berselera
bukan hanya untuk berbicara, bahkan untuk hidup. Itulah mengapa ia tidak
menemukan satulah alasanpun yang mengharuskannya peduli kepada omongan si
Salju. Lebih-lebih ia juga sadar bahwa salju memang benar. Pohon dapat
berkumpul dengan keluarganya hampir sepanjang tahun, tidak seperti salju yang tak
punya kehidupan pasti. Ia datang tidak diminta, dan pergi tanpa permisi. Entah
mengapa pikiran yang awalnya sebuah hinaan malah membuat pohon menarik nafas
dalam. Ia seperti baru
terkena pukulan, pukulan yang keras.
'Sepertinya aku telah banyak mengeluh
selama ini. Aku terlalu terbiasa
dengan hidup senang. Hidup dengan
kehadiran orang lain.'
'Angin! Hujan' teriak pohon.
'Terimakasih sahabatku! Kalian telah
menyadarkanku. Aku tidak membenci
kalian.'
'Tenang salju.' lanjutnya 'Kau tidak
perlu bersikap dingin. Kita memang tidak
saling kenal, tapi aku mau jadi
sahabatmu. Itupun kalau kau setuju'
Salju hanya terdiam. Lalu tiba-tiba
ada suara yang patah-patah terdengar. 'Kamu tahu, selama ini aku juga merasa
aku telah hidup sia-sia. Aku menjajah bumi tanpa tujuan. Menjadi penjajah
bukanlah hal yang menyenangkan karena kau akan dibenci. Aku bukan datang untuk
menjajah, aku ingin mencoba hal yang baru. Aku ingin jadi temanmu. Aku ingin
engkau menjadi tujuanku hadir kebumi'
Salju dan pohon berpelukan, hingga
semi mengusir salju pergi.
'Sampai jumpa sahabatku!' lambai pohon
dengan raut wajah bahagia.
Adhari
Mahasiswa S1 Sastra Inggris
Mahasiswa S1 Sastra Inggris
Semester ketiga
0 comments:
Post a Comment