Apakah yang harus dilakukan oleh seorang pemula dalam dunia tulis-menulis? Beberapa mengatakan "carilah pengalaman, dengan begitu kamu akan tahu apa yang harus kamu tulis." Sebuah statement yang tidak mungkin untuk dibantah.
Hal itu bukanlah satu-satunya cara untuk bisa menulis. Membaca, misalkan, adalah cara lain yang sangat membantu dalam proses menulis. Hampir semua penulis besar masa kini bisa sehebat itu karena mereka berada dibawah pengaruh idolanya. Namun, tidak sepenuhnya meniru. Dia mengambil beberapa titik dari sebuah karya yang menginspirasinya, dan titik itu iya olah menjadi lingkaran yang lebih besar.
Shakespeare, seorang playwright yang tak tertandingi hingga saat ini. Ketika melihat karya-karyanya, penonton atau pembaca yang memiliki pengetahuan tentang konteks drama itu, akan mengerti bahwa dalam drama itu banyak sekali referensi yang merujuk pada karya-karya klasik. Sebut saja mitologi Yunani, dan juga referensi-refensi lainnya. Dalam hal sejarah, Shakespeare dipercaya mengambil referensi dari buku salah satu sejarawan yang bernama Raphael Holinshed. Hal ini menunjukkan betapa membaca mampu membuka imajinasi seseorang yang pada akhirnya akan mengarahkannya menjadi seorang penulis juga.
Lalu jalan manakah yang akan aku pilih? Banyak membaca? Mengeksplorasi dunia? Aku suka membaca. Aku suka jalan-jalan, walaupun uang selalu menjadi kendala. Ntah berapa sering aku mengulang kata "aku akan menjadi seorang penulis." Dan tidak kalah sering juga inspirasi hadir. Menggodaku untuk menulis. Tapi,.....
Aku belum mulai menulis, bukan karena tidak tahu apa yang harus ditulis. Ada banyak cerita yang tidak sabar untuk diabadikan, dan aku belum juga bergerak. Terkadang aku membuat janji palsu, dengan mengatakan "nanti ya!." Dan setelah beberapa minggu akhirnya mereka menyerah. Entahlah kemana mereka berlalu. Mungkin ada seorang penulis malang yang akhirnya menerima mereka.
Tidak kalah sering aku berkomitmen akan menyelesaikan cerpen dan mengirimnya ke media. Tidak. Itu juga tidak berhasil. Ketika aku mulai duduk didepan PC, aku ingin semuanya cepat selesai. Seolah dunia akan terbelah dua kalau aku duduk terlalu lama disana. Atau mungkin kepalaku yang akan bernasib seperti kelapa parut. Ntahlah... kadang aku berfikir aku harus menscan otakku. Mencari tahu jika ada yang aneh disana. Terkadang aku menganggap, "okay, mungkin nanti aku bisa perpanjang." Dan mood menulis pada detik itu tidak lagi sama keesokan harinya.
Terakhir aku ingin menulis tentang seorang introvert yang bukan hanya terasingkan dari lingkungan sosialnya, tapi juga memilih untuk terasing. Dia memilih villa disebuah bukit yang terasing menjadi tempat tinggalnya. Suatu hari dia menikah. Konflik hadir setelah pernikahan, karena sang istri menyadari bahwa jenis hidup sang suami bukan hal yang ia ekspektasikan. Sebelumnya dia adalah gadis kota. Bukan sebuah keheranan kalau konflik akhirmya muncul.
Parahnya konflik tidak muncul dalam bentuk verbal tapi diam. Permasalahan yang tidak diungkapkan lebih ribet dari pada yang blak-blakkan. Setidaknya kalau diungkapkan permasalahan bisa menemui titik jelas apakah selesai disana atau lanjut. Namun, begitulah jenis konflik yang akan terjadi didalam karakter cerpen saya yang seorang introvert kelas kakap.
Akhirnya sang suami menyarankan sang istri untuk melakukan hal yang ia suka. "Kamu bisa main ke kota. Bertemu dengan teman-temanmu," sarannya. Sang istri mengikuti saran itu. Dan, sejak saat dia menginjak pedal gas mobil, sang istri tidak kembali lagi.
Sang suami berada dalam kondisi yang sangat melakolis. Dia tidak tahu harus melakaukan apa. Haruskah dia menyusul kekota? Namun dia juga mengingatkan dirinya sendiri "oh.. mungkin dia butuh waktu."
Setelah sebualan akhirnya dia berinisiatif untuk menyusul dan mencari kepastian akan hubungan mereka. Sang suami tidak berharap banyak karena dia menyadari bahwa dia juga berperan besar dalam pecahnya permasalahan ini.
Minggu berlalu. Bulan berlalu. Sang istri belum juga ditemukan. Suatu waktu si suami ini secara tidak sengaja melewati lorong, tempat penjualan buku bekas. Dan disana dia akan bertemu dengan narator cerpen ini.
Nah, ini cerita dinarasikan oleh orang ketiga. Seorang yang mengaku bahwa dia memiliki banyak sekali keanehan dalam dirinya. Salah satunya adalah dia selalu dihantui oleh cerita-cerita. Cerita itu akan hilang jika dia menuliskanhya. Ketika dia akhirnya melihat karakternya hidup, dia sangat kaget bukan kepalang. Efek pertemuan ini bekerja pada si narator karena akhirnya dia sadar kenapa keanehan itu datang. Pertama, karena si arwah ingin dia untuk menjadi mediator antara si arwah dengan suaminya. Karena hanya dia yang bisa menyadari keberadaan arwah itu. Walaupun dia taunya hanya dalam bentuk cerita, yang awalnya dia anggap fiksi, tapi kini ia berubah pikiran.
Singkat cerita sang suami bertemu wanita baru yang nantinya akan merubah dia menjadi seorang yang bisa bersosialisasi. Nanti akan ada scene bookclub. Si suami ini sangat intusiastik dengan kegiatan itu. Karena dia adalah booknerd.
Sebagai ending, si arwah menghilang dalam damai. Si suami menjadi pribadi yang lebih bersosialisasi dan sipenulis menemukan kehidupan baru sebagai penulis sekaligus hero. Dia akan mendapatkan banyak sekali kasus yang dia akan selesaikan.
Plot yang tidak terlalu membosankan, bukan? Dan aku belum juga menyelesaikannya. Dan excuse ku adalah, ah.. aku belum menemukan warnaku. Aku terlalu terbebani oleh bagusnya karya-karya mereka. Lihat tuh style menulisnya Hemingway yang santai tapi penuh dengan understatement atau Faulkner yang sangat elaborate. Ah... atau kadang aku menyalahkan hidupku yang belum bebas secara finansial. Hubungannya? Ya, karena kalau lagi sibuk dengan urusan, "wah.. uang asrama bulan inunbelum bayar", fokusnya terbagi dong?
Hari ini aku baru selesai nonton Julie dan Julia untuk kesekian kalinya. Cerita tentang dua wanita yang hidup penuh dengan goal. Lebih penting lagi mereka sangat berdedikasi dengan komitmennya. Bukan cuma membuat komitmen tapi tidak bertindak (nunjuk diri sendiri). Dan, aku hidup dalam rutinitas. Jarang ada event besar terjadi. Mungkin aku lah the real ADD 6(Attention Deficit Disorder) disini.
Hal itu bukanlah satu-satunya cara untuk bisa menulis. Membaca, misalkan, adalah cara lain yang sangat membantu dalam proses menulis. Hampir semua penulis besar masa kini bisa sehebat itu karena mereka berada dibawah pengaruh idolanya. Namun, tidak sepenuhnya meniru. Dia mengambil beberapa titik dari sebuah karya yang menginspirasinya, dan titik itu iya olah menjadi lingkaran yang lebih besar.
Shakespeare, seorang playwright yang tak tertandingi hingga saat ini. Ketika melihat karya-karyanya, penonton atau pembaca yang memiliki pengetahuan tentang konteks drama itu, akan mengerti bahwa dalam drama itu banyak sekali referensi yang merujuk pada karya-karya klasik. Sebut saja mitologi Yunani, dan juga referensi-refensi lainnya. Dalam hal sejarah, Shakespeare dipercaya mengambil referensi dari buku salah satu sejarawan yang bernama Raphael Holinshed. Hal ini menunjukkan betapa membaca mampu membuka imajinasi seseorang yang pada akhirnya akan mengarahkannya menjadi seorang penulis juga.
Lalu jalan manakah yang akan aku pilih? Banyak membaca? Mengeksplorasi dunia? Aku suka membaca. Aku suka jalan-jalan, walaupun uang selalu menjadi kendala. Ntah berapa sering aku mengulang kata "aku akan menjadi seorang penulis." Dan tidak kalah sering juga inspirasi hadir. Menggodaku untuk menulis. Tapi,.....
Aku belum mulai menulis, bukan karena tidak tahu apa yang harus ditulis. Ada banyak cerita yang tidak sabar untuk diabadikan, dan aku belum juga bergerak. Terkadang aku membuat janji palsu, dengan mengatakan "nanti ya!." Dan setelah beberapa minggu akhirnya mereka menyerah. Entahlah kemana mereka berlalu. Mungkin ada seorang penulis malang yang akhirnya menerima mereka.
Tidak kalah sering aku berkomitmen akan menyelesaikan cerpen dan mengirimnya ke media. Tidak. Itu juga tidak berhasil. Ketika aku mulai duduk didepan PC, aku ingin semuanya cepat selesai. Seolah dunia akan terbelah dua kalau aku duduk terlalu lama disana. Atau mungkin kepalaku yang akan bernasib seperti kelapa parut. Ntahlah... kadang aku berfikir aku harus menscan otakku. Mencari tahu jika ada yang aneh disana. Terkadang aku menganggap, "okay, mungkin nanti aku bisa perpanjang." Dan mood menulis pada detik itu tidak lagi sama keesokan harinya.
Terakhir aku ingin menulis tentang seorang introvert yang bukan hanya terasingkan dari lingkungan sosialnya, tapi juga memilih untuk terasing. Dia memilih villa disebuah bukit yang terasing menjadi tempat tinggalnya. Suatu hari dia menikah. Konflik hadir setelah pernikahan, karena sang istri menyadari bahwa jenis hidup sang suami bukan hal yang ia ekspektasikan. Sebelumnya dia adalah gadis kota. Bukan sebuah keheranan kalau konflik akhirmya muncul.
Parahnya konflik tidak muncul dalam bentuk verbal tapi diam. Permasalahan yang tidak diungkapkan lebih ribet dari pada yang blak-blakkan. Setidaknya kalau diungkapkan permasalahan bisa menemui titik jelas apakah selesai disana atau lanjut. Namun, begitulah jenis konflik yang akan terjadi didalam karakter cerpen saya yang seorang introvert kelas kakap.
Akhirnya sang suami menyarankan sang istri untuk melakukan hal yang ia suka. "Kamu bisa main ke kota. Bertemu dengan teman-temanmu," sarannya. Sang istri mengikuti saran itu. Dan, sejak saat dia menginjak pedal gas mobil, sang istri tidak kembali lagi.
Sang suami berada dalam kondisi yang sangat melakolis. Dia tidak tahu harus melakaukan apa. Haruskah dia menyusul kekota? Namun dia juga mengingatkan dirinya sendiri "oh.. mungkin dia butuh waktu."
Setelah sebualan akhirnya dia berinisiatif untuk menyusul dan mencari kepastian akan hubungan mereka. Sang suami tidak berharap banyak karena dia menyadari bahwa dia juga berperan besar dalam pecahnya permasalahan ini.
Minggu berlalu. Bulan berlalu. Sang istri belum juga ditemukan. Suatu waktu si suami ini secara tidak sengaja melewati lorong, tempat penjualan buku bekas. Dan disana dia akan bertemu dengan narator cerpen ini.
Nah, ini cerita dinarasikan oleh orang ketiga. Seorang yang mengaku bahwa dia memiliki banyak sekali keanehan dalam dirinya. Salah satunya adalah dia selalu dihantui oleh cerita-cerita. Cerita itu akan hilang jika dia menuliskanhya. Ketika dia akhirnya melihat karakternya hidup, dia sangat kaget bukan kepalang. Efek pertemuan ini bekerja pada si narator karena akhirnya dia sadar kenapa keanehan itu datang. Pertama, karena si arwah ingin dia untuk menjadi mediator antara si arwah dengan suaminya. Karena hanya dia yang bisa menyadari keberadaan arwah itu. Walaupun dia taunya hanya dalam bentuk cerita, yang awalnya dia anggap fiksi, tapi kini ia berubah pikiran.
Singkat cerita sang suami bertemu wanita baru yang nantinya akan merubah dia menjadi seorang yang bisa bersosialisasi. Nanti akan ada scene bookclub. Si suami ini sangat intusiastik dengan kegiatan itu. Karena dia adalah booknerd.
Sebagai ending, si arwah menghilang dalam damai. Si suami menjadi pribadi yang lebih bersosialisasi dan sipenulis menemukan kehidupan baru sebagai penulis sekaligus hero. Dia akan mendapatkan banyak sekali kasus yang dia akan selesaikan.
Plot yang tidak terlalu membosankan, bukan? Dan aku belum juga menyelesaikannya. Dan excuse ku adalah, ah.. aku belum menemukan warnaku. Aku terlalu terbebani oleh bagusnya karya-karya mereka. Lihat tuh style menulisnya Hemingway yang santai tapi penuh dengan understatement atau Faulkner yang sangat elaborate. Ah... atau kadang aku menyalahkan hidupku yang belum bebas secara finansial. Hubungannya? Ya, karena kalau lagi sibuk dengan urusan, "wah.. uang asrama bulan inunbelum bayar", fokusnya terbagi dong?
Hari ini aku baru selesai nonton Julie dan Julia untuk kesekian kalinya. Cerita tentang dua wanita yang hidup penuh dengan goal. Lebih penting lagi mereka sangat berdedikasi dengan komitmennya. Bukan cuma membuat komitmen tapi tidak bertindak (nunjuk diri sendiri). Dan, aku hidup dalam rutinitas. Jarang ada event besar terjadi. Mungkin aku lah the real ADD 6(Attention Deficit Disorder) disini.
2 comments:
Super!
Segera ditulis, Kak. Jangan dipikirin jadinya warna ijo, merah, seperti tulisan Hemmingway, Alexandre Dumas, J.R Tolkien dan siapapun itu. Nanti kalau udah selesai, dikoreksi lagi. Siap menjadi pembacanya kok.
Beban jadi anak sastra itu gitu ya.. belum nulis udah terintimidasi duluan sama para canon.. Mungkin sekarang aku butuh pendewasaan gaya menulis dulu ya. Untuk semebtara ide-ide di kumpulkan dulu. Setelah merasa mantap baru menulis yang serius. Ng-blog salah satu cara untuk mendewasakan gaya menulis :)
Post a Comment