Cukup Doa Saja!

29 Mei kemarin tepat aku berumur 21. Sebelumnya masalah pergantian umum tidak pernah menjadi diskusi diantara aku dan keluarga. Tapi tiba-tiba, entah karena aku yang sudah terpengaruh kebarat-baratan atau hanya ingin sebuah pengakuan bahwa aku sudah dewasa, aku menelpon orangtua. Ayah, tepatnya. Waktu diangkat, setelah sedikit bersalam-sapa, aku bertanya, "pak, lagi dirumah nggak?/ saya mau bicara sama mamak" Ternyata bapak lagi dikantor bupati (penyempitan makna untuk semua kantor milik pemerintah yang ada di lingkup kabupaten) berurusan dengan birokrasi dll. Menyelesaikan urusan yang menyangkut dengan pekerjaannya sebagai kontraktor."Ya sudah nanti kalau sudah pulang kerumah saja saya telpon lagi".

Selama tiga tahun ini menelpon ayah sudah sangat biasa. Yang sedikit bermasalah adalah komunikasiku dengan ibu. Ibu tidak punya ponsel. Ayah sering dalam kondisi seperto kuceritain diatas. Saat ditelpon sedang berada diluar. Terkadang di kantor. Terkadang dilapangan tempat dia melakukan proyek pembangunan. Jadilah aku yang sering harus terbiasa dengan situasi tidak punya komunikasi yang instense dengan ibu.
Permasalahan lainnya adalah, entah ibu berbohong atau memang dia memang tidak mahir dengan teknologi ini. Setiap kali aku punya kesempatan untuk bisa ngobrol dengannya, dia selalu cepat mengakhiri telponanku. "Ibu mu memang nggak pandai ngobrol ditelepon kata ayahku." Tapi entah kenapa naluri sastraku mengatakan bahwa ada pesan terselubung dibalik situasi aneh ini. Menurutku ibu dia karena ia tidak bisa menahan rasa kangen yang sudah terpendam begitu dalam. Atau mungkin aku saja yang kegeeran. Mungkin juga mereka sudah lupa aku pernah ada. Ah.. aku mulai ngaur lagi.

Padahal kalau didunia nyata aku dan ibu sering sekali bertukar pikiran. Sering curhat tentang apapun itu. Bahkan tentang pekerjaan bapak yang terkadang suka bermasalah. Posisi ayahku yang suka mengambil proyak didanai orang lain, terkadang menempatakan diposisi sulit. Seperti misalkan ditipu dll. Dia yang menjalankan proyek pergi kelapangan setiap hari. Ketika selesai shalat subuh dia sudah bersiap-siap untuk menuju lapangan. Pulang kerumah ketika langit sudah gelap. Aku yang jarang berada dirumah, karena sudah mulai merantau sejak SMP, cuma bisa melihat mukanya ketika makan malam. Itupun kalau dia pulang tepat waktu. Perjuangannya yang sangat berat itu sering tak seimbang dengan hasil yang ia dapatkan. Jiwanya yang pemurah dan sangat tidak suka dengan pertikaian lah yang pada akhirnya membuat situasi ekonomi keluarga jalan ditempat. Dari pada memperjuangkan haknya dia lebih memilih untuk melepaskannya asal hubungan sesama manusia tidal rusak. Bagi ibu ini adalah sebuah kepedihan yang ia pendam sendiri. Ketika aku pulang ini menjadi topik curhatan andalanya. Tapi kenapa ketika ditelpon ibu suka diam saja.

A "Ibu sehat?"
I "Sehat"
A "Ibu sedang apa?"
I "Makan malam"

Aku juga kadang bingung harus bertanya apa lagi. Akhirnya "ya sudah bu tolong kasih hp nya ke ayah." Dengan ayah aku lebih bisa bicara panjang tentang hal apapun itu. Terkadang politik ataupun tentang pendidikanku disini. Masalahnya aku ingin bicara dengan ibu! Setiap kali menelpon ibu aku tak lupa mengingatkan ibu untuk selalu mendoakanku disini. Dan ibu tak lupa mengatakan kalau jagan sampai ketinggalan shalat. "Shalat adalah penghubung doa. Kalau kamu tidak shalat bagaimana doa bisa sampai," katanya berulang kali.

Kali ini tepat dihari pergantian umurku ayah menelpon balik sesampainya dirumah pulang kerja. Dan aku akhirnya bisa berbibicara dengan ibu. Sepertinya ini adalah kali pertamaku menelpon ibu dibulan Mei, kalau tidak salah. Dan akhirnya, "bu aku 21 tahun hari ini. Terimakasih telah membesarkanku hingga hari ini. Doakan aku menjadi anak yang baik dan berbakti." Aku ingin sekali melihat wajahnya ketika mendengarkan kata-kata itu keluar dsri mulutku. Tapi apalah daya. "Ia... " dan ibu kembali konsisten dengan nasihatnya. Ibu juga cerita bahwa mereka baru saja menggelar kenduri (syukuran) atas kelahiran anak kedua abang tertuaku - sekaligus pemotongah akikah. Aku pun senang mendengar banyak sekali yang sudah berputar disekitaran keluargaku. Semoga suatu hari aku bisa kembali dan berkumpul dengan keluarga besarku.

Setelahnya ketika hp dikembalikan keayah aku juga mengatakan hal yang sama dan ayah menjawab "ya itu kan sudah kewajiban kami sebagai orang tua." Selanjutnya ia bertanya tentang hadiah apa yang aku mau, sambil tertawa kecil. Aku cuma menjawab, cukup dia saja. :)

#tulisanygterlambat

4 comments:

Ayubi SA said...

Tersentuh bacanya... n_n Wah entah kenapa saya masih tertutup kepada ibu sendiri dan belum mampu untuk mengucapkan rasa terimakasih di depan ibu...

adhari'sabroad said...

Saya juga hari itu nggak tau dapat keberanian dari mana bi. Tiba2 pingin nelpon aja. Ulang tahun mana pernah jadi prrbincangan di keluarga kami. Tapi tiba2 aku kepikiran untuk ngucapin terimakasih telah mebesarin ku selama ini.. Setelahnya lega bgt bi. Artinya terkadang kita perlu ngungkapin perasaan kita bukan cuma ke wanita yg baru kita kenal, tapi juga yg sudh lama kita kenal yaitu IBU... hehehe.. sotoy saya..

Unknown said...

Mungkin ibumu takut kalau ngobrol panjang akan membuatnya Rindu berkepanjangan, bs jadi itu salah satu alasan yg membuatnya ga banyak bicara.
Ga mudah memang
Entah itu gengsi atau apalah namanya itu
kata 'Terima Kasih' aja susah banget keluar.
Bahkan lebih sulit ketika ngungkapin rasa ke orang yg kita suka
Aku jg ngerasain hal yg sama, mungkin JARAK yg membuatku mulai berani ber 'terima kasih' atas perjuangan mereka selama ini.

adhari'sabroad said...

Ia, bener Nai. Masalah budaya juga sih menurut ku. Budaya kita cenderung gak ekspresif dalam ngungkapin perasan. Terutama ke keluarga. Juga termasuk salah satu yang akan aku hilanganin dalam hubungan father-children ku nanti. Untuk perantau, adanya orang2 yg bisa mengungkapkan perasaan adalah sebuah energi penguat yang bisa membuat kita bertahan diperantauan. Mengingat kita hanya sendiri disina.