Berita kematian
bagiku selalu menjadi hal terberat untuk dihandle.
Ketika pengeras
suara dari surau atau mesjid terdekat berbunyi bukan
pada waktu jam
shalat, maka jantungku langsung berdetak tak karuan.
Ritme-nya
langsung berubah menjadi sangat kencang sekali.
Bunyi pengeras
suara yang bukan pada jam-nya itu adalah rambu-rambu
bagi akan
diumumkannya berita duka. Yang mendengarkan hanya perlu
menanti gerangan
nama siapakah yang kali ini di panggil. Dan karena desa
tempat tinggal
saya itu sangat adalah kolektif, bukan seperti kota besar
yang
individualis, kami tau sama tau hampir setiap orang yang ada.
Termasuk diriku,
yang sejak kecil sudah merantau. Kalaupun ada yang saya
tidak kenal, itu
pasti karena mereka adalah generasi yang baru lahir di 9
tahun terakhir
atau pendatang yang hadir dalam kurun waktu itu.
Tadi subuh jam
empat pagi, ada satu panggilan yang saya tidak sempat
angkat. Nomernya
tidak ada nama. Saya sudah tahu kalau ada nomer yang
ganjil seperti
itu, salah satu kemungkinannya adalah itu telpon dari
Indonesia, dari
keluargaku. Tapi aku memutuskan untuk tidak menelon
balik. Teoriku
selama di Turki adalah, jam berapa pun telepon berbunyi
itu bukan karena
'urgent' tapi hanya karena perbedaan waktu. Dan karena
itu baru jam 4
pagi, aku memutuskan untuk membiarkannya. Pikirku aku
masih bisa
menelpon balik dipagi hari.
Pagi ini jam 9,
ketika aku masih terdidur pulas, telepon kembali berbunyi.
Benar, ternyata
ayah yang telah menelpon. Dan teori yang ku develop selama
di Turki itu
terpatahkan begitu saja. Telponan dijam 4 pagi waktu Turki itu
adalah sama
value-nya dengan telepon yang berbunyi di jam 4 pagi waktu
Indonesia: ITU
BERMAKNA URGENT!!! Ayah mengabarkan bahwa adik
yang ia cintai,
bibiku - hero masa kecilku (bahkan hingga saat ini,) telah
meninggalkan
kami.
Baru saja
beberapa hari lalu aku bervideo call dengan sepupu-sepupuku
(anak-anaknya),
yang sedang mudik ke kampung halaman. Mereka tinggal
di Bekasi, dan
kali ini sedang mudik ke tanah Gayo untuk lebaran. Apakah
ini sebuah
pertanda atau tidak, entahlah. Sejak awal sebelum mudik beliau
telah memutuskan
bahwa anak-anak dan suami-nya akan pulang lebih awal
ke Bekasi
(setelah lebaran,) karena mereka harus sekolah dan si Om harus
kerja. Sedang si
bibi akan menetap ditanah kelahirannya untuk sementara
waktu. Nadia,
anak pertamanya, mengatakan bahwa "mama mau berobat
dulu, bang."
Berobat, kata
yang sangat positif karena artinya ia akan menghantarkan
orang yang sedang
menajalaninya kepada keadaan 'terobati.'
Aku tak pernah
bertanya penyakit apa yang sedang ia derita. Dengan
memutuskan untuk
tinggal di tanah kelahirannya sementara waktu,
mungkin bisa
sedikit menjawab tentang betapa beratnya sakit yang
yang ia derita.
Bahkan mungkin, seperti yang ku katakan kati, itu adalah
sebuah tanda.
Tanda bahwa itu adalah permintaan terakhirnya, ia ingin
berada didekapan
keluarganya disaat-saat ia menghembuskan nafasnya.
Seandainya aku
berada disana saat itu, aku akan melihat wajah bahagianya
ketika berkumpul
dengan 17 saudara-saudari-nya.
Ia, 17
bersaudara. Angka yang besar, dan aku tak malu untuk
menyebutkannya
sekalipun. Karena betapa besarpun angka itu, betapa
ramaipun mereka,
mereka selalu akur. Tak pernah terjadi pertikaian
sama sekali.
Kalau pada umumnya suatu keluarga selalu bertikai tentang
harta warisan,
tidak dengan keluarga ku. Mereka yang tua-tua merelakan
harta warisan
kepada yang muda. Karena memang mereka juga telah
mendapatkan harta
dengan caranya masing masing. Tak pernah terbesit
didalam kepala
mereka untuk mendapatkan harta dengan cara diwariskan
- dan itu adalah
kunci kerukunan keluarga kami.
Mengharapkan
harta warisan dari orangtua hanya akan melahirkan petikaian,
itu adalah salah
satu pelajaran yang ku ambil dari keluarga besarku. Dan sejak
saat itu pula aku
menanamkan dalam diri bahwa aku tidak akan pernah
menuntut harta
warisan. Apalagi karena aku sudah disekolahkan sejauh ini,
uang yang
dikeluarkan orangtuaku untuk biaya sekolah sudah lebih dari cukup!
Bibi-ku yang satu
ini sangatlah special, terutama bagiku. Walaupun dia
hanya pulang
sesekali ke Tanah Gayo, hanya pada saat lebaran. Kehadirannya
yang sedikit
itulah yang telah menjadikanku orang seperti diriku saat ini.
Kami memiliki
kata kunci yang hanya kami bertiga yang tau 'merantau'.
Dia dan pamanku,
Al Mujaini - mereka berdua adalah heroes
ku.
Keinginanku
merantau hadir setelah melihat betapa mengagumkannya
perjalanan hidup
mereka. Sejak kecil mereka sudah merantau ke tanah
Jawa untuk
bersekolah di pesantren dan tak kembali lagi. Mereka
memutuskan untuk
hidup di Jabodetabek.
Kehadirannya yang
selalu dirindukan oleh adik-kakanya di Tanah
Gayo lah hal yang
aku jadikan motivasi. Aku ingin berada jauh dari
keluargaku
(merantau,) dengan begitu aku akan sangat jarang bertemu
dengan mereka,
dan rindu pun tercipta. Aku ingin petemuan emas.
Hanya sesekali
tapi berjuta makna. Layaknya perasaan yang dirasakan
oleh kedua heroes
ku.
Aku sangat jarang
bertemu dengan bibiku yang satu ini tapi beliau
selalu hadir
dalam phase terpenting dalam hidupku. Saat aku sedang
mengikuti
jamboree Asean di Cibubur di tahun 2008, beliau hadir
bersama keluarga
menjengukku. Beliau mengungkapkan betapa ia
sangat bangga
padaku. Begitu juga denganku aku sangat bangga
telah memiliki
bibi yang baik sepertinya. Bibi yang mukanya mirip
dengan diva
Indonesia, Titi DJ.
Terakhir sebelum
aku berangkat ke Turki aku menyempatkan diri
keluar dari
tempat karantina untuk bertemu mereka. Dan dia juga
masih sama. Dia
tahu bagaimana untuk menaikan semangatku.
Dengan mengatakan
bahwa ia bangga padaku. Walaupun aku
sendiri tidak
begitu yaki apakah aku bisa bangga pada diriku
sendiri. Dengan
dengan segala alur ceita yang telah aku lewati
selama disini.
Innalillahi wa
inna ilaihi raji'un.
Terimakasih ya
Allah engkau telah melahirkanku ditengah-tengah
keluarga ini.
Kini Engkau telah memanggil bibi tercinta kami,
Mahyana binti AKA
Mastany - atau Nana, maka tempatkanlah
beliau dibarisan
orang-orang yang mendapat ridha-Mu.
Ampunkanlah
segala dosanya ya Allah dan terimalah segala
amal ibadahnya.
Bagi yang di tinggalkan, de Nadia, Zufar.
Jadikanlah mereka
anak-anak yang soleh dan soleha yang
mampu mendoakan
kedua orangtuanya. Cik Nadia juga,
ya tabah ya cik.
Mewakili keluarga saya juga memohon
bila ada
kesalahan beliau disengaja maupun tak disengaja,
mohon di maafkan.
My Fallen Angel
My Eyes melted
the moment I heard about you,
He hunted you
down,
Out of love -
Still, my heart
can't seem to deal with it.
You - my fallen
angel,
Fly to your home
- heaven,
Because there is
where
you belong to.
*****
I still can't
deal with the fact that you are not around anymore. She is
still so young.
Belum juga 40 mungkin. And her children still need her!
Allah knows
better.
Izmir, July 25,
2015
0 comments:
Post a Comment