PERJALANAN IMAN

Taken randomly from internet




Salah satu kegiatan kami di bulan puasa ini adalah berbincang-bincang
masalah agama. Itu rutin kami lakukan setelah selesai shalat. Umumnya
shalat subuh.

Ide itu muncul ketika kami memutuskan untuk tinggal bersama selama
bulan ramadhan ini, yang juga bertepatan dengan libur panjang musim
panas. Besar kemungkinan kegiatan 'tinggal bersama' ini akan berlanjut
hingga libur musim panas usai. Sekitar 3 bulan-an. Kalau kami semua
tidak punya rencana atau kegiatan lagi. Kalau bagi saya sendiri sih, ini
adalah bagian dari kegiatan mengungsi. Asrama tak terlalu bersahabat di
musim panas.

Untuk mengantisipasi terjadinya kebosanan masal, kami pun memutuskan
untuk membuat kegiatan-kegiatan positif, salah satunya ya berbincang-
bincang masalah agama tadi.

Selain itu kami juga memutuskan untuk menyulap tempat tinggal kami
menjadi tempat tinggal yang terstruktur. Tempat tinggal yang semua individu
tau apa hak dan kewajibannya. Karenanya kami memutuskan juga untuk
menciptakan sistem piket: piket masak, piket bersih-besih dan yang terpenting
hari gotong-royong. Dimanapun berada budaya Indonesia yang satu itu patut
untuk diterapkan. Setiap hari minggu kami sepakat untuk membersihkan seisi
rumah. Bukankah kebersihan dan kerapihan rumah sangat berpengaruh
kepada sisi psikologis orang yang berada didalamnya?

*****
Disatu pagi, kebetulan topik pembicaraan kami adalah tentang iman - yang
diisi oleh salah satu mahasiswa S2 bidang Nano Teknologi di IYTE. Dalam
pembicaraannya ia mengambil referensi kepada salah satu cerita mitologi
Yunani, Sisifus, yang juga merupakan salah satu cerita yang diankat oleh
seorang pilosof terkenal Albert Camus didalam bukunya Le Mythe de Sisyphe 
- untuk membahas tentang existentialism.

Sisifus ini adalah salah satu karakter dalam mitologi Yunani yang dikutuk
untuk melakukan kegiatan yang sia-sia seumur hidupnya. Ia mendorong
batu, batu yang besar, kegunung. Lalu pada saat ia sudah sampai, ia akan
menggelindingkan batu itu lagi kebawah. Hal yang sangat sia sia bukan?

Kegiataan yang dilakukan oleh Sisifus ini, sebenarnya memiliki kesamaan
dengan perjalanan iman manusia. Untuk menuju tahap memiliki iman,
perjuangan yang kita lakukan sama beratnya dengan perjuangan Sisifus
mendorong batu ke puncak gunung. Namun, layaknya perjalanan iman,
itu tidak menjamin adanya daya tahan yang bisa menopang si batu (iman)
agak tidak tergelinding ke tempat semula lagi (ketidakberimanan).

Sebaliknya, meski seseorang telak menempuh perjalanan yang berat agak
sampai pada titik memiliki iman, seorang itu masih rentan untu tergelinding.

Pertanyaanya, apakah kita ingin menjadi Sisifus versi nyata? Menjadi
seseorang yang hidup sia-sia karena setelah melakukan usaha yang
sangat berat, lalu dengan mudahnya merusak tujuan awal dari semuanya.
Nauuzubillahi minzalik.

*******

Topik tentang iman bukan lah hal yang langka. Bahkan dijurusanku
sendiri itu menjadi hal yang paling digemari oleh setiap penulis.
William Blake, misalkan didalam Book of Innocence and Experience
yang pada esensinya juga bercerita tentang perjalanan iman dan
bagaimana seorang anak bisa bertransformasi dari keadaan naïve,
innocent menjadi experience. Experience disini bisa diartikan sebagai
kondisi dimana seseorang telah dirusak oleh lingkungannya.

Matthew Arnold dalam puisinya, Dover Beach, juga membahasa hal
yang sama. Dia mengasosiasikan iman dengan air laut yang dihembus
ombak, kadang naik dan kadang turun. Dengan cahaya lampu yang
perlahan meredup. Adalah kondisi buruk dunia yang menggoreskan
perasaan pesimis dalam jiwa manusia. Didalam puisi ini pembicara
akhirnya memutuskan bahwa hal yang perlu ia lakukan dengan
kekasihnya adalah untuk setia satu sama lain, karena dunia sudah
tak lagi memiliki faith - faithless world.

******
Lalu apa yang perlu dilakukan agar iman tetap berada pada posisinya
yang semula yang suci, bersih dan tanpa dosa? Harukah kita menerima
kenyataan bahwa iman selalu terkalahkan seiring kita mengenal dunia?

Pernah seseorang, dalam ketidakberdayaannya, menyatakan "apa saya
lebih baik tinggal menyendiri dihutan saja? Tidak terhubung dengan
manusia yang kemungkinan memiliki bisa. Yang setiap saat bisa saja
menghantam imanku. Seandainya aku tidak mengenal internet, mungkin
 imanku tak serusak ini."

Sungguh! Apakah manusia harus menyendiri - menjauh dari satu
sama lain - agar mereka tidak menghancurkan satu sama lain?
Perperangan fisik, perperangan batin, perperangan moral?
Apa sih yang dunia ingin tunjukkan… adakah yang tersisa dari
dunia yang masih menarik? Dengan semua kebobrokkannya. Sungguh
cinta dunia buta adanya. 

0 comments: