The picture credited to http://www.crsd.org |
Dewasa ini perbedaan sudah tidak sepatutnya lagi dilihat
sebagai momok yang menakutkan. Malah sebaliknya, sudah saatnya kita memeluk
perbedaan. Meskipun begitu individu masih tetap diberikan hak untuk menganggap
dan mempraktikkan ideologi mana atau cara hidup mana dalam kehidupan
sehari-hari mereka, namun satu hal yang perlu diingat sebagai individu kita
juga harus berkewajiban untuk menghargai keputusan individu lain untuk
mempercayai dan memperaktikkan ideologi yang ia pahami.
Di jurusan tempat
saya bersekolah ada seorang wanita yang sangat ahli dibidangnya. Suatu hari
tema diskusi mengarahkan kami kepada pertanyaan umur. Lalu beliau seolah
mengelak untuk menjawab pertanyaan tentang umur ini. Sampai akhir diskusi
beliau masib belum mau menyebutkan angka. Tapi beliau mengakui "saya sudah
berumur."
Dilain kesempatan beliau akhirnya memberi tahu alasan
kenapa diumurnya yang sudah matang (saya belum diberi hint teantang umurnya
yang sebenarnya) beliau baru sekolah tingkat sarjana. Bahkan beliau mengakui
bahwa tingkat Sekolah Menengah Atas saja beliau baru selesaikan beberapa tahun
lalu.
Hal ini membuat kami bertanya-tanya, 'kenapa begitu?'
Tebakan awal kami mungkin karena beliau punya kendala ekonomi. Namun ternyata
bukan itu alasannya. Wanita itu harus rela menghentikan pendidikannya karena
beliau lebih memilih untuk menghormati keyakinan yang ia peluk. Karena
institusi pemerintah tempat ia berdomisili kala itu tidak memberikan tempat
bagi kelompok kepercayaan manapun untuk memperaktikkan hal yang mereka pahami
di ranah publik. Jenis pemerintahan yang di kenal dengan sebutan sekularisme.
Perdebatan tentang sekularisme adalah perdebatan panjang.
Ada yang mengatakan sekularisme yang diperaktikkan dinegara-negara macam
Prancis saat ini adalah sebuah kesalahan. Banyak yang berargumentasi bahwa
hakekat sekularisme adalah saling menghargai perbedaan. Sebesar manapun pihak
sekuler ingin menjauh dari paham-paham agama, seharusnya mereka juga harus siap
menghapi kenyataan bahwa orang lain mungkin tetap pada pendiriannya.
Seandainya makna sekularisme adalah menjauhkan agama dari
ranah publik, hal ini sama saja kita telah mengembalikan dunia 2015 ini ke abad
pertengahan "medieval"; dimana
paham yang di anut masyarakat tergantung pada apa yang ditentukan oleh
pemimpin. Bahkan banyak pemimpin yang rela menumpahkan darah demi tertegaknya
satu ideologi dinegara itu. Medieval
atau abad pertengahan adalah kata yang mengandung makna negatif di dunia barat.
Mereka sering menyangkut-pautkan sistem hukum mati dan sejenisnya ke abad
pertengahan. Lalu apa kabar dengan sekularisme yang seolah mengatur kepercayaan
yang di anut setiap individu? Bukankah itu lebih ke abad pertengahan?
Kehidupan si wanita (teman sejurusan saya) itu tidak
berhenti disana. Setelah putus sekolah di Sekolah Menengah Umum, ia memutuskan
untuk bekerja. Di mengaku telah bekerja di pabrik, dengan bayaran yang sangat
mengenaskan. Belum lagi dengan sistem kerja yang sangat tidak manusiawi, yang
memberikan waktu istirahat yang sangat minim. Pekerjaan ini bukanlah pekerjaan
satu-satunya yang beliau pernah kerjakan. Pengalaman beliau yang paling unik
adalah saat beliau melamar menjadi asisten disebuah perusahaan komputer. Segala
tes dan persyaratan telah terpenuhi, bahkan percakapan tentang upah pun sudah
dilewati dan sudah menemui titik temu. Namun, diakhir wawancara, pihak
perusahan mengatakan, "cuma satu hal lagi. Kalau kamu menyanggupi yang
terakhir ini kamu akan kami terima. Bisakah kamu melepas kerudungmu saat
bekerja dan menggunakan sedikit make-up."
Terkadang ketika berpikir ulang tentang tumbuhnya gerakan
feminisme, adalah hal yang tak terelakkan, mengingat apa yang terjadi pada kaum
wanita. Sebenarnya saya tidak begitu senang dengan penggunaan kata 'feminisme',
kalau goalnya adalah penyetarakan gender, kenapa tidak menggunakan nama
humanisme saja? Feminisme ditelinga saya terdengar seperti keinginan untuk
mengungguli kamu pria. Tentu paham feminisme jenis ini ada, mereka disebut
feminisme garis ekstrimis. Goal mengungguli kaum pria, menurut saya, hanya akan
mengulangi sejarah kelam yang terntunya tidak kita inginkan. Lalu kemungkinan
apa yang bisa terjadi dimasa depan? Terdirinya gerakkan maskulinisme sebagai
gerakan revolusionari untuk menyetarakan gender lagi? Kasihan, kata
maskulinisme sudah terlanjur digunakan untuk mengungkapkan makna lain yang
bernada negatif, yang juga berseberangan dengan kaum wanita. Maskulinisme telah
terlanjur dikaitkan erat dengan konotasi misogyny.
Dua poin yang saya coba ilustrasikan diatas baru contoh
intoleransi tingkat kecil dalam hubungan antar faham dan hubungan antar gender,
yang sayang sekali masih juga menghadapi titik buntu. Lebih dari itu, ketika
kita melihat dunia secara luas maka kita akan mendapati banyak intolensi dalam
tingkat lebih besar yang terjadi. Lalu apa yang harus kita lakukan? Atau
bahkan, hal apa yang paling minimal bisa kita lakukan? Memulai dari diri
sendiri, mungkin adalah hal minimal yang bisa kita lakukan.
Saya
sering sekali menggunakan analogi manusia goa-nya Plato, yang menurut saya
sangat masuk akal. Ketika ditanya kenapa kamu bersekolah jauh-jauh kesini, saya
pasti menjawab 'karena saya tidak mau menjadi manusia goa seperti dalam analogi
Plato;' Manusia yang tertutup; Manusia yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa
diluaran sana ada banyak hal yang bisa dipelajari. Mengagung-agungkan tempat
asal masing-masing, tidak akan membuat kita menjadi manusia yang lebih lebih
baik.
Sebaliknya,
berani melangkkahkan kaki keluar dari goa dan melihat bahwa diluar goa ada
kehidupan nyata, (daripada hanya menyembah-nyembah bayangan yang terpantul
kegoa,) akan membuatmu berfikir ulang tentang kehidupan. Kamu akan
mengapresiasi kehidupan ini lebih baik lagi. Meninggalkan goa tempat asal mu
tidak akan membuatmu melupakannya, bahkan sebaliknya rasa cintamu terhadap
tempat asalmu akan tumbuh membesar - begitu besarnya sehingga kamu ingin
mengubahnya ke arah lebih baik. Namun kenyataanya, manusia dalam goa masih ada
saja sampai saat ini; mereka tidak siap menerima kenyataan yang di sampaikan
oleh si tokoh pengungkap kebenaran. Pada akhirnya, hanya satu akhir cerita yang
tidak terelakkan yaitu banyaknya Socrates versi modern yang dipaksa meminum
hemlock hingga mati tak berkembang!
0 comments:
Post a Comment