MADRE-NYA DEWI LESTARI: Karya Sastra Yang Seharusnya Diadaptasi Menjadi Rom-Com di Hollywood

Screeshot from ebook purchased on google book
Ada sedikit perasaan kesal ketika melihat nasib karya penulis Indonesia favoritku, Dewi Lestari. Karyanya yang selalu membuatku bisa tertawa lepas tanpa perduli lokasi. Mau itu sedang di dalam subway yang notabene dipenuhi manusia-manusia. Ataupun di kamar sendirian. Orang mana pun yang menyaksikan keanehanku saat membaca karya Dee akan kebingungan. Bahkan aku sendiri bingung. Racun apa sih yang Dee punya sehingga bisa merubah suasana mood yang awalnya muram hingga bisa berbinar-binar?

2016 baru saja mulai. Sejak tahun 2015 kemarin saya membuat komitmen baru - atau lebih tepatnya berkomitmen untuk satu rutinitas baru yaitu menetapkan target bacaan di goodreads.com. Tahun ini saya menargetkan angka 30, setelah sebelumnya gagal dengan angka 50. Dan bajaan pertama yang saya selesaikan adalah novelet Dewi Lestari: MADRE.

Sudah lama mendengar novelet ini, bahkan saya juga pernah secara tidak sengaja melihat promosi film yang diadaptasi dari novelet ini di timeline Facebook saya. Tapi entah kenapa baru hari ini saya berkesempatan untuk membacanya. Dan membacanya novelet ini pun terjadi dengan sangat kebetulan. Hmmmm….. Untuk pentingan novelet ini saya ingin meralat kata-kaya saya, seperti halnya yang dikatakan oleh pak Hadi "tidak ada yang namanya kebetulan!"

Hari ini saya sedang pusing berurusan dengan dunia sastra. Saya memulai hari dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Mrs. Dalloway-nya Virginia Woolf yang sangat menguras energi dan pikiran. Terutama teknik menulisnya.

Belum cukup, saya pun melanjutkan dengan Ulysses-nya James Joyce. Kedua penulis ini sama kejamnya. Untuk dunia sastra mereka berdua adalah sebuah anugerah. Namun bagi mahasiswa sastra sepertiku mereka berdua seperti kelam dibalik bulan purnama. Sesaat bisa membuat kami terkagum-kagum. Namun dalam waktu bersamaan mereka bisa berubah menjadi ancaman. Terutama saat ujian tiba.

Virginia Woolf dengan Free Indirect Discourse-nya, dan James Joyce dengan Stream of Conscious-nya.

Dalam keadaan penak akupun secara alam bawah sadar mengotak-atik tablet. Kebetulan aku belum jauh dari aktivitas membuka Google Play Books - sisa-sisa berkutik dengan sastra sebelumnya. Tak sengaja akupun menuliskan kata kunci Dewi Lestari disana. Munculah beberapa karya beliau. Saya terkaget dengan harga e-book Madre yang kurang dari 3TL. Sebagai penggiat sastra dan orang yang perduli dengan sastra Indonesia, saya merasa punya beban moral untuk membeli buku elektronik yang satu ini. Apalagi dengan harganya yang sangat bersahabat.

Saya memulai dengan membaca beberapa halaman. Tak sanggup melepaskan Madre walaupun saat masak dan makan akhirnya saya sukses menyelesaikan madre dalam dua jam setengah - saya tidak tahu pasti, saya tidak mengitung waktu. Tapi bukan hal yang harus di koar-koarkan Madre hanyalah sebuah novelet dengan 45 halaman versi elektronik.

Screenshot from ebook purchased on googlebook


*******

Madre adalah kisah biang roti yang bertemu dengan tuannya titik. Selesai! Bercanda HEHEHE Tidak mungkin sesimple itu. Kalau sesimple itu bukan Dee namanya.

Setting kisah Madre bermula di kuburan. Surat yang penuh tanda tanya membuat Tansen berada pada pilihan yang tumpu - harus menghadiri prosesi penguburan - karena secara tiba-tiba lelaki tua yang yang mayatnya baru dikuburkan itu menuliskan nama Tansen disurat wasiatnya. Hal ini tentu membuat Tansen bertanya-tanya. Dan dengan menghadiri prosesi penguburan ini dia berharap bisa menemukan jawaban atas semua kenanehan ini.

Setelah prosesi penguburan, pengacara pak Tan - alhmarhum yang menuliskan nama Tansen sebagai pewarisnya - mengajaknya berbicara. Hal ini berujung pada penyerahan amplop yang berisi alamat dan kunci.

Tansen pun tidak punya pilihan lain, selain mengunjungi tempat itu dan mencari tahu warisan apakah yang ia terima. Ternyata selain warisan dia juga menerima hal baru yaitu sejarah keluarganya. Satu hari mampu merubah bertahun-tahun sejarah keluarga yang Tansen telah simpan didalam memorinya.

Dari penjelasan pak Hadi, tangan kanan sekaligus karyawan Tan de Bakker, Tansen mendapat informasi baru tentang aliran darah yang mengalir ditubuhnya. Tansen besar dengan cerita bahwa dia adalah campuran Tasikmalaya dan India. Namun siapa sangka semua cerita itu keliru. Salah satu penjelasan yang di sediakan Dee atas kekeliruan ini adalah kondisi keturunan perempuan yang selalu bernasib sial: mati muda.

Ceritanya yang sesungguhnya Tan adalah kakek kandung Tanse dari pihak ibuya. Tan dan Laksmi - nenek Tansen yang keturunan India - menikah dan mendirikan sebuah toko roti yang saat ini biang rotinya diwariskan kepada Tansen. Ibunya yang meninggal saat Tansen masih bayi, membuat Tanse besar dengan cerita yang keliru. 

Hari pertama Tansen tidak tahu harus menyikapi semua berita yang penuh dengan tanda tanya ini. Tansen yang selama ini berdomisili di Bali dan tidak memiliki pekerjaan tetap selain nge-blog, akhirnya membuat sebuah tulisan tentang biang roti yang diwariskan kepadanya dan mem-postingkanya di blognya.

Awalnya dia meremehkan biang roti itu. Bahkan ia sempat menyuruh pak Hadi untuk membagikannya kepada orang miskin. Namun siapa sangka kombinasi biang roti dan postingannya di blog bisa mengubah hidung Tansen selama-lama. Perubahan apakah yang terjadi kepada hidup Tansen? Dan wanita manakah yang berubahan itu? Baca cerita selengkapnya didalam novelet Madre!

Teknik-teknik sastra yang di aplikasikan didalam novelet ini:

  1. Foreshadowing/ Prophetic Element
Saya tidak tahu apa kata yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk kedua istilah ini. Forshadowing adalah teknik yang digunakan dalam sastra dimana dipenulis menyematkan kode-kode pada awal cerita yang berhubungan erat pada kelanjutan pada bagian akhir cerita.

Dalam novelet ini misalkan ketika Dee menceritakan kebiasaan Tanse nge-blog. Kalau dilihat ngeblog dan biang roti tidak punya benang merah sama sekali. Tapi bukan buat Dee yang seorang penulis profesional. Blogging saja bisa menghadirkan warna baru di kronologi cerita Madre ini. Sebut saja bertemunya Tanse dan Mei yang nantinya kan merubah segala-galanya. (Saya tidak mau terlalu menspoil akhir cerita)

  1. Open-ended
Pada permasalahan identitas keturunan yang mengalir pada Tansen, kisah ini mungkin adalah sebuah kisah yang lengkap dengan resolusinya. Namun pada kisah cinta Tansen dan Mei, cerita ini adalah sebuah open-ended. Kita tidak tahu apakah mereka akan menjadi sebuah pasangan suami-istri atau hanya partner kerja.

  1. Genre
Secara genre novelet ini adalah sebuah romansa tapi bukan romansa yang sentimental. Kata romansa sering dikaik-kaitkan dengan sentimentalitas, tapi dengan dengan yang satu ini. Ada banyak hal yang disematkan dalam kisah romansa. Romansa tidak melulu harus kisah cinta seorang pria dengan wanita. Bisa saja kisah seorang lelaki yang menemukan jati dirinya seperti kisah Tanse didalam novelet Madre ini.

Awalnya Tanse sangat tidak suka dengan keterikatan. Namun siapa sangka, pangdangannya terhadap kehidupan berubah 100 persen setelah ketemu dengan pak Hadi dan keluarga Tan de Bakker lainnya. Akhirnya secara berangsur-angsur Tansen bisa menerima ide keterikatan pada satu hal, terutama pada satu profesi.

Hal ini membuatku berpikir seandainya Dewi Lestari hidup dan besar di Amerika tentu karyanya ini akan diadaptasi menjadi film romantic-comedy (romcom) yang diperankan oleh aktor-aktor sekaliber Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper. Bradley Cooper akan memerankan tokoh Tansen dan Jennifer Lawrence akan memerankan tokoh Mei. Tentu ini hanya sebuah hanyalan. Tidak mungkin juga deskripsi Mei cocok dengan karakter fisik Jennifer. Mei kan keturunan Tionghoa.

Saya hanya menyangkan penulis yang sangat mahir seperti Dewi Lestari karyanya hanya mandet di Indonesia saja. Saya rasa tulisan-tulisan Dewi Lestari tidak kalah bagusnya dengan tulisan-tulisan world best seller seperti The Fault in Our Stars-nya John Green dan lain-lain. Kekurangan Dewi Lesatari hanya karena dia menulis dalam bahasa Indonesia dan lahir Indonesia. Itu saja!

Berharap penerbit dan literary agent di Indonesia melihat hal ini. Dan berupaya mengusahakan pemasaran dan penerjemahan karya sastrawan Indonesia kedalam bahasa inggris. Ini sangat miris. Bagi penulis sendiri, tidak ada salahnya untuk unjuk diri di event-event internasional. Dengan menghadiri event internasional sedikit demi sedikit penulis Indonesia akan lebih dikenal dan karyanya akan bisa lebih dilirik. Menurutku strategi pemasaran inilah yang digunakan oleh banyak sastrawan Turki seperti Elif Shafak dan lain-lain. Sebagai seorang penulis tentu punya pesan-pesan sosial tertentu yang disematkan didalam karya-karya. Dan bagi sebagian penulis pesan sosial itu juga diperlebar dengan menyuarakannya di event-event sosial seperti misalkan penulis yang bergerak dibidang emansipasi wanita bisa menghadiri event yang bersangkutan. Yang tertari dengan isu pemanasan global bisa menghadiri isu yang bersangkutan juga.

Saya cinta Indonesia dan bidang yang saya sangat peduli adalah dunia membaca dan sastra. Karenanya saya berharap sastra Indonesia bisa lebih baik kedepannya. Dengan mempromosikan karya sastrawan Indonesia kedunia luar. Dan juga bagi orang Indonesia mari budayakan membaca!

0 comments: