Nasib Sastra dan Perfilman Indonesia


Tidak bisa di pungkiri bahwa seni memiliki peran sangat besar dalam kemajuan sebuah bangsa. Dengan seni sebuah bangsa bisa membuktikan kehebataannya kepada bangsa lain. Contoh yang terdekat dengan realitas kita hari ini adalah berdirinya gedung tertinggi Burj Khalifa di Dubai. Sesaat diumumkannya bahwa akan dibangun gedung tertinggi didunia yang akan mengalahkan rekor-rekor sebelumnya, masyarakat dunia langsung berdecap kagum.

Ada banyak jenis seni, contoh berikut diatas adalah seni dalam bentuk bangunan. Semua jenis kesenian sebenarnya memiliki fungsi yang sama - mendorong individu untuk produktif dalam berkreasi. Seni juga sangat membantu dalam perkembangan otak. Jika membaca biografi manusia-manusia terpintar, kita menemukan bahwa mereka juga sangat akrab dengan kesenian.

Lalu ketika kita menghadapkan cermin kepada Indonesia, refleksi seperti apakah yang terpantul di dalam cermin? Kesenian di Indonesia sudah ada dari zaman dahulu. Namun hal ini berlangsung secara individu dan kelompok. Pemerintah sangat jarang membantu dalam melestarikannya. Bahkan dalam beberapa kasus budaya Indonesia sampai di claim oleh negara tetangga.

 Pada awalnya seni-seni seperti tarian hanyalah bentuk apresiasi terhadap identitas kelompok - yang secara ekonomi bisa dikatakan tidak menghasilkan rupiah sama sekali. Namun ada dua jenis media yang secara khusus bisa melestarikan dan juga menghasilkan uang dengan menampilkan kesenian Indonesia didalamnya, sebut saja Film dan Karya Sastra. Seni-seni seperti tarian, ukiran, lukisan, sastra semuanya bisa disatukan dalam satu lensa - perfilman dan karya sastra.

Nasib perfilman dan sastra di Indonesia juga bersifat yang sama, individual ataupun perusahaan swastra. Pemerintah enggan ikut andil dalam penggalakannya. Padahal konsumen tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin difasilitasi.

Akhir-akhir ini ada diskusi tentang perfilman Indonesia yang jumlah penontonnya sangat sedikit. Saat ditanyakan apa sih faktor penyebabnya. Salah satu jawabannya adalah jumlah bioskop yang tidak menyebar keseluruh Indonesia. 75% bioskop berada di pulau Jawa. Masyarakat di luar jawa otomatis tidak bisa menikmatik film Indonesia langsung di layar lebar. Lalu opsi yang tersisa buat mereka adalah DVD. DVD pun yang sampai ke daerah tempat tinggal mereka hanyalah bentuk bajakan, karena perusahaan yang menyediakan VCD legal tidak berniat untuk membuka cabangnya di daerah.

Bagi saya ini tidak mengagetkan sama sekali. Saya berasal dari kota kecil di Provinsi Aceh. Selama hidup saya, 21 tahun, belum ada langkah-langkah bijak dalam menyelesaikan permasalahan ini. Alasan kenapa bioskop tidak didirikan pun saya tidak mengerti. Mungkin untuk di kabupaten masih sulit untuk mendirikan bioskop karena ditakutkan jumlah penonton tidak sesuai dengan harga produksi. Tapi yang saya heran kenapa bisokop tidak ada di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh? Kalau permasalahannya adalah sistem syariat Islam yang berlaku di Aceh, menurut saya ini sangat konyol. Film memiliki kekuatan seperti pisau. Disaat tertentu pisau bisa berfungsi positif dan bahkan sangat positif karena tanpa pisau makanan tidak bisa di proses. Namun kalau pisau digunakan dengan tidak bijak, pisau juga bisa berfungsi negatif. Film juga begitu. Untuk memastikan film yang hadir positif, mungkin untuk Aceh sendiri bisa di dirikan lembaga sensor tersendiri. Hanya film-film seperti Laskar Pelangi, 5 CM, dan lain-lain yang positif bisa masuk. Kalau film-film dengan tema pocong tidak dibolehkan masuk, kami sebagai konsumen juga tidak masalah. Masalah hadir ketika kata "tidak" hadir, tanpa ada solusi yang berkelanjutan.
Begitu juga dengan nasib sastra Indonesia. Banyak keluhan bahwa statistik membaca di Indonesia sangat rendah. Lagi-lagi keluhan tanpa ada solusi. Padahal akar permasalahannya ada di distribusi buku. Bagaimana mungkin masyarakat Indonesia bisa rajin membaca jika toko buku saja tidak ada di daerahnya.
Mungkin buku yang berbeli masih sulit terjangkau oleh kalangan mengengah kebawah, menginat ada kepeluan lain yang menunggu. Lalu bagaimana dengan perpustakaan? Bukankah seharusnya setiap kelurahan memiliki perpustakaan sendiri? Sehingga masyarakat bisa datang dan membaca disana?

Jangankan perpustakaan wilayah, untul sekolah sendiri ada yang tidak memiliki perpustakaan. Waktu saya SD, buku hanya ada dilemari kelas. Dan buku yang tersedia hanyalah buku pelajaran. Tidak ada buku bacaan tambahan untuk para murid. Bahkan buku pelajaran tersedia adalah buku dengan kurikulum yang sudah tidak susai dengan zamannya. Melihat ini, kita tidak mungkin untuk tidak membahas tentang sistem Ujian Nasional yang sama seIndonesia. Sistem ujian sama namun sistem pendidikan berbeda. Adilkah?

Sebagai seorang yang sangat memperhatikan kesenian Indonesia terutama seni kesusastraan, saya sangat kecewa. Hal yang saya coba lakukan adalah menyediakan buku-buku untuk orang-orang terdekat saya. Saya ingin mereka terbiasa dengan budaya membaca ditengah-tengah kekurangan yang ada. Karenanya saat saya pulang ke tanah air nanti saya akan membahwa semua koleksi buku saya dan meninggakannya di rumah orangtua saya. Semoga dengan begitu mereka akan tertarik membaca.

Dalam konteks mengenalkan sastra Indonesia ke masyarakat global, saya juga mencoba ikut andil. Dengan memeberikan list nama-nama sastrawan Indonesia kepada orang-orang yang tertarik membaca sastra luar. Kebetulan di Turki, satu-satunya karya sastrawan Indonesia yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Turki adalah Andrea Hirata. Dan saat ini hanya karyanyalah yang bisa saya promosikan. Saya juga memberikan list karya sastrawan Indonesia yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bisa dibeli melalui situs belanja online seperti amazon.com. Semoga cara-cara kecil seperti bisa memajukan sastra Indonesia.

Karena jika ditinjau, sedikit sekali sastrawan Indonesia yang besuara di dunia global. Entah apa penyebabnya, mungkin karena kesulitan dalam berbahasa. Saat ini untuk menjadi seorang penulis terkenal, mereka harus giat menghadiri konferensi-konferensi. Menyuarakan pesan yang ada dalam bukunya. Semoga dengan menghadiri acara seperti Frankfurt Bookfair, karya sastrawan Indonesia bisa lebih diminati, terutama dalam proses translasi. Dan juga sastrawan Indonesia lebih vokal menyuarakan pesan-pesan yang ada dalam bukunya dalam konteks global, bukan hanya di Indonesia. Sehingga, harapan terakhirnya adalah terdengarnya nama sastrawan Indonesia sebagai penerima noble sastra. Amin..

0 comments: