Harus di akui
bahwa rilisnya Laskar Pelangi di tahun 2005 dan Trilogi Negeri 5 Menara di
tahun 2009 telah mengubah paradigma masyarakat menengah kebawah Indonesia
tentang kemungkinan untuk mengadu nasib keluar negeri - khususnya untuk
bersekolah.
Sebelum hadirnya
kedua karya ini masyarakat menengah kebawah Indonesia berpikiran bahwa untuk
pergi keluar negeri hanya ada dua alasan: pertama, untuk naik haji dan yang
kedua guna bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Namun setelah kedua
penulis, Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi, menuangkan pengalaman pribadinya
mengenyam pendidikan di luar negeri kedalam karya sastra - orang-orang
(terutama kalangan menengah kebawah) mulai melihat dunia dengan cara baru.
Mulai melihat adanya peluang untuk mengenyam pendidikan di luar negeri.
Bukan tanpa
kontroversi, kedua buku ini juga kerap di tuduh sebagai penyebar pesan sesat.
Karena adanya masyarakat menengah kebawah yang menyalahartikan bahwa hidup
diluar negeri bersinonim dengan kemewahan dan kenyamanan hidup; karena adanya
penggambaran betapa bahagianya karakter didalam novel melewati hidupnya di luar
negeri.
Tentu
kesalahpahaman masyarakat tersebut tidak ada hubungannya dengan penulis sama
sekali. Pekerjaan seorang penulis hanyalah menyampaikan cerita dan membuat
cerita semenarik mungkin. (Untuk berbicara tentang pesan, kita harus mengetahui
pandangan politik si penulis, dengan gerakan sastra mana mereka menulis, apakah
realisme ataukah yang lainnya? Selanjutnya apa pandangan sipenulis tentang
pesan, apakah dia seorang penulis yang didaktik atau hanya mengedepankan
estatika?). Jika ada yang menyalahartikan karya sastra, yang notabene adalah
fiksi, maka yang yang perlu dipertanyakan adalah pendidikan di Indonesia -
terutama budaya membaca di Indonesia. Kalau masyarakat tidak bisa membedakan
antara fiksi dan nyata, maka disalanalah kesalahan terletak.
Bukan berarti
karya sastra tidak memiliki daya dalam mengubah pandangan masyarat. Bahkan
dalam sejarahnya, English Studies
dibentuk atas pertimbangan bahwa setelah perang dunia kedua masyarakat semakin
menjauh dari agama. Sedangkan agama saat itu adalah satu-satunya lembaga yang
mengatur dan mengajarkan pesan moral. Para pendiri English Studies mencoba
mencari alternatif yang bisa menyampaikan pesan moral, dan menurut mereka karya
sastralah yang memiliki kekuatan itu. Hasilnya, dibentuklah sebuah bidang studi
yaitu English Studies.
Dalam
perkembangannya, ada banyak sekali perdebatan tentang bagaimana pembaca harus
memperlakukan karya sastra. Apakah mempercayainya secara penuh, ataukah hanya
mengambil pesan yang baik-baik saja. Paradoks ini lah yang sering membuat
masyarakat awam terkecoh. Padahal jika ada pihak yang perlu disalahkan dalam
kasus seperti yang saya utarakan diatas, itu adalah pembaca. Pembaca harusnya
mengerti bahwa mereka memiliki otoritas penuh dalam menginterpretasikan makna
karya sastra tersebut.
Dalam dunia
Sastra ada Theory Movement yang disebut sebagai Russian Formalism. Didalam
teori ini, mereka percaya bahwa untuk mengerti pesan yang ada dalam sebuah teks
yang diperlukan hanyalah close reading - atau
jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia membaca dengen jeli. Tidak yang
namanya mengaitkan pengalaman hidup sipenulis dengan karyanya. Proses isolasi
teks inilah yang akhirnya akan melahirkan makna baru kepada seluruh pesan dalam
karya sastra tersebut.
Untuk merangkum
tulisan ini, perlu rasanya melakukan refleksi terhadap kenyataan dunia membaca
di Indonesia. Tidak saja Indonesia memiliki pekerjaan rumah (PR) dalam
meningkatkan budaya membaca pada masyaraktanya tapi juga memberi pengetahuan
bahwa dalam membaca sebuah tulisan, bukan hanya terpatok pada karya sastra,
perlu adanya kesadaran bahwa tidak semua yang tertulis itu dapat ditelan
mentah-mentah. Dibutuhkan adanya kemeraguan! Karena meragu adalah bukti bahwa
kita nyata.
0 comments:
Post a Comment