Lingkungan Kerja yang Sehat




courtesy https://business-humanrights.org

Beberapa bulan yang lalu saya sempat bekerja disalah satu lembaga bahasa di kota tempat saya tinggal. Setelah bekerja hampir tiga bulan, saya akhirnya memutuskan untuk berhenti karena beberapa alasan. Salah satunya adalah upah yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan dan ketidakperdulian si manager kepada pekerja. Alasan-alasan ini bukan saya buat-buat sendiri. Saya sampai pada konklusi itu setelah berbincang-bincang dengan orang lain yang juga bekerja pada lembaga bahasa berbeda. Ditempat ia bekerja, dia dibayar 13TL perjam. Sedangkan saya, dibayar 8TL perjam. Selain itu, keterlambatan pembayaran juga menjadi masalah. Kalau terlambat tidak disengaja bukan hal yang parah. Namun keterlambatan pembayaran yang saya alami memang sudah terencana. Saya katakana begitu, karena si manager memang telah membuat sebuah policy perusahaan bahwa pembayaran gaji bukan di akhir bulan, melainkan min 20 hari setelah akhir bulan. Jadi kita kerja sebulan penuh, tapi gaji baru akan dikasih tanggal 20 bulan berikutnya. Itu pun kalau dibayar. Kalau tidak, pembayarannya bisa saja terlambat sampai akhir bulan berikutnya.

Pengalaman saya ini membuat saya berpikir tentang lingkungan kerja yang sehat. Seperti apa sih lingkungan kerja yang sehat? Saya rasa semua pekerja bisa menjawab pertanyaan ini dengan gampang. Di sisi pekerja, mereka ingin hak-hak mereka terpenuhi. Hak gaji, hak mengambil cuti, hak akan lingkungan kerja yang aman dan hal remeh-temeh lainnya. Namun pihak perusahan juga memiliki haknya, disamping kewajibannya tadi (yaitu memenuhi kewajiban akan hak para pekerja). Pihak perusahaan berhak mendapatkan totalitas kerja dan komitmen yang kuat dari para pekerja. Untuk mendapatkan sisi tengah permasalahan ini, pekerja dan pihak perusahaan harus saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Resep yang mudah bukan?

Namun kenyataannya, banyak sekali kasus dimana pekerja tidak bahagia karena pihak perusahaan bertubi-tubi mengeksploitasi mereka. Apakah itu dengan menggaji mereka dibawah upah minimum, mempekerjakan mereka melebihi jam kerja, atau kondisi tempat kerja yang tidak aman (tidak ada sistem pendeteksi api dll.) Mungkin kedua permasalahan ini sangat lazim ditemukan di Indonesia. Kondisi Indonesia yang sangat over-populated menguntungkan pihak perusahaan. Mereka tidak perlu susah payah untuk mendapatkan pekerja yang rela dibayar dibawah upah minimum. Bahkan konon mendapatkan pekerjaan saja mereka sudah merasa bersyukur. Kenyataan inilah yang menarik para perusahaan besar kelas dunia untuk membuka cabang di Indonesia dan Negara kelas tiga lainnya.
Lalu bagaimana cara mengatasi kebobrokan ini? Saya pribadi berpendapat bahwa kehadiran pemerintah sangat vital dalam menengahi permasalahan ini. Pemerintah harus tegas dalam menegakkan keadilan terhadap para hak buruh perusahaan baik perusahaan yang berbentuk industri maupun usaha-usaha lainnya. Pemerintah harus menetapkan hal-hal yang harus dipenuhi perusahaan untuk memberikan izin usaha sepeti lingkungan kerja yang memenuhi standar internasional. Menetapkan upah minimum daerah serta menyediakan layanan pengaduan seandainya pihak perusahaan tidak memenuhi hak pekerja. 

Hal lain yang mungkin dilakukan adalah membentuk serikat buruh yang berfungsi untuk menyuarakan hak-hal para pekerja, memonitori kenyataan kerja di lapangan, dan jika perlu menuntu hak-hal para pekerja yang tidak terpenuhi. Didalam serikat buruh ini harus disediakan payung hukum, dimana pekerja bisa menggunakan jasanya saat berhadapan dengan hukum. Misalnya ketika pihak perusahaan menuntut si pekerja ke meja pengadilan.

Lebih dari itu, kita hanya bisa berharap agar pihak perusahaan memiliki hati nurani dengan begitu mereka bisa memenuhi hak para pekerja. Jika ingin mendapatkan dedikasi dari pekerja, pihak perusahaan harusnya tahu apa yang mereka harus lakukan.

Mari menciptakan lingkungan kerja yang sehat agar kita mendapatkan hasil yang kita inginkan. Di lembaga bahasa, misalnya, jika ingin melahirkan anak-anak yang bisa belajar bahasa dengan sukses, buatlah si guru bahagia dulu. Dengan mood yang terus bahagia, maka si akan mengeluarkan tenaganya secara optimal untuk mengajar si anak belajar bahasa bahasa. Dengan begitu hasil yang diharapkan pun bisa tercapai. Begitu juga dengan jenis pekerjaan lain.

0 comments: