Moda transportasi baru berwarna biru langit membawaku
mengelilingi sudut Jakarta. Berawal dari Lebak Bulus, transit di Harmoni, hingga
akhirnya menapakkan kaki didepan sang landmark negeri ini – Monumen Nasional
(Monas). Dalam perjalanan, ku termenung, menyaksikan drama kehidupan yang tiada
habisnya menarik perhatianku.
Dimulai dari gerak-gerik manusia dalam gerbong bus. Setiap
orang begitu erat merangkul bawaannya. Seolah mereka takut akan dicopet atau
dirampok. “Ada apa?,” tanyaku. “Tak ada kah lagi rasa percaya dalam negeri ini?
Bahkan didalam moda transportasi yang dipenuhi kamera pengaman, orang-orang
tidak juga merasa aman? Sangat ironis.”
Lalu mataku ditarik oleh pemandangan lainnya. Kota yang
ditumbuhi oleh hutan beton, bukti kemajuan suatu negeri. Namun miris, selain
hutan-hutan beton itu, Jakarta juga di penuhi oleh semak-semak kabel. Segala jenis
kabel. Kabel telepon, kabel internet, dan kabel-kabel lainnya. Apa bedanya
Jakarta dengan hutan belantara? Hanya beda format saja. Hutan belantara dipenuhi
oleh pohon-pohon rindang dan semak tak beraturan. Jakarta? Jakarta dipenuhi
oleh hutan beton dan kabel yang tidak beraturan. Selain itu, hutan beton, yang
seyogyanya adalah bukti kemajuan sebuah bangsa, disini hutan beton adalah bukti
kesenjangan sosial. Lihatlah, disamping gedung yang indah itu ada hamparan
rumah-rumah yang tidak layak disebut rumah. Tapi, kekumuhan.
Belum juga selesai dengan lamunanku, suara bising sudah
lebih dulu mendominasi kesadaranku. Orang-orang beramai-ramai menggerutu. Satu mobil
berukuran besar, muatan 7 orang, namun hanya diisi oleh hanya satu orang,
melaju ditengah keramaian. Dan tanpa sadar, atau penuh kesadaran, kendaraan itu
berhenti ditengah jalan dalam keadaan rambu-rambu yang hijau. Otomatis semua
kendaraan dibelakangnya mengklakson dan terjadilah kegaduhan. Usut punya usut,
ternyata pengendara mobil tersebut adalah seorang wanita muda yang asyik dengan
gadgetnya. Dan saat lampu lalu lintas
berubah menjadi hijau, dia masih asyik dengan gadgetnya. Terjadinya kemacetan panjang. Saat sipengendara melaju,
lampu lalu lintas sudah berubah menjadi merah lagi. Dan orang-orang pun tanpa
pikir panjang berteriak meluapkan kekesalannya.
Ini hanya satu dari sekian banyak drama kehidupan yang
terpancar di Jakarta. Macet, perumahan kumuh, polusi, manusia yang tidak saling
percaya, dunia kerja yang sangat menuntut kerja keras namun tidak memberikan
hal yang sebaliknya.
Hasilnya, orang-orang Jakarta berubah!
Dulu, Jakarta terkenal dengan manusia-manusianya yang tak
kenal lelah. Dalam kerasnya kehidupan yang mereka lalui, ada satu hal yang
tidak pernah sirna dari mereka – senyum dan tawa. Kini senyum dan tawa itu
sudah mulai luntur. Yang tersisa adalah manusia-manusia yang mengutuk realitas
kehidupan. Bukannya senyum hangat, yang terpancar dari wajah-wajah penghuni
Jakarta adalah aura dingin - satu hal yang menyatukan Jakarta dengan ibu kota –
ibu kota Negara lainnya.
Ini membawaku kepada guyonan yang selama ini tersebar di
masyarakat, “sekejam-kejamnya ibu tiri, Ibu kota lebih kejam.” Guyonan atau
sebuah realitas?
Jakarta dengan jumlah penduduk yang melebihi angka 9600
juta jiwa, sebuah angka yang tidak ideal untuk sebuah kota yang miskin
menejmen. Infrasturktur, tata kota, transportasi dan lain-lainnya. Semuanya masih
tidak mumpuni. Dan dengan semua kondisi ini, orang-orang dari luar pulau masih
saja ingin berbondon-bondon ke Jakarta. Demi apa? Demi sebuah kesempatan. Jakarta
bisa saja luluh lantah, namun dalam keluluh lantahannya Jakarta masih
menawarkan kesempatan. Sedangkan daerah, dalam kedamaiannya, dalam keasriannya,
tidak menawarkan banyak kesempatan. Semuanya jelas. Tidak ada kejutan. Dan mereka
ke Jakarta demi kejutan itu.
Orang-orang dari daerah yang haus akan kejutan, sampai di
Jakarta akan terkejut dengan seterkejut-kejutnya. Sampai-sampai mereka kencing
dan mencret dicelana – saking terkejutnya. Mereka terkejut dengan kejamnya hidup di
Jakarta. Mereka terkejut karena fantasi mereka tentang Jakarta tidak sesuai
dengan realita. Mereka terkejut dengan dinginnya warga Jakarta. Mereka terkejut
karena Jakarta tidak menyambut kehadiran mereka dengan senyum hangat, malah
aura dingin. Mereka terkejut dan pingsan sesaat. Esok harinya mereka menjadi
bagian dari Jakarta yang kejam, dingin dan muram.
0 comments:
Post a Comment