Taken randomnly from google.com |
Sebagai generasi yang terlahir di masa ketika produk
komunikasi telah booming, hanya beberapa tahun dimasa kecil saya saja saya
tidak menyentuh telepon (hingga SMP). Saat duduk di kelas 1 SMA saya mulai
memiliki telepon genggam saya sendiri walaupun hanya berfungsi untuk SMS, Nelpon
dan Radio. Tidak ada MP3, tidak ada kamera dan tidak ada koneksi internet.
Namun keadaan ini segera berganti seiring waktu. Kelas 2 SMA saya akhirnya
punya HP flip sony yang sebelumnya milik Bapak saya. Dan sebelum naik kelas 3,
karena orang-orang sangat heboh dengan blackberry, saya pun akhirnya menabung
untuk membeli blackberry Gemini dengan uang tabungan saya pribadi. Saya masih
punya blackberry Gemini itu sampai hari ini. Barulah akhir-akhir ini saya
mengganti HP ke asus Zenfone 4 Max demi mengikuti tuntunan zaman.
Kembali ke perbincangan tentang jarak. Jarak memiliki
makna harfiah dan tersirat. Secara harfiah jarak merujuk kepada lokasi tempat
seseorang berara dengan orang lainnya, yang umumnya berbeda. Sedangkan secara
tersirat, jarak berarti keadaan dimana ada pemisah antara orang satu dengan
yang lainnya, baik secara komunikasi maupun hubungan emosional / batin.
Akhir-akhir ini saya sangat tertarik sekali kapada
perkara jarak ini. Saya sering bertanya pada diri sendiri: apakah jarak yang
harfiah berefek kepada jarak yang tersirat?
Jika ada yang berkata bahwa jarak harfiah tidak berefek
samping pada jarak tersirat, saya sangat salut sekali. Apalagi kepada sepasang
suami-istri yang dipisahkan oleh jarak karena pekerjaan. Kalau misalkan
komunikasi mereka tetap lancar walaupun dipisahkan jarak, saya akan salut
sekali. Namun, kalau ada yang bilang bahwa tidak jarang jarak secara harfiah
berefek kepada hubungan pertemanan, batin dan emosional – saya sangat bisa
relate kepada situasi ini.
Sebagai seorang yang menghabiskan hampir 80 persen hidup diperantauan,
saya sangat bisa merasakan fenomena ini. Awal-awal, saat saya masih SMA
orangtua saya menelpon hampir setiap hari, jadi komunikasi sangat lancar. Namun
ketika kuliah, dikarenakan mahalnya biaya menelpon, seiring waktu komunikasipun
berkurang. Hingga sempat saya hanya menelpon sebulan sekali. Sekarang kita
sudah kembali di Indonesia pun saya tidak otomatis mengembalikan ritme
komunikasi kesemula. Saya menelpon hanya ketika saya ingat. Bukan karena saya
tidak ingin menelpon orangtua, hanya saja terkadang pekerjaan sangat menumpuk
dan keinginan untuk menelpon pun terlupakan.
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang pernah muncul
dalam hidup kita, seperti teman dan kerabat? Pertanyaan serius, seberapa sering
kita bertegur sapa dengan teman kita saat kita sekolah atau kuliah?
Saya baru lulus sekitar 8 sampai 9 bulan, namun saya bisa
merasakan bahwa hubungan saya dengan teman-teman saya di Turki semakin distant. Tidak ada masalah. Hanya saja
ini seperti seleksi alam. Perbincangan sudah berbeda, selera humor sudah
berbeda, focus sudah berbeda dan zona waktu sudah berbeda. Untunglah, walaupun
intensitas komunikasi baik dengan orangtua maupun teman dari masa lalu
berkurang, ketika ada kesempatan untuk bertegur sapa, itu terasa sangat special
sekali. Terkadang petanyaan seperti, “apa kabar?”, “bagaimana kabar kerjaan?”
dan sebagainya bisa membuat hari lebih indah.
Namun ada juga teman-teman yang entah mengapa memilih
untuk tidak melanjutkan komunikasi yang sudah terjalin. Padahal, misalkan,
sudah berteman bertahun-tahun diperantauan. Saat kembali ketanah air dia malah
memilih tidak berhubungan lagi dengan teman-teman diperantauan.
Apa pendapat kalian tentang JARAK (harfiah maupun
tersirat)?
0 comments:
Post a Comment