Orang-orang yang pernah atau belum pernah tinggal di Jakarta memiliki stigma tersendiri tentang kota ini. Beberapa stigma itu benar dan beberapa lagi sangat relatif ke individu itu tersendiri. Tak elak, pandangan tentang realitas kota ini pun menjadi terpecah-pecah.
Saya?
Saya sendiri sangat dilematis memandang kota ini. Disatu sisi kota ini adalah kota penuh harapan. Namun disisi lain, harapan yang ada datang dengan konsekuensi. Datang dari kota kecil di Barat Indonesia, berada di Jakarta menghadirkan shock therapy tersendiri. Jakarta yang enggan beramah-tamah, apalagi berbasa basi. Jakarta yang tak mengenal kompromi. Jakarta yang dalam satu sisi sangat progresif, tapi juga masih sangat konvesional dalam caranya tersendiri. Jakarta yang sangat tumpang tindih antara biaya hidup yang mahal dan gaji tak seberapa. Jakarta yang dari pandangan sekilas terlihat seperti setumpuk kota penuh bangunan menjulang tinggi, namun (prediksi saya) tidak kurang dari 70% pejuang Ibu Kota tinggal dikamar-kamar kecil bernamkan kost-kostan yang mematok harga tidak masuk akal dengan fasilitas minim yang diberikan. Jakarta yang selalu berkoar-koar ingin disandingkan dengan kota-kota metropolitan dunia seperti New York, Seoul, dan lain-lain namun sangat jauh.
Namun dari semua dikotomi itu, saya yang notabene adalah orang asing di Jakarta, melihat ada secercah harapan akan kemajuan kota ini. Setiap hari ada perubahan, ada perkembangan, dan ada keinginan untuk berbenah. Itu tidak datang dari pemimpin yang mengatur kota ini, tapi dari keinginan masyarat Jakarta sendiri untuk berubah kearah yang lebih baik. Mereka mungkin tidak bergerak dengan badan tapi mereka aktif menyuarakan keinginan mereka. Untungnya pemimipin negeri ini sudah mau mendengar aspirasi masyarakta walaupun sering dituding memiliki agenda terselubung dibalik setiap tindakannya.
Saya sangat tidak tertarik dengan dunia politik dan birokrat. Saya hanya tertarik terhadap perubahan. Naif memang, namun setelah melihat beberapa tokoh negeri yang bisa bekerja tanpa disibukkan dengan urusan partai saya menjadi semakin yakin bahwa hal ini sangat mungkin.
Lalu bagaimana kondisi Jakarta saat ini?
Setalah mondar-mandir di Jakarta selama satu tahu ini, saya melihat banyak sekali persamaan antara Jakarta dengan ibu kota negera lain. Padat, salah satunya. Namun juga yang paling saya senangi adalah adanya transportasi masal seperti Transjakarta. Sebagai pengguna aktif Transjakarta saya sangat bangga dengan fasilitas ini. Mulai dari harganya yang sangat terjangkau dan kwalitasnya yang tidak kalah dengan bus-bus umum yang ada dinegara lain.
Tentu saja memiliki Transjakarta saja tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Jakarta untuk berkomutasi. Perlu alternatif lain seperti commuter line yang sudah berjalan sangat baik saat ini, selain itu ada MRT dan LRT yang sudah memasuki proses finishing, dan jenis-jenis transportasi masal lainnya.
Selain transportasi, ada hal lain yang juga sama pentingnya dengan transportasi itu tersendiri, trotoar untuk pejalan kaki. Menuju halte bus transjakarta tidak jarang penumpang harus berjalan kaki. Namun kondisi trotoar di Jakarta membuat proses jalan kaki menuju halte sangatlah sulit. Untungnya, kehadiran perhelatan besar ASIAN GAMES 2018, membawa berita baik bagi pejalan kaki. Kini trotoar di sudut kota Jakarta mulai dibenahi menyerupai trotar yang ada di kota-kota besar di negara lain.
Akomodasi adalah permasalahan lain yang menurut saya membutuhkan campur tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. Banyaknya jumlah pejuang ibu kota membuat permasalah ini tambah rumit. Dan secara pribadi saya meminta maaf karena menambah PR Pemprov Jakarta, namun tampa kami-kami ini usaha di Jakarta tidak akan menjadi apa-apa. Kami membantu perekonomian Jakarta berjalan mulus dengan talenta-talenta yang kami punya. Namun ada satu hal yang saya keluhkan yaitu akomodasi yang tersedia di Jakarta. Saya tidak menapik adanya akomodasi yang manusiawi di Jakarta namun harga yang ditawarkan sangat tidak manusiawi. Akhirnya pejuang Jakarta menempati kamar-kamar kost-kostan yang jauh dari layak. Harapan saya, pemerintah Jakarta mengurus sistem bisnis akomodasi di Jakarta bukan hanya perhotelan tapi juga kost-kostan. Saya kira belum ada regulasi khusus untuk bisnis kost-kostan dan sekarang sudah saatnya regulasi itu dibuat. Saya tidak menginginkan birokrasi yang berbelit-beli tapi yang praktis dan menguntungkan semua pihak. Lebih baik lagi jika Pemerintah Pemprov menyediakan fasilitas kost-kostan yang dikelola oleh Pemprov sendiri dengan harga yang disesuaikan dengan UMR Jakarta.
Secara keseluruhan, saya tidak serta-merta setuju dengan stigma yang disematkan ke Jakarta. Buktinya saya masih merasa betah untuk berjuan di Jakarta. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus konform terhadap realitas sosial yang ada. Dosen saya mengatakan, kunci dari segala perbuhan adalah ketika masyarakat meminta adanya perubahan itu. Jadi tidak boleh berhenti untuk meminta adanya perubahan. Tapi juga dalam waktu yang sama, kita harus ikut menjadi agen perubahan.
Saya?
Saya sendiri sangat dilematis memandang kota ini. Disatu sisi kota ini adalah kota penuh harapan. Namun disisi lain, harapan yang ada datang dengan konsekuensi. Datang dari kota kecil di Barat Indonesia, berada di Jakarta menghadirkan shock therapy tersendiri. Jakarta yang enggan beramah-tamah, apalagi berbasa basi. Jakarta yang tak mengenal kompromi. Jakarta yang dalam satu sisi sangat progresif, tapi juga masih sangat konvesional dalam caranya tersendiri. Jakarta yang sangat tumpang tindih antara biaya hidup yang mahal dan gaji tak seberapa. Jakarta yang dari pandangan sekilas terlihat seperti setumpuk kota penuh bangunan menjulang tinggi, namun (prediksi saya) tidak kurang dari 70% pejuang Ibu Kota tinggal dikamar-kamar kecil bernamkan kost-kostan yang mematok harga tidak masuk akal dengan fasilitas minim yang diberikan. Jakarta yang selalu berkoar-koar ingin disandingkan dengan kota-kota metropolitan dunia seperti New York, Seoul, dan lain-lain namun sangat jauh.
Namun dari semua dikotomi itu, saya yang notabene adalah orang asing di Jakarta, melihat ada secercah harapan akan kemajuan kota ini. Setiap hari ada perubahan, ada perkembangan, dan ada keinginan untuk berbenah. Itu tidak datang dari pemimpin yang mengatur kota ini, tapi dari keinginan masyarat Jakarta sendiri untuk berubah kearah yang lebih baik. Mereka mungkin tidak bergerak dengan badan tapi mereka aktif menyuarakan keinginan mereka. Untungnya pemimipin negeri ini sudah mau mendengar aspirasi masyarakta walaupun sering dituding memiliki agenda terselubung dibalik setiap tindakannya.
Saya sangat tidak tertarik dengan dunia politik dan birokrat. Saya hanya tertarik terhadap perubahan. Naif memang, namun setelah melihat beberapa tokoh negeri yang bisa bekerja tanpa disibukkan dengan urusan partai saya menjadi semakin yakin bahwa hal ini sangat mungkin.
Lalu bagaimana kondisi Jakarta saat ini?
Setalah mondar-mandir di Jakarta selama satu tahu ini, saya melihat banyak sekali persamaan antara Jakarta dengan ibu kota negera lain. Padat, salah satunya. Namun juga yang paling saya senangi adalah adanya transportasi masal seperti Transjakarta. Sebagai pengguna aktif Transjakarta saya sangat bangga dengan fasilitas ini. Mulai dari harganya yang sangat terjangkau dan kwalitasnya yang tidak kalah dengan bus-bus umum yang ada dinegara lain.
Tentu saja memiliki Transjakarta saja tidak cukup untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Jakarta untuk berkomutasi. Perlu alternatif lain seperti commuter line yang sudah berjalan sangat baik saat ini, selain itu ada MRT dan LRT yang sudah memasuki proses finishing, dan jenis-jenis transportasi masal lainnya.
Selain transportasi, ada hal lain yang juga sama pentingnya dengan transportasi itu tersendiri, trotoar untuk pejalan kaki. Menuju halte bus transjakarta tidak jarang penumpang harus berjalan kaki. Namun kondisi trotoar di Jakarta membuat proses jalan kaki menuju halte sangatlah sulit. Untungnya, kehadiran perhelatan besar ASIAN GAMES 2018, membawa berita baik bagi pejalan kaki. Kini trotoar di sudut kota Jakarta mulai dibenahi menyerupai trotar yang ada di kota-kota besar di negara lain.
Akomodasi adalah permasalahan lain yang menurut saya membutuhkan campur tangan Pemerintah Provinsi Jakarta. Banyaknya jumlah pejuang ibu kota membuat permasalah ini tambah rumit. Dan secara pribadi saya meminta maaf karena menambah PR Pemprov Jakarta, namun tampa kami-kami ini usaha di Jakarta tidak akan menjadi apa-apa. Kami membantu perekonomian Jakarta berjalan mulus dengan talenta-talenta yang kami punya. Namun ada satu hal yang saya keluhkan yaitu akomodasi yang tersedia di Jakarta. Saya tidak menapik adanya akomodasi yang manusiawi di Jakarta namun harga yang ditawarkan sangat tidak manusiawi. Akhirnya pejuang Jakarta menempati kamar-kamar kost-kostan yang jauh dari layak. Harapan saya, pemerintah Jakarta mengurus sistem bisnis akomodasi di Jakarta bukan hanya perhotelan tapi juga kost-kostan. Saya kira belum ada regulasi khusus untuk bisnis kost-kostan dan sekarang sudah saatnya regulasi itu dibuat. Saya tidak menginginkan birokrasi yang berbelit-beli tapi yang praktis dan menguntungkan semua pihak. Lebih baik lagi jika Pemerintah Pemprov menyediakan fasilitas kost-kostan yang dikelola oleh Pemprov sendiri dengan harga yang disesuaikan dengan UMR Jakarta.
Secara keseluruhan, saya tidak serta-merta setuju dengan stigma yang disematkan ke Jakarta. Buktinya saya masih merasa betah untuk berjuan di Jakarta. Namun, ini tidak berarti bahwa saya harus konform terhadap realitas sosial yang ada. Dosen saya mengatakan, kunci dari segala perbuhan adalah ketika masyarakat meminta adanya perubahan itu. Jadi tidak boleh berhenti untuk meminta adanya perubahan. Tapi juga dalam waktu yang sama, kita harus ikut menjadi agen perubahan.
0 comments:
Post a Comment