Saman adalah karya pertama Ayu Utami yang saya baca. Sebelumnya saya sudah mengenal Ayu Utami dan saya juga cukup sering mengikuti kegiatan beliau di teater Utan Kayu dan Komunitas Salihara, walaupun hanya melalui internet.
First impression saya terhadap buku ini adalah sangat genius dan beautifully messy. Buku ini mendobrak hampir semua sisi proses menulis, baik dari segi plot, narasi dan tema. Hampir tidak ada satu sisi pun yang konvensional dari buku ini. Menurut ini adalah sebuah terobosan. Ketika biasanya kita membaca buku yang sangat linear dan diceritakan oleh satu pencerita (narrator) saja, disini kita mendapatkan gaya bercerita yang sangat acak dan memiliki pencerita yang banyak.
Pertama, dari sisi plot. Cerita bermula di masa kini. Namun sepanjang buku, cerita bolak balik dari masa kini ke masa lalu dan kembali ke masa kini lagi. Ini bukan metode yang baru. Penulis lain sudah pernah menerapkan metode ini. Selain Ayu Utama, karya penulis lain yang pernah saya baca menggunkan metode penulisan seperti ini adalah Elif Shafak dengan karyanya seperti The Forty Rules of Love, Honour dan the Bastard of Istanbul. Saya sangat merekomendasi kalian untuk membaca karya-karya Elif Shafak!
Kedua, sis pencerita (narrator). Keseluruhan isi cerita berasal dari banyak sumber dengan metode penyampaian yang berbeda-beda. Sumber pertama ada Laila yang membuka cerita di awal buku dengan setting di Central Park, New York. Lalu cerita dilanjutkan oleh orang ketiga, namun diselingi oleh alam bawah sadar Laila yang muncul tiba-tiba memotong cerita si orang ketiga. Terakhir, ada korespondensi antara Saman dan Yasmin.
Dengan metode bercerita seperti ini, pembaca akhirnya menjadi spektator yang aktif. Dari pada menikmati cerita saja, pembaca juga berkesempatan untuk berperan aktif dalam menyambungkan cerita yang sangat acak adut. Seperti kegiatan detektif yang seru. Connect the dot.
Ketiga, tema. Buku ini tidak memiliki tema tunggal. Melainkan banyak tema atau didalam teori sastra sering disebut sebagai metanarrative. Adapun beberapa tema yang diangkat seperti:
- Cinta terlarang antara Laila dan Sihar, serta Saman dan Laila.
- Penindasan kaum termarginalkan seperti Upi gadis yang mengindap gangguan jiwa dan orang-orang Prabumulih yang di tindas oleh pemerintah dan pengusaha pertanian.
- Nilai-nilai moral Barat versus Timur. Laila dan tokoh-tokoh lain didalam buku ini selalu mempertanyakan esensi dari moralitas yang notabene adalah konstruksi sosial.
- Seksualitas, terutama antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana nilai moral merugikan dan mengutuk perempuan sebagai kambing hitam dalam setiap perkara seks. Padahal laki-laki juga ikut andil didalamnya.
- Hak Asasi Manusia. Didalam buku ini, tokoh Saman memperjuangkan hak orang-orang Prabumulih yang tertindas. Namun pada akhirnya rezim yang ada juga meng-opresi hak asasi dia. Pada akhirnya ia harus berlari ke Amerika.
- Spritualisme. Tokoh Saman pada awalnya adalah seorang pastur. Namun karena keterlibatannya dengan pihak otoritas dalam membantu orang yang tertindas akhirnya dikeluarkan oleh pihak gereja. Setelah menyaksikan penindasan terhadap orang-orang di Prabumulih, Saman akhirnya mengalami krisis eksistensialisme. Dia mempertanyakan keberadaan tuhan yang tidak hadir dalam membantu orang yang tertindas.
- Perlu diketahui, Ayu Utami menciptakan sebuah terobosan berpikir yang dia sebut spriritualisme kritis. Pemikiran ini juga ia sematkan dalam buku-bukunya. Saman ini adalah salah satu karya sastra dengan tema spritualisme kritis.
Terakhir, setting. Cerita ini tidak ber-setting tunggal. Melainkan, cerita ini bertemapat dibanyak lokasi. Pertama, ada New York dimana Laila berjanji bertemu dengan Sihar. Lalu ada lokasi tambang minyak di Laut Cina Selatan. Terkahir ada Prabumilih, Sumatera Selatan. Ada juga lokasi-lokasi yang tidak terlalu signifikan seperti Medan dan Jakarta.
Sekilas membaca buku ini mengingatkan saya pada karya-karya Jeannette Winterson seperti Sexing the Cherry dan Oranges are Not the Only Fruit. Terutama karena buku ini mengangkat elemen-element dongeng dan biblical story. Yang membedakan, dalam novel Saman ini ada unsur khas Indonesia seperti mistis dan pewayangan.
Secara keseluruhan, membaca Saman adalah sebuah kegitan gimnastik intelektual yang sangat asik. Sebagai pembaca, kita tidak pernah tau kemana cerita akan berujung. Bahkan kita tidak pernah tau gerangan siapa yang akan bercerita. Yang paling menarik, keseluruhan isi cerita tidak linear. Sehingga pembaca harus aktif berpartisipasi dalam menyambungkan benang merah cerita. Dengan begitu pembaca bukan spektator pasif, melain spektator aktif.
0 comments:
Post a Comment