Senja di Djakarta oleh Mochtar Lubis



Pas baca bagian awal, saya pikir buku ini masih di tulis dengan ejaan lama, belum menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Ternyata setelah cek informasi buku, kemungkinan besar, tanpa sadar, saya telah membaca Senja Di Djakarta versi bahasa Melayu. Agak kesulitan awalnya. Tapi bahasa yang digunakan mirip seperti cara bertutur orang-orang di Sumatera. Jadi walaupun ada kata-kata dan ejaan yang saya anggap aneh, masih bisa ditebak artinya. Beberapa kata-kata dan ejaan yang digunakan dalam buku ini seperti: Ugama, Wang, Khabar, Kerana, Masaalah, Oplaag (saya tidak paham apa artinya), Fonds, Komunisma (e?), Kapitalisma (e?) dll.


Dari segi alur cerita (plot) juga menarik. Buku ini terdiri dari sembilan bab yang di awali oleh Mulan Mei hingga Januari. Masing-masing bab berkisah tentang tokoh-tokoh dengan latar belakang yang berbeda, sebagai representasi masyarakat di Jakarta. Ada kelompok elit partai, pegawai negeri dan juga kaum terdidik. Sebaliknya, ada kelompok bawah yang berprofesi sebagai pemulung, sopir delman, dan pelacur. Masing-masing bab di akhiri dengan “Lapuran Kota” atau berita reportase yang terjadi dalam bulan itu. Biasanya mengenai kalangan bawah atapun tindakan kriminal.

Tema buku ini juga tidak kalah menarik. Buku ini berlatar di masa-masa awal Indonesia merdeka di era kepemimpinan Sukarno. Buku ini banyak berdialog tentang sistem pemerintahan apa yang layak untuk membangun Indonesia. Menariknya dialog ini terjadi dalam sebuah klub diskusi bulanan diantara kaum elit terdidik. Ada yang merasa bahwa komunisme adalah sistem yang paling cocok untuk Indonesia yang baru saja merdeka dari imperialisme dan kapitalisme. Tetapi tokoh lain menolak, karena negara-negara komunisme yang ada menjunjung tinggi asas otoriterianisme. Ada juga karakter yang beranggapan bahwa Indonesia harusnya menjadi negara yang berasas Islam, karena populasinya mayoritas muslim. Kaum terdidik ini mendapat keritikan pedas dalam buku ini karena hanya menghabiskan waktu menganalisa tanpa bertindak.

Selain menampilkan sebuah diskursi tentang sistem pemerintahan yang layak untuk Indonesia, buku ini juga menggambarkan praktik-partik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masif dikalangan elit. Disatu sisi kondisi dalam negeri sedang kacau karena persediaan beras, garam dan minyak tanah sedang turun. Disisi lain digambarkan kaum elit memperkaya diri sendiri. Didalam situasi ini, partai komunis memanfaatkan momentum untuk mengumpulkan masa. Akhirnya, terjadi aksi dimana rakyat kecil menuntut haknya, tapi tidak dengan cara yang benar. Bukannya menuntut pemerintah, mereka malah menjarah toko-toko. Asumsi saya, karena partai komunis mempropaganda mereka dengan mangatakan bahwa pedagang adalah kaum proletar yang juga adalah akar masalah.

Ada banyak sekali toko-tokoh dalam buku ini. Semua dengan kompleksitas masing-masing. Hampir semua tokoh tidak ada yang sempurna, bagian yang paling saya sukai dari buku ini, karena menjukkan sisi kemanusiaan di para tokoh. Tokoh-tokoh elit tidak seutuhnya digambarkan sebagai tokoh jahat (villain), begitu juga dengan tokoh-tokoh dari kalangan kecil juga tidak digambarkan sebagai malaikat. Mereka memiliki kekurangannya masing-masing. Tapi tentu, kalangan elit digambarkan lebih jahat. 

Tokoh-tokoh elit: 
  • Raden Kaslan: Salah satu anggoa partai yang melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
  • Suryono: Anak Raden Kaslan yang baru kembali ke Indonesia setelah dinas di Kedutaan Besar Indonesian di New York. Suryono memiliki hubungan terlarang dengan Fatima, istri muda ayahnya.
  • Halim: wartawan yang menggunakan korannya untuk mendukung eksitensi partai. Tokoh Halim digambarkan sebagai tokoh oportunis yang sebenarnya menolong partai hanya untuk mendapatkan uang saja. 
  • Ada beberapa tokoh lain seperti petinggi partai partai, namun mereka hanya berfungsi untuk menggambarkan kerusakan moral dikalangan petinggi negeri saat itu.
Tokoh intelektual: 
  • Pranoto: bertindak seperti ketua dari klub perkempulan para intelektual muda. Memiliki hubungan dengan seorang wanita Amerika. Namun, cinta mereka tidak bisa dilangsungkan karena dinamika dalam negeri saat itu sangat anti-asing. 
  • Ahmad: memiliki ideologi kiri (komunis) dan menginginkan Indonesia untuk menjadi negara komunis. Diakhir cerita Ahmad menjadi provokator agar orang-orang kecil bertindak anarkis terhadap kaum proliter, termasuk pengusaha kelongtong. 
  • Yasrin: Awalnya berpandangan liberal, tetapi di akhir cerita menjadi pengikut partai komunis. Dia seorang penulis yang awalnya bekerja dengan Pranoto dengan upah sangat kecil. Setelah menjadi anggota partai komunis, dia menjadi redaktur majalah rakyat dan digaji 1000 rupiah. 
  • Nurhalim: Anggota klub yang memiliki pandangan islamis dan menginginkan Indonesia menjadi negara Islam. 
  • Ies: Satu-satunya tokoh peremuan dalam klub ini. Dia tidak memiliki pandangan idelogis yang jelas. Tetapi sepanjang cerita dia konsisten menginginkan yang terbaik untuk kaum bawah. 
  • Suryono: Liberal, pencinta hal-hal yang berbau Barat. Dia juga mengaku menganut eksistensialist. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya masing-masing. Tapi, dia tidak punya pendirian kuat dan tidak terlalu perduli dengan sekitar. Dia hanya memikirkan diri sendiri saja. Cukup hedonis juga, gaya hidupnya. 
Kaum bawahan: 
  • Item: Datang dari kampung mengadung nasip di Jakarta jadi pemulung. Sering kelaparan dan ngutang di warung 
  • Saimun: Teman Item yang memiliki nasib yang sama. Hanya saja Saimun lebih optimis dalam hidup. Dia juga lebih gigih bekerja dan memperbaiki hidup. Keduanya buta huruf. tapi cuma Saimun yang betekad untuk belajar membaca. Item sudah pasrah. 
  • Neneng: Awalnya tinggal di pondok yang sama dengan Item dan Saimun, tapi akhirnya jadi pelacur. Diakhir cerita dia ditangkap polisi, tapi ditangguhkan oleh Saimun.
  • Ada tokoh-tokoh lain seperti supir delman dan keluarganya juga dengan nasib yang sama. Fungsinya dalam novel ini untuk menggambarkan kontras antar ketiga kelompok. 

Sisi lain yang saya sukai dari buku ini, nilai rupiah masih tinggi :D. Harga mobil masing 500 rupiah. Harga rumah masih 1000 rupiah. Sudahkah waktunya kita meredenominasi rupiah?

Secara keseluruhan, buku ini sangat bagus dan saya merekomendasikan semua orang diatas 18 tahun untuk membaca!

Get it on Apple Books

0 comments: