Dilema di “PEMILU” yang Pertama

Koleksi Pribadi


“Tak perlu kuliah politik untuk mengerti politik,”
 Mungkin itu kata yang tepat untuk memotivasi semua kalangan agar mau ikut memperhatikan perpolitikan dalam negeri.

Minggu lalu, tepatnya tanggal 9 April (atau untuk mereka yang berada di luar Indonesia telah memilih seminggu lebih awal dari jadwal yang ditentukan di tanah air) adalah hari besar yang menentukan masa depan Indonesia untuk lima tahun kedepan. Pasalnya, masayarakat Indonesia, sebagai masayarakatan yang berada di Negara yang demokrasi, telah memilih wakil mereka. Wakil yang akan menentukan masa depan bangsa untuk periode lima tahun kedepan. 

Merekalah yang akan menjadi nahkoda dan awak kapal. Akankah kita sebagai penumpang bisa selamat selama mereka menjadi awak kapal. Ataukah mereka akan membenturkan kapal ini kegunung es sehingga collapse seperti kapal Titanic ? Untuk itu, saat-saat kemarinlah waktu yang tepat untuk kita, masyarakat Indonesia, memilih awak kapal yang benar-benar mampu melayarkan kapal yang berlabel Indonesia ini. Sebagai masayarkat yang punya destinasi wisata, tentu kita tak ingin kapal yang kita tumpangi hanya diam di tempat. Kita butuh nahkoda dan awak kapal yang bisa me-fungsikan mesin kapal agar mampu berlayar jauh. 
Kalau mereka, yang sudah di lantik menjadi awak kapal dan nahkoda yang terhormat, hanya bisa berlagak hebat dan sewenang-wenangdengan seragam mereka, tentu sangat disayangkan. Dipilih dengan sepenuh hati namun hanya bisa berfoto selfie bersama seragam kebanggaannya? Mending ke laut saja!

Mungkin semua warga Negara Indonesia sudah sadar tentang hal ini. Tentang harus memilih orang yang tepat karena ini menentukan masa depan lima tahun ke depan. Permasalahannya, darimanakah kita bisa mengetahui kalau si A atau si B adalah orang tepat. Ada yang menyarankan baca “Track Record” si calon tersebut. Tentu saran ini adalah saran yang tepat. Namun, bisakah kita mempercayai data-data yang di unggah di internet? Siapa tahu saja mereka telah membumbuinya dengan bermacam rempah-rempah yang bisa melezatkan muka mereka. Indonesia kan penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. 

Ada juga yang menyarankan “sering-sering baca berita.” Siapa yang bisa memastikan kalau media-media di Indonesia adalah media yang terpercaya, akurat dan factual ? Siapa ? Apalagi kebanyakan dapur media itu adalah milik restoran para calon-calon itu. Mereka bisa saja menaburkan bumbu-bumbu penyedap tadi atau bahkan meneteskan racun yang bisa mengelabui kita, sebagai masyarakat awam. Lalu siapakah yang bisa di percaya?

Ada lagi yang menjadi penggemar berat suatu partai yang rela memenuhi timeline social media nya dengan mempromosikan partai kesayangannya itu. Bahkan tak segan-segan ia mengirimi pesan dengan pendekatan yang super manis. Memaparkan calon-calon wakil partainya. Menyebutkan kalau partai yang mereka agungkan itu adalah partai dengan banyak ilmu-an berkumpul ? Lalu apa? Saya tak perduli apapun tentang mereka! Yang kami perduli adalah bukti. Apa yang telah ia lakukan untuk Indonesia? Kami muak dengan janji dan kata-kata manis. Kami butuh masakan dari restoran yang tak enak sekalipun tapi telah melakukan semua cara untuk membuat suatu masakan istimewa! Bukan hanya memperindah muka!

Setelah melakukan research dan dibodohi oleh media setiap hari saya menjadi berfikir dua kali untuk menggunakan hak pilih. Ada yang bilang “tak memilih, berarti tak ikut dalam melakukan perubahan, sama aja membiarkan Indonesia jatuh ke lubang yang sama." Lalu apa? Saya harus memilih orang yang salah? Terus nanti kapal ini akan jatuh atau hanya diam di tempat? Tak bisakah saya menjadi penumpang kapal yang tak perduli dengan keadaan kapal yang collapse ataupun tak jalan sekalipun?

Bukan tak perduli. Aku hanya muak! Setiap kali naik kekabin atau atas kapal, melihat awak kapal yang berseragam sok manis itu, aku mabuk laut dan muntah berkali-kali. Aku lebih memilih berada di kamarku yang nyaman, bermain dengan gadgetku, dari pada muntahanku mencemari laut. 

Untuk kalian media-media, tak adakah satupun dari kalian yang punya harga diri? Tak bisakah kalian mengangkat nama yang benar-benar bekerja dan memburukkan mereka yang benar-benar buruk. Jadilah journalist yang “merdeka,” jangan mau diperbudak oleh politik. Apalagi uang! 

Walaupun telah mempertimbangkan banyak hal yang hasilnya adalah "putih," akhirnya akupun bertekan untuk memberi hak suara. Karena berada di LN, kartu pilih kami dikirim melalui pos oleh pihak KBRI. Ntahlah ini pilihan hati atau hanya karena tak ingin melewatkan momen pertamaku "memberikan pilihan" yang jelas aku telah menjatuhkan pilihan bukan abstain alias golput. 

Untuk siapapun yang mendapatkan kekuasaan, jaga dan laksanakanlah tugasmu. Ingat kami adalah saksimu. Kau abaikan tugasmu? Kau yang akan menanggung di akhirat! Kami yang akan menjadi saksi dimahkamah sak khalik!


*Edisi Pemilu Caleg April 2014





0 comments: