Stop Budaya Senior-Junior!



taken from annisaavianti.wordpress.com

Permasalahan terberat yang ada dalam diriku adalah tak bisa menerima peraturan tanpa diimbangi contoh! Dulu waktu aku mondok, sebagai anak baru aku sering clash dengan pengurus setiap bagian. Sering dengan bagian bahasa, pernah juga dengan bagian kesenian. Alasannya sama, setiap kali mereka hendak menghukup, aku pasti berargumen, "akhi-akhi kenapa gak berbahasa arab atau inggris?" dan ujung-unjungnya aku yang dimarahi, "kamu jangan lihat mereka. Mereka itu senior jadi terserah mereka."

Aku masih bingung apakah permasalahan ada didalam diriku atau lingkungan ku yang memang bermasalah. Anak yang masih lugu seperti aku di waktu itu (red: masih SMP,) cenderung untuk berbicara apa adanya. Itu murni sebuah keinginan hati. Adhari masa kecil telah melihat bahwa hal yang seperti itu adalah masalah yang sudah mengakar di nadi masyarakat kita. Tak cukup merasa gelisah ia berontak, dan hasil berontakannya ditanggapi seperti itu oleh orang yang lebih dewasa darinya. Padahal aku cukup respek dengan mereka, karena mereka memang idola disana karena prestasi-pretasi yang telah mereka raih. Mungkin mereka juga korban masa innocent yang tidak ditanggapi dengan serius.

Di bagian kesenianpun sama. Awalnya aku memang sudah dekat dengan si akhi itu. Selain pengurus bagian kesenian dia juga aktif di Pramuka. Jadi aku semakit dekat dengannya. Merasa sudah dekat, aku ajak saja ia untuk becanda walaupun ditengah tugas. Waktu itu ia ditugaskan untuk memeriksa lemari kalau-kalau ada yang salah menyalurkan bakat. Padahal lemari kan bersifat inherited. Siapa tau aja itu coretan bukan siswa baru yang nyoret. Apalagi lemari itu tidak di cat setiap tahunnya. jadi aku nggak terima kalau harus menerima hukuman berupa membayar setiap garis dengan rupiah (yang entah berapa persisnya aku sudah lupa.)

Kali ini aku bukan protes malah langsung dengan becandaan tingkat cabe rawit (pedassss). Ditengah jam belajar, setiap malam kami wajib untuk belajar bersama di lorong asrama di lanatai kramik tanpa karpet. Kalau mau harus bawa tikar sendiri, tiba-tiba suatu kata loncat bagai kodok
dari mulutku yang ngatai "hai, akhi korupsi." nyessss.. pas lihat ekspresinya aku jadi menggigil. Alhasil aku dilarikan kesalah satu kamar yang kosong (karena penghuninya sedang belajar dilorong asrama.) Dia menarik kerah bajuku dan menghardikku dengan pertanyaan yang entah apa. Aku terlalu takut untuk menyimpannya dimemoriku. Korupsi karena ia telah merenggut uang jajanku untuk hal yang aku tidak perbuat.

Entahlah ini sebuah kecerobohan apakah suara hati yang membludak sehingga ia dapat sewaktu-waktu tanpa diundang loncat kepermukaan. Aku akui aku memang sedikit ceroboh dalam bertindak. Tapi sisi baik dari sifat ceroboh adalah, ia tak segan untuk mengungkanpkan apa yang menurutnya tak benar.

Sistem menuakan diri di Indonesia adalah tantangan yang paling crucial. Adhari kecil yang masih lugu sudah terlebih dulu bertindak sebelum akhirnya menyadari "tujuan suci" dari tindakan itu. Mungkin ia memiliki kekuatan lain yang secara "unconscious" bisa hadir di jiwa anak kecil tanpa disadari.

Kini permasalahan itu hadir lagi kepikiranku. Aku semakin geram dengan istilah "junior-senior" yang marak di Tanah Air. Tujuannya hanyalah balas dendam. Dendam karena dulu ketika ia mengenyam label junior di perlakukan dengan tibak bijak dan kini ia melimpahkan
semua kekesalan ke si korban baru yang berlabel junior. Tidakkah mereka bisa berbaur tanpa menuakan diri? Tanpa harus mengatakan (walaupun tidak verbal) "Saya yang lebih tua disini, kamu harus ikuti kata saya."

Inilah juga (mungkin) hal yang membuat kantor pemerintahan di Indonesia tidak maju-maju. Banyak talenta muda yang hadir dengan semagat membara setelah lulus dari kehidupan kampus namun diredupkan lagi oleh si senior alias mereka-mereka yang menuakan diri. Yang tua merasa
pendapatnya lah yang paling bisa dijadikan acuan sedang zaman terus berubah. Situa kadang tak terjun langsung dalam kemajuan zaman tetapi si mudalah yang harusnya datang dan mengenalkannya ke si Tua. Alih-alih mengenalkan malah dibantah. “Kamu anak kemarin sore!” Akhirnya mereka, yang baru lulus kuliah, tenggelam dalam keburukan lama. Dan diapun akhirnya sukses dijadikan sebagai agen untuk hal-hal buruk itu, yang nantinya akan dilampiaskan ke karyawan baru.

Contohnya saja, si karyawan lama hidup diera mesin tik dan karyawan baru yang ia sebut bau kencur telah mampu mengoperasikan komputer tapi masih tidak dianggap cukup kompeten karena statusnya sebagai karyawan baru. Masih adanya stereotype bahwa yang tua yang wise dan yang mudah kurang berilmu.

Budaya merupakan hal yang menjadi permasalahan utama dalam hidup. Ada budaya baik ada juga budaya buruk. Hal yang baik tapi diburukkan seperti menghormati yang tua atau menginginkan untuk dihormati sehingga keputusan hanya ada ditangannya. Yang tua ketika pembicaraannya disanggah menganggap bahwa ia telah diperlakukan secara tidak hormat, padahal apa salahnya ketika ia salah untuk dibenarkan. Dalam forum kerja, berdebat adalah hal biasa baik tua maupun muda, namun keluar dari forum simuda harus menghormati situa lagi. Itulah tindakan yang lebih baik.

Bahkan budaya seperti ini telah menjadi sebuah undang-undang verbal dimasyarkat kita,

Pasal 1. Senior tidak pernah salah
Pasal 2. kalau senior salah kembali ke pasal nomer 1.

Apakah ini sebuah budaya yang baik? Kalau ingin maju kita harus menghapus perbedaan umur dalam kegiatan pembangunan tanah air. Biarkan tua-muda berbaur dalam program kemajuan bangsa. Selagi apa yang ia ucapkan masuk akal, berikan ia tempat dan saling menghormati satu sama lain.

Say no to deskriminasi umur!

0 comments: