Tanpa Arah



Ramadhan tinggal menghitung hari tapi perasaan ini sepertinya hampar. Kemana senyum bahagiaku dulu? Dimana sorak gembira menyambut hari suci ini? Hanya ada ruang sunyi, hampa. Tidak ada kata. 

Ini adalah tahun ketigaku tak puasa bersama keluarga. Aku jadi tersadar ‘istimewanya’ puasa bersama keluarga. Aku ingat bagaimana rakusnya aku melahap semua makanan ketika berbuka. Aku juga ingat ketika ibu mengingatkan “makan yang ringan-ringan dulu, nanti setelah magrib baru makan semua,” tapi aku jarang sekali mengindahkannya. Belum lagi waktu berbuka tiba aku sudah duduk sedia didepan makanan. 

Satu hal yang aku tak akan pernah temukan lagi, momen dimana aku dan nenek harus berdebat hebat. Jiwa kekanak-kanakan ku yang labil membuatku tak menghiraukan keinginannya. Dia sering memintaku untuk membimbingnya membaca Alquran. Usia telah merenggut penglihatannya sehingga ia tak mungkin bisa melihat huruf-huruf suci itu. Pernah beberapa kali aku ia-kan keinginannya tapi benar saja aku tak sabaran. Nenek sudah kembali ke-masa kanak-kanak. Membimbingnya sama saja seperti membimbing anak kecil. Aku terlalu egois. Aku tak perduli dengan kegelisahannya di masa tua. Mungkin ketika ku tua nanti, aku akan mendapatkan perasaan itu. Perasaan dimana “amalku belum seberapa.”

Awal tahun kemarin nenek menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tak pernah membenci nenek sama sekali. Dia adalah sosok nenek idaman. Aku sering sekali membangga-banggakannya dihadapan orang lain. ‘nenek mana didunia yang mau memberi duit cucunya berkali-kali. Itu nenekku’. 

Aku sudah merantau sejak kecil. Tiap kali pulang dari perantauan, aku selalu menyempatkan untuk membeli oleh-oleh, berupa makanan, untuknya juga untuk kakekku. Mereka adalah adik-kakak yang solid. Kakek ku juga menghembuskan nafasnya sekitar tiga minggu sebelum nenek-ku. 

Seperti yang kukatakan tadi ini adalah tahun ketiga aku tidak berpuasa bersama keluarga. Kalau nanti aku dapat kesempatan untuk pulang, aku nggak tahu perasaan apa yang akan aku dapat. Mereka yang kucari sudah tiada. Jemari yang kujabat paling awal ketika pulang telah dibawa pergi oleh empunyanya. Lebaran akan menjadi lamenting day

Dulu aku pernah berdoa “tuhan, tolong jangan ambil mereka sebelum mereka melihat ku wisuda.” Namun aku menarik doa itu, setelah melihat mereka sakit-sakitan. Nenek yang tulang-tulangnya sudah kropos akibat kerja keras dimasa muda. Kakek juga merasakan kembali letih tak berperi hasil melawan para penjajah. Mungkin ini sudah waktunya.

Mereka adalah ancestor yang membanggakan. Mereka menanamkan banyak nilai hidup pada kami keturunannya. Semoga Allah menempatkanmu ditempat istimewa disana kakek-nenek. 

Edisi homesick sebelum Ramadhan.
Selamat datang Ramadhan, kau selalu menjadi momen teristimewa yang kami tunggu setiap tahunnya. Marhaban ya Ramadhan, mohon maaf lahir batin semua. Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT. (masih dua minggu lagi :D)

0 comments: