Akhir-akhir ini ia menjadi pemikir. Bukan layaknya
pilsuf tentunya. Ia sering memikirkan hal-hal yang terjadi pada dirinya, hal
yang terjadi kebetulan atau sengaja. Ia juga suka menghubung-hubungkan kejadian
itu dengan hal lain. Misalkan kenapa ia tak pergi sekolah hari ini, yang
kebetulan terjadi sebuah kecelakaan dihari yang sama, ia menganggap itu sangat
berhubungan. Menurut dia itu sangat masuk akal untuk dipercaya.
Kali ini ia berpikir tentang talentanya.
Selama ini ia merasa tak punya bakat. Berbeda dengan tiga kakak laki-lakinya
yang lain, ia tak mahir dibidang olahraga. Ia sangat tertarik dengan olahraga,
namun olahraga seolah tak membuka celah masuk untuknya. Ia sering memberanikan
diri untuk ikut berolahraga ketika temannya mengajak. Misalkan suatu hari ia
ikut main bola kaki. Alhasil ia menjadi
penghibur dadakan. Caranya bermain ampuh membuat orang sekelilingnya tertawa
terpingkal-pingkal, sekaligus marah. Karena ia tak bisa menghidar untuk tidak
menendang kaki lawannya ketika merebut bola.
Begitu juga dengan volley dan basket. Untuk
itu ia menulis dibuku catatannya besar-besar bahwa olahraga favoritnya adalah
renang dan badminton. Meskipun kemampuannya tetap dibawah rata-rata, setidaknya
ia tidak terlihat tolol di kedua olahraga itu.
Sebagai anak laki-laki masyarakat menuntutnya
untuk bisa/ahli berolahraga. Ketika itu tidak terjadi maka ia harus rela
menerima cacian, “gak bisa main bola? Gak laki lho,” atau lebih parah lagi
“cewek lu! Bencong lu!”
Lama untuknya menyadari bahwa keahliannya
adalah memasak. Tak perlu mengikuti kursus khusus memasak agar bisa memasak. Ia
terlahir bisa memasak. Setelah berpikir lama ia menyimpukan bahwa yang membuat
dirinya bisa memasak adalah keadaan. Keadaan keluarganya yang tak punya sosok
perempuan selain ibunya dan neneknya yang sudah tua. Keadaan ini memaksannya
untuk bisa memasak. Kalau tidak ia pasti akan kelaparan ketika ibunya tak
berada dirumah.
Rumahnya pun cukup menantang. Sebuah rumah
tradisional. Sangat tradisional, bahkan untuk memasakpun masih menggunakan kayu
bakar. Meskipun beberapa tahun terkahir kehidupannya lebih maju dengan
kehadiran kompor gas, yang sengaja atau terpaksa dibeli orangtuanya karena
pemerintah tak lagi membolehkan penebangan pohon. Tanpa kayu bakar, mustahil
untuk memasak.
Ia semakin senang memasak dengan kehadiran
benda ajaib itu. Tak perlu korek api. Hanyak butuh memuntar benda yang tersedia
disisi depannya api langsung menyala. Masakan kesukaan yang ia selalu masak
ialah mie instan. Jangan salah ini mie instan yang berbeda. Banyak bumbu rahasia
yang ia gunakan untuk menjadikannya special. Sebenarnya ini rahasia tapi
untukmu kawan aku akan bocorkan. Ia menambahkan ‘cinta’ didalamnya selain
bumbu-bumbu yang ada.
Ketika ia mengikuti pramuka ia mengabdikan
diri menjadi juru masak ketika teman-temannya yang lain malah menolak. Dengan
telaten ia memasak bahan-bahan sederhana sehingga terasa nikmat dilidah.
Anggota regunyapun mengakui itu. Sejak hari itu iapun dinobatkan sebagai juru
masak.
Hari inipun ketika merantau dinegeri Turki
ini, ia masih seperti itu. Keadaan memaksanya untuk memasak. Keadaan kangen
masakan tahan air memaksa memilih antara masak atau makan ekmek alias roti,
makanan pokok di Turki.
Sekali lagi ini membuktikan bahwa tuhan telah
memberikannya gift dibidang ini.
Makanan yang ia masak mampu memberikan sensasi dilidah teman-temannya. Ia
memasak untuk bekal buka puasa dan juga hari-hari.
Dalam lamunanya sore ini ia mempertanyakan
kenapa ia telat sadar bahwa ini adalah talentanya. Namun diakhir lamunannya ia
memutuskan untuk menjadikan ini hanya sebagai hobi. Ia lebih cinta menulis. Hal
yang ia janji akan menekuninya dengan baik.
0 comments:
Post a Comment