Terkadang
sumpah serapah keluar begitu saja ketika melihat para pengemis. “Dasar pemalas!
Bukannya kerja malah minta-minta.” Namun bagaimana kalau kondisi memang
memaksanya untuk melakukan hal itu?
Tadi sore ketika
keluar shalat Ashar, ada seorang ibu muda yang secara fisik terlihat baik-baik
saja. Kesimpulan awal saya mengatakan bahwa sebenarnya dia sangat mampu untuk
bekerja lebih dari sekedar meminta-minta. Dia mampu bekerja di sektor tertentu
yang lebih terhormat. Namun ketika melihat lebih jauh, saya ternyata harus
mengklarifikasi kesimpulan awal itu.
Ibu muda itu
meminta-minta sembari mengucapkan doa-doa yang saya yakin itu adalah bahasa
Arab. Dari sana saya menyimpulkan, dia bukanlah warga lokal. Kemungkinan besar
dia adalah pengungsi asal Suriah. Lalu mengapa dia meminta-minta? Bukanlah dia,
seperti yang saya katakana tadi, secara fisik sangat mampu untuk bekerja
lebih.
Dari
pengalaman pribadi saya selama di Turki, mencari kerja disini bukanlah hal yang
mudah. Terlebih apabila tidak menguasai bahasa lokal dengan fasih. Beberapa
kali saya mecoba melamar pekerjaan dan sebanyak itu pula saya harus menelan
kekecewaan. Padahal pekerjaan yang saya lamar itu adalah hal-hal yang ada
dibidang saya, yang saya yakin saya mampu mengerjakannya.
Sebut saja
contohnya menjadi guide disuatu event kota yang mengundang para
kontingen dari luar negeri. Mereka butuh guide
dan translator. Namun lagi-lagi
ketika di interview untuk pekerjaan
itu, saya gagal. Gagal karena walaupun labelnya adalah Bahasa Inggris, namun
ternyata mereka bukan mencari orang yang mahir berbahasa Inggris tapi bahasa
Turki. Kekecewaan saya bertambah ketika mengetahui bahwa teman saya yang bahasa
Inggrisnya tidak lebih baik dari bahasa Turki saya malah dipilih oleh agency itu.
Kejadian ini
menujukkan suatu benang merah yang sangat jelas bahwa tempat ini adalah rimba.
Mungkin saja ibu muda asal Suriah itu telah mencoba untuk mencari kerja namun
ditolak karena dia tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa lokal. Sedangkan
dilain sisi masalah perut adalah masalah krusial yang tak mungkin untuk
ditunda. Cara instant untuk
menaggulangi itu adalah dengan meminta-minta, meskipun itu bukanlah hal yang
baik. Dari raut wajahnya saya bisa melihat dengan jelas bahwa ia juga malu
melakukan hal itu. Namun ‘keadaan’ memaksaknya untuk melakukan hal itu.
Agama Islam
dengan jelas telah mengatur hal ini. Tidak mentolerir meminta-minta, “tangan di
atas lebih baik daripada tangan dibawah,” yang berarti memberi lebih baik dari
pada meminta-minta. Namun jika keadaan memang memaksa untuk melakukannya maka
bagi para pemberi diharapkan untuk tidak melecehkan mereka. “Beri jika kamu
ingin memberi, namun jangan rendahkan mereka dengan kata-kata hina jika kamu
tak berkenan untuk memberi.”
Sekali lagi,
ini bukan berarti bahwa meminta-minta dibolehkan, namun kita tidak pernah tahu
keadaan seseorang. Kesimpulannya, berilah kepada orang yang kamu anggap ia
layak untuk diberi, dengan ikhlas. Dan jangan memberi jika kamu rasa kamu tidak
bisa berikhlas diri dan juga hindari “sumpah serapah.”
Waktu kecil
saya sering mendengar kisah tentang seorang kakek tua peminta-minta yang
mengunjungi sebuah rumah keluarga miskin. Ia meminta makanan, namun si miskin
hanya mempunyai makanan yang ia sendiri juga membutuhkannya. Berkat kerendahan
hatinya iapun merelakan makanan itu tanpa memikirkan apa yang ia akan makan
nanti.
Singkat
cerita, setelah pengemis itu selesai makan ia meminta tikar dan ternyata itu
digunakan untuk buang hajat yang isinya adalah ‘emas.’
Moral of the story dari kisah ini adalah kita dituntut untuk
berfikir positif. Tentang apakah sipeminta adalah orang yang benar-benar
membutuhkan, serahkanlah semuanya ke yang atas. Toh kalau memang kita mampu apa
salahnya untuk sedikit berbagi.
Banyak juga
‘kabar burung’ tentang pengemis yang tiba-tiba menghilang setelah diberi, yang
orang-orang berkesimpulan bahwa itu adalah malaikat. Sebut saja itu arena
Tuhan. Kita tidak berhak menebak-nebak. Lakukanlah apa yang kita mampu selebihnya
serahkan padan-Nya.
0 comments:
Post a Comment