Selama ini hujan
adalah musuh besar ku. Aku benci hujan. Aku benci, karena ia membuat rindu
kepada ibu, rindu yang tak terlukiskan. Hujan mengajakku untuk menguraikan air
mata, kerena rindu. Itu yang aku benci.
Memoriku tentang
hujan adalah ketika aku dipangku ibu. Aku tak ingan pasti kapan momen itu
terjadi. Tapi ketika mata ku tutup, merenungkan kembali apa yang pernah terjadi
saat hujan turun, hanya ada wajah ibu. Wajah ibu ku tercinta yang kutinggalkan,
demi meraih cita-cita.
Dulu, waktu
kecil, aku masih anak manja. Anak yang setiap kali meminta harus dituruti.
Kalau tidak, maka aku akan mengeluarkan jurus andalanku, 'menangis
sejadi-jadinya.' Begitu juga ketika ibu, pada suatu waktu kebetulan harus pergi
ke satu pesta pernikahan, yang tidak mungkin atau terlalu ribet kalau harus
membawaku. Demi untuk dibawa aku menangis sejadi-jadinya. Mengingat masa kecil
itu, sungguh tidak mungkin aku bisa merantau tanpa pulang bertahun-tahun
seperti sekarang ini.
Dulu ibu sering
mengakaliku dengan uang jajang atau oleh-oleh, demi tidak ikut dengannya
menghadiri undangan. Mungkin aku adalah anak yang bandel sehingga terlalu ribet
untuk dibawa-bawa. Atau juga, mungkin aku tipe anak yang tidak bisa melihat
sesuatu. Ketika melihat satu hal yang aku suka, maka benda itu harus dibeli.
Kalau tidak, mungkin aku akan menangis ditempat umum, yang akan membuat
orangtua malu.
Sekarang giliran
aku yang meninggalkan ibu. Bukan dengan senagaja. Aku pergi, kenegeri yang
sangat jauh ini, demi satu hal. Demi menggapai cita-cita. Demi melukiskan
segaris senyum bahagia dipipi kedua orantuaku. Itu saja!
Tapi hujan, hujan
sering kali membuatku ragu. Ragu akan keputusan yang telah aku buat. Ragu kalau
aku sudah berubah. Bukan Adhari kecil lagi, yang suka menangis histeris ketika
ditinggal pergi oleh ibu. Itu karena hujan. Karena hujan, aku menjadi ragu untuk
bisa hidup berjauhan dengan ibu.
Hari ini hujan
berbeda. Setelah beberapa bulan bumi Ottoman dihantam oleh panas matahari tanpa
awan, hujan akhirnya turun. Bukan main-main. Hujan kali ini adalah hujan es.
Hampir setengah jam hujan es itu berlangsung. Tapi anehnya aku tak lagi si
cengeng yang pernuh keragu-raguan itu. Kali ini aku malah senang dengan
kehadiran hujan, yang berarti kami tak perlu berpanas-panasan didalam
apartemen.
Saat ini Turki
memang sedang dalam musim panas. Normalnya Agustus adalah puncak musim panas
namun hari ini hujan malah turun. Alhamdulillah…
ini adalah hadiah yang tak terkira. Terimakadih ya Allah, engkau sangat
maha tahu bahwa hambamu tebakar matahari musim panas disini. Untuk itu kau
hadirkan hujan sebagai penghibur. Semoga hujan hari ini bukanlah pertanda buruk
"Hujan Es," malah sebaliknya.
Bukan hanya
karena menghilangkan rasa panas, hujan kali ini juga menyadarkanku bahwa rindu
tak berarti harus melahirkan rasa ragu. Aku masih tetap merindukan orangtuaku,
ibuku. Bukan berati aku harus ragu akan keputusan yang aku pilih. Rasa rinduku
pada ibu malah sangat ampuh untuk melecutkan niat, bahwa aku harus belajar
dengan rajin. Bahwa aku harus pulang dengan sukses. Bahwa aku harus
membahagiakan mereka.
Biasanya penawar
racun yang baik adalah pemberi racun itu sendiri. Sebagai anak yang lahir dan
menghabiskan masa kecil diperkebunan, aku sering menemukan ulat. Bermacam-macam
ulat, yang jelas mereka semua membuat kulit gatal-gatal. Nah, ada satu ulat yang
aku juga tidak tahu bahasa Indonesianya, tapi kami menyebutnya sesongot, dalam bahasa Gayo. Kalau tersengat
ulat itu maka penawar yang baiknya adalah ulat itu sendiri. Pencetkan saja
sampai isi perutnya keluar dan oleskan kedaerah yang tersengat makan rasa
gatalnya akan hilang.
Begitu juga
dengan 'keraguanku' yang disebabkan oleh hujan. Kini hujanlah juga yang menjadi
penawarnya. Aku tak lagi benci hujan. Dulu aku berkilah, aku bukan benci huja.
Hanya saja hujan menghentikan jalanku, untuk
kuliah misalkan. Ku tegaskan, aku tidak benci hujan. Tetapi, alangkah
indahnya kalau hujan turun dimalam hari. Sehingga aktifitas disiang hari tidak
terganggu.
Buca [Izmir],
Thursday
04:32
Summer August 07, 2014
Summer August 07, 2014
From the house of
Mas Bisma,
I've been living
here for about 3 weeks since Eid, or maybe a month.
0 comments:
Post a Comment