Dewasa ini apakah
makna pendidikan sebenarnya? Apakah pendidikan hanyalah sebuah institusi dimana
para pemuda harapan bangsa berkumpul untuk ditempa agar menjadi pribadi yang
unggul yang nantinya akan membawa bangsa ini kepada masa depan yang lebih cerah?
Kalaulah
berbicara tentang moto, tujuan awal pendidikan, teori awal tentang keberadaan
institusi pendidikan, yang disebut sekolah itu, maka akan dengan mudah sekali
ditemukan. Cukup datangi saja sekolah-sekolah maka akan terpampang dengan jelas
apa tujuan itu, apa moto itu.
Sekilas ketika
membaca moto itu maka akan terdengar sangat suci, namun kembali lagi, ini
hanyalah sebuah teori. Teori awal tentang adanya pendidikan. Bagaimanapun
indahnya kata-kata yang terpampang ditembok setiap sekolah itu, dicat dengan
warna yang menarik, tetaplah itu masih hanya sebatas teori. Selama itu belum
diimplementasikan dikehidupan nyata maka teori itu tidak ada bedanya dengan
tokoh fiksi. Bahkan mungkin tokoh fiksi lebih nyata. Lebih mampu memotifasi
pembacanya. Karena sang penulis telah membumbui tulisannya dengan kata-kata
yang menarik, jauh dari kata membosankan, yang mungkin adalah semua kebalikan
dari moto pendidikan yang terpampang itu.
Ada apa dengan
pendidikan? Mengapa saya repot-repot menulis tentang pendidikan?
Akhir-akhir ini
saya merasa terintimidasi dengan ranking-ranking kampus. Terintimidasi oleh
fakta bahwa mereka-mereka yang lulus dari universitas top (tingkat dunia maupun
tingkat nasional) dapat dengan mudah menemukan pekerjaan. Dapat dengan mudah
melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi tanpa perlu berjuang terlalu
berat. Sedangkan mereka yang lulus dari universitas dengan nama yang redup
bagai bola lampu yang akan kehabisan nyawa, hanya bisa menarik nafas. Atau
mungkin tidak bisa menarik nafas sama sekali, karena mereka harus mengejar
ketertinggalan mereka. Menunjukan kepada si-pemberi pekerjaan, universitas
tujuan, bahwa ia juga mampu bersaing. Bahwa ia berapa diuniversitas itu hanya
karena permasalahan ekonomi.
Apakah penting
dimana bersekolah ketika keadaan ekonomi tidak dapat berkompromi?
Sebagai seorang
yang berasal dari keluarga yang berekonomi menengah saya tahu betul bagaimana
rasanya 'ketinggalan' dibidang pendidikan. Saya selalu berpikir bahwa (1)
Pertama, mereka yang berekonomi 'cukup' adalah orang-orang yang selangkah lebih
maju. Karena mereka punya fasilitas. Dengan keadaaan ekonomi mereka yang baik,
mereka bisa mencuri start dari
manusia-manusi lainnya. Hal yang orang miskin baru dapatkan disekolah, mereka
telah terlebih dahulu mendapatkannya dirumah. Lebih-lebih mereka juga punya
kesempatan untuk mengasah kemampuan dibidang lain melalui kursus-kursus, yang
keluarga miskin akan menempatankan semua itu dalam prioritas nomer kesepuluh,
atau bahkan tidak memasukkannya dalam list sama sekali.
(2) Kedua, mereka
yang tinggal dikota besar memiliki kesempatan yang sama dengan mereka yang
berekonomi cukup. Lingkungan selalu menjadi kambing hitam dari setiap
sebab-akibat. Maka lingkungan juga adalah patokan yang paling tepat dalam
permasalahan pendidikan. Lingkungan kota setidaknya lebih memiliki fasilitas
(fasilitas publik)dan informasi, yang membuat orangtua lebih sadar akan
pentingnya pendidikan, termasuk pendidikan informal tambahan. Sehingga
kesempatan untuk mengembangkan diri masih dapat terpenuhi, yang berarti kemampuan untuk bersaingnya juga lebih
mumpuni.
Sedangkan
ditempat tepencil (kampung), pendidikan bagi mereka adalah pintu ajaib. Mereka
berharap dengan status sekolah anaknya, tidak putus sekolah, mampu merubah masa
depan mereka. Namun disisi lain, mereka tidak mengetahui bahwa untuk
mendapatakan pendidikan yang baik, diperlukan fasilitas yang memadai. Yang
mereka tahu hanyalah mereka telah mendaftarkan anaknya kesekolah. Tidak peduli
apakah sekolah itu baik atau tidak.
Maka wajarlah,
ketika ujian nasional, yang mendapat angka kelulusan paling rendah adalah
mereka yang berada dipolosok negeri. Apakah adil, dengan kesenjangan yang
terjadi begitu luas, membuat soal ujian nasional yang sama rata untuk pelajar
seluruh Indonesia? Faktanya adalah kemampuan mereka yang berada di ibu kota
dengan daerah sangat berbanding terbalik. Lebih-lebih lagi bahwa fasilitas yang
disediakan oleh pemerintah juga tidak memenuhi standar. Saran saya adalah
sebelum melakukan pemerataan soal ujian nasional, alangkan baiknya pemerintah
menyelesaikan PR-nya tentang kesenjangan fasilitas pendidikan antara kota dan
desa.
Desa yang tidak
ada toko buku sama sekali tidak akan mungkin melahirkan manusia yang dapat
bersaing dengan dunia. Kecuali, ada keajaiban!
Wassalam,
Adhari
Adhari
Mahasiswa S1
Sastra Inggris, Turki
0 comments:
Post a Comment