Suatu hari saya
pernah bertanya kepada seorang yang saya anggap memiliki cara berpikir yang
lebih dewasa daripada saya. Pertanyaan saya adalah tentang momentum yang ada
dalam kehidupan manusia. Apakah manusia berputar dalam sirkel yang sama
layaknya planet-planet. Apakah gejolak batin termasuk dalam pos pemberhentian
di siklus kehidupan manusia itu, yang tak ada seorangpun yang mampu menghidar
darinya?
Lalu dia
menjawab, dia tidak tahu pasti. Yang jelas, katanya, dia juga telah melewat pos
pemberhentian itu. Dan sekarang adalah jatahku untuk berada di posisi itu.
Terkadang ketika aku sedang melamun, aku sempat berpikir bahwa setiap anak
manusia itu memiliki planetnya tersendiri, meskipun pada kenyataannya mereka
hinggap di planet yang sama, planet Bumi.
Alasanku
mengatakan hal itu adalah karena aku berpatokan dengan ide planet. Planet itu
mengitari garis yang telah ditentukan; yang menjadi jalan hidupnya. Begitu juga
manusia, mereka menjalani hidup yang telah digariskan untuk mereka. Mungkin
inilah yang disebut fate atau takdir,
hal yang selalu menjadi perdebatan didunia sastra. Apakah kehidupan manusia itu
bergantung pada takdir (Tuhan,) ataukah mereka juga memiliki hak untuk
menentukan kehidupan ini free will.
Pertanyaanku
tidak menemui titik terang, (apakah semua manusia mengalami hal itu atau
tidak.) Jelasnya, aku tidak sendiri. Ada sekumpulan manusia, bahkan banyak,
yang pernah menginjakkan kaki diposisi itu. Mengetahui hal itu, akupun sedikit
lega. Adalah kebiasaan maunisa untuk mencari posisi aman. Mereka merasa aman
ketika mereka berada didalam kelompok. Meskipun dalam hal ini tidak ada
kelompok yang terstuktur, kelompok emosional cukup mewakili. Dengan demikian si
penderita bisa merasa lebih baik tentang dirinya sendiri.
Efek dari gejolak
batin (emotional crisis) adalah
goncangan iman, dalam konteks beragama. Apakah wajar ketika iman seseorang
tergoncang? Setidaknya untuk seseorang yang terlahir didalam satu keluarga
dengan agama tertentu; yang menjadi bagian dari agama itu bukanlah pilihannya.
Ia terperangkan didalam situasi untuk menerima agama itu tanpa
mempertanyakannya, dimasa kecil. Namun ketika dewasa, ketika ia telah mengenal
dunia dengan segala kompleksinya, dia tidak punya banyak pilihan, namun
terperangkap kepada situasi yang disebut gejolak batin atau emotional crisis.
Ada dua tahap
jalan pemikiran manusia, berpikir secara innocent
ketika mereka masih kecil, yang sering disanding-sandingkan dengan
kurangnya pengetahuan dan pengalaman yang ia alami. Dan yang kedua adalah experience, pemikiran hasil dari
perjalanan(nya) ketika mengarungi kehidupan. Pemikiran innocent lebih menggunakan emosi sedangkan experience lebih kepada rasional.
Saya memiliki
momen tertentu ketika saya berlagak seperti seorang pemikir. Untuk permasalah emotional crisis ini, saya pernah membuat
kesimpuan sendiri secara sepihak. Saya menyimpulan bahwa mereka yang mengalami emotional crisis adalah akibat dari
berbenturnya fungsi kedua jalan pemikiran yang ada experience dan innocent.
Sebenarnya kombinasi kedua jalan pemikiran ini bisa menghasilkan seorang
pemikir yang handal. Namun, akibat ketidakmatangan, ketidakdewasaan, di dua
sisi, si anak manusia harus berada didalam posisi emotional
crisis.
Atau dilain
kesempatan saya pernah berkesimpulan bahwa ini adalah test mental. Ketika
seorang anak manusia telah mendapatkan kedua hal terpenting yang ia perlukan
didalam hidup, agama dan ilmu, mereka akan merasakan gejolak batin. Mereka
sedang diuji, apakah mereka akan mampu melewati balance
test atau tidak. Apakah ada dari dua sisi ini yang ingin mendominasi
keadaan; atau mereka lebih memilih untuk berkombinasi untuk menjadikan anak
manusia yang tidak hanya pintar, berilmu, tapi juga beriman. Kepintaran sering
membuat ego manusia naik keubun-ubun yang pada akhirnya membuatnya menjadi
pembangkang; yang membuatnya berkesimpuan bahwa ilmu lebih dari segalanya.
Pentingnya agama
dalam berkehidupan adalah fakta bahwa ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan
oleh human reason. Ini membuktikan bahwa
ada kekuatan yang lebih kuat, yang kepintarannya tidak sebanding dengan manusia
yaitu Tuhan maha esa. Posisi agama dalam kehidupan tidak bisa disingkirkan oleh
apapun.
Emotional crisis adalah posisi tidak aman. Ia
bisa mengarahkan manusia ke keadaan krisis-krisis lainnya seperti moral crisis
dan lain-lain. Ilmu tanpa didampingi oleh aspek agama bisa menghasilkan
kehancuran, ini mungkin terdengar cliché tapi ini benar adanya, contonya adalah
penggunaan boom dan nuclear.
Beruntunglah
mereka yang bisa keluar dari ruang emotional crisis dalam keadaan baik-baik
saja. Tak perlu nilai sempurna yang penting merata. Jangan terlalu berat kesatu
sisi.
*pemikiran yang bersifat elastis. Mungkin saja berubah tergantung sikon yang dialami penulis :D
0 comments:
Post a Comment