Sastra
adalah moda transportasi di negara maju. Hanya dengan satu kartu ajaib, anda
bisa menaiki semua jenis transportasi; bus umum, kapal penyebrangan, metro,
kereta dalam kota.
Meski
terlebel fiksi, sastra tidak sepenuhnya hayalan. Iya, nama para tokoh dibuat
sefiksi mungkin, agar tidak ada orang yang merasa dijelekkan, kalau kebetulan
tokoh tersebut mendapat peran antagonis. Apalagi sekarang ini kita punya
undang-undang nama baik.
Kalau
dilihat lebih dalam maka sastra tak kalah dari kartu ajaib itu.
Dengan
membuka halaman pertama, moda transportasi yang akan kita naiki dapat
terungkap. Apakah itu sebuah bus dengan label politik. Ataukah itu sebuah
kereta api dengan label kehidupan sosial.
Kalau
ingin memperdebatkan tentang novel sentimental, itu bahkan tidak masuk dalam
kategori sastra. Kalau ingin menghakimi sastra lihatlah apa yang dibahas oleh
para mahasiswa-mahasiswa didalam kelas, diuniversitas-universitas. Mereka tidak
akan pernah membahas novel tentang jatuh cinta dan hidup bahagia
selama-lamanya. Yang mereka baca adalah "A Tale of Two Cities" yang
didalamnya membahas tentang revolusi Prancis. Yang mereka bahas adalah
"Animal Farm," terlihat seperti buku anak-anak tapi ternyata banyak
hal yang terselubung, masih berbau politik. Yang mereka bahas adalah
"Middlemarch," berbicara tentang seorang wanita luar biasa yang
sangat jauh dari kriteria wanita yang biasanya digambarkan.
Itulah
mengapa saya sangat terkesan ketika ada suatu negara sangat menjunjung tinggi
sastra dibanding ilmu-ilmu lainnya. Bukan berarti ilmu "lain" itu
tidak penting. Sangat penting malah. Tapi untuk menuju kesana alangkah baiknya
setiap orang harus tersentuh dunia sastra.
Di abad
pertengahan "Middle Ages," tepatnya di "High Middle Ages,"
ketika universitas-universitas mulai dibuka di Eropa barat, hal yang paling
awal diajarkan adalah sastra. Sastra-sastra peninggalan Yunani. Saya yakin
bahwa ilmuan islam yang dulu tinggal di Andalusia juga mempelajari sastra
peniggalan Yunani. Buktinya mereka juga terinspirasi dengan ilmu filsafah.
Seperti Ibnu Sina, seorang tokoh filsuf islam yang sangat megah itu, ia belajar
filosofi dari Aristotle. Bahkan mereka juga menerjemahkan karya-karya ilmuan
Yunani itu kedalam bahasa Arab, yang dikemudian hari sangat bermanfaat bagi
dunia pendidikan di Eropa barat.
*ini
mungkin tidak nyambung ke isi tulisan. Tapi saya sangat penasaran, ingin tau
jawaban dari pertanyaan yang sudah nongkrong dikepala cukup lama. Kebetulan semester
ini saya dapat mata kuliah Medieval Thought and Literature, disana kami
membahas karyanya Dante "Divine Comedy." Mungkin kalian sudah sangat
akrab dengan karya ini. Yang dibahas disana adalah tentang surga, neraka dan
purgatory. Setidaknya itu adalah makna yang kita dapat secara literal. Masih
banyak makna-makna terselubung kalau dianalisis lebih dalam, karena
"Divine Comedy" ini adalah sebuah "Allegorical Poem," kata
dosen ku. Yang menjadi pertanyaan besar bagiku adalah, dalam islam,
orang-orang yang hidup masa sebelum islam hadir, dimanakah mereka ditempatkan
dialam akhirat? Atau didunia yang sangat luas ini, kalau ada satu tempat yang
terisolasi, yang menyebabkan penduduknya tidak tersentuh informasi, terutama
tentang islam dan mereka meninggal dalam keadaan tidak mengenal islam tapi
bukan karena sengaja, dimanakah ia ditempatkan? Kalau menurut agama Nasrani
mereka ditempatkan didalam Purgatory, atau ditengah-tengah. Salah satu karakter
yang ditempatkan disana adalah Virgil, seorang penyair yang hidup dimasa
dinasti Agustian; dimasa ketika kristen belum ada.
Kembali
lagi ke Sasta.
Nah,
kalau kita akrab dengan kata Liberal Arts, itu juga peninggalan dari abad
pertengahan. Bukan ilmunya tapi namanya, ilmunya juga sih. Ilmu yang dibahas
didalam pendidikan Liberal Arts, adalah, kembali lagi, sastra dan seni.
Liberal
Arts ini sangat umum di Amerika. Hampir semua community college menyediakan
department ini. Banyak mahasiswa yang ketika S1 mengambil jurusan ini. Liberal
Arts ini sangat luas. Didalamnya ada sastra, ada seni, sejarah. Atau bisa juga
lebih fokus kesalah satu abad, misalkan cuma mau mempelajari masa Renaissance.
Atau boleh juga campur-campur, misalkan English Literature and Minor History
atau Drama and Minor History dan lain-lain. Banyak kasus yang ketika S1 mereka
mengambil jurusan yang masuk dalam lingkup Liberal Arts dan ketika S2 mereka
telah menemukan jalannya masing-masing. Istilahnya Liberal Arts ini adalah
pintu awal untuk menuju pintu-pintu berikutnya. Karena disini adalah tempat dimana
semua ilmu diperkenalkan. Karena mustahil untuk mempelajari sejarah tanpa
menyebutkan ilmuan-ilmuan yang jaya dimasa itu. Mustahil menyebutkan kejayaan
ilmuan itu tanpa menyebutkan karya-karyanya. Dan kalau kedua hal ini sudah
dipresentasikan, tinggal kita yang memilih mana yang menjadi milik kita.
Dalam
kasus saya ketika bertemu dengan sastra. Saya lebih tercengang ketika menemukan
bahwa ternyata didalam setiap setiap novel hebat ada jaring laba-laba. Plotnya
sangat terbelit-belit, karena yang mereka coba untuk tampilkan didalam novel
itu adalah refleksi kehidupan. Karena ini adalah sebuah refleksi kehidupan maka
tak ada hal-hal yang simpel yang dapat kita temukan disana. Belum lagi ketika
sang penulis menyelipkan teori-teori dari para teorist terkenal didalam
novelnya. Itu bahkan membuat saya lebih tercengang lagi. Saya tidak habis pikir
bahwa manusia ini sangat pintar. Kita wajib bersyukur kepada tuhan atas
anugerahnya yang maha besar ini.
Kalau ada
yang mengatakan bahwa, "ah kalian kuliahnya sangat mudah. cuma baca novel
saja." yang mungkin mudah, tapi sangat bermanfaat. Karena yang didapat
dari kuliah jurusan sastra sangat banyat. Dalam memperlajari sastra kita akan
mendapat ilmu dibidang sejarah, komunikasi, jurnalisme, filsafat, politik dan yang
sudah pasti adalah sejarah itu sendiri.
Tapi
kalau mungkin anda sudah menememukan jalan anda sendiri, saya sarankan untuk
tetap membaca buku dan membahas sastra. Ketika kita sudah terhubung dengan
sastra maka pikiran kita akan bermanuver lebih luas. Kita tidak akan dengan
gampang mengambil suatu sumber mentah-mentah. Kita akan lebih kritis dalam
berpendapat.
Berharap
disekolah-sekolah di Indonesia, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,
sebaiknya kita mebahas novel-novel karya sastrawan Indonesia. Tidak melulu
mebahasa tentang teori dalam bahasa itu sendiri. Majas itu apa? Mereka
akan mengerti hal itu ketika dihadapkan langsung dengan contohnya. Bukan hanya
agar anak-anak Indonesia lebih mengenal budayanya, juga untuk meningkatakan
minat baca anak Indonesia.
0 comments:
Post a Comment