Apakah Budaya Alat Untuk Membodohi Masyarakat?


photo credited to http://americanstyleenglish.net






Semester ini ada mata kuliah yang menurut saya unik sekali. Mata kuliah ini seolah menjadi kaca mata bagi mata katarak ku. Penglihatan yang awalnya hilang, kini telah lahir dan hidup kembali. Nama kacamata itu 'Cultural Studies.'
Didalam mata kuliah ini kami diajarkan tentang jenis-jenis Budaya. Kelihatannya topik ini sangat sepele. Tapi, coba ingat-ingat kembali tentang kesalahan-kesalan yang sering kita lakukan, yang juga umumnya bersifat sangat sepele, namun efek yang ditimbulkan sangat besar.
Pernahkah kalian mendengar berita tentang sebuah kebakaran yang hanya disebabkan oleh secuil sisa rokok? Iya, bentuk ketidaksadaran kita sebagai masyarakat akan budaya yang kita 'secara tidak' sadar kita tekuni hampir sama dengan efek yang disebabkan oleh perokok yang tidak bertanggungjawab melemparkan sisa rokoknya ke hutan. Akibatnya satu hutan gundul, hangus dibakar api yang awalnya terasa seperti tidak punya kekuatan apa-apa.

Budaya, menurut para Budayawan bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Budaya-budaya yang kita secara 'tidak sadar' menjadi bagiannya adalah sebuah 'alat' yang dipakai para konglomerat untuk membodohi kita. Teori seperti ini dikemukakan oleh Kritikus Budaya Marxist. Mereka percaya bahwa 'base' atau hal-hal yang berkaitan dengan produksi dan jasa dan  'superstructure' atau instansi kemasayaraktan seperti sekolah, agama dan lain-lain itu sangat bersinambungan. Dengan kata lain, instansi-instansi yang berfungsi sebagai media penyebar ideologi telah dipengaruhi oleh ideologi si konglomerat oportunis tersebut. Salah satu hal yang mereka usahakan melalui instansi itu adalah bagaimana membuat para kaum miskin diam atas kemelaratannya; bagaimana agar mereka menerima kemiskinannya sebagi bentuk 'takdir' dari sang maha kuasa. Kritikus Maxist menyebut kondisi tersebut 'False Conscious,' keadaan dimana masyarakat merasa seolah mereka mengerti keadaan yang mereka alami, namun sebenarnya hal tersebut adalah bagian dari rencana kaum konglomerat atau borju. 

Awalnya saya juga shock ketika membaca semua ini. Saya tidak percaya sama sekali. Tapi ketika melihat Indonesia dan mengaplikasikan teori ini kepada realitas kehidupan Indonesia, sepertinya masuk akal. Televisi, yang juga merupakan salah satu instansi milik konglomerat atau kaum borju menjadi salah satu alat yang bisa digunakan untuk menyampaikan faham maupun pesan tertentu. Tidak masuk akal mengapa Indonesia dipenuhi oleh kaum miskin yang sangat nyaman dengan status kemiskinannya? Bahkan dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit mereka masih saja bisa menikmati siaran TV yang notabene adalah penyebab terjadinya kebodohan masal? Yang menjadi penyebab kenapa mereka diam dan tanpa reaksi terhadap kondisi ekonomi mereka yang sedang hadapi.

Untuk itu dalam hal ini saya akhirnya sediki berpihak kepada kaum elitis yang menganggap bahwa ada perbedaan besar antara Budaya Tinggi (high culture), Budaya Menengah (Middle Culture) dan Budaya Rendahan (Low Culture). Salah satu argumentasi yang digunakan para elitis untuk mempertahankan teori ini adalah kemungkinan bahwa Budaya Menengah dan Budaya Rendahan tidak memiliki konten yang dapat membuat para penikmatnya untuk berfikir kreatif. Lihat saja sinetron, adakah bagian-bagian dari sinetron hang menstimulasi penontonnya untuk berfikir lebih kreatif dan kritis? Sebaliknya, budaya atas seperti lukisan, opera, karya sastra yang canon - semua ini membutuhkan proses pemikiran yang tinggi untuk akhirnya mendapatkan seluruh pesan yang dari awal si artis ingin sampaikan. Juga, karya-karya Budaya Tinggi ini dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan rasa kritisme terhadap segala hal dalam hidup - maukah itu keputusan yang para politikus ambil maupun pilihan hidup kita. Ketika kita telah terekspos kepada Budaya Atas, tentu kita akan lebih memahawi betapa sampahnya tayangan televisi, sehingga kita akan dengan begitu saja bisa menolak untuk mengisi otak kita dengan sampah-sampah itu.

Karenanya sebagai seorang mahasiswa Sastra, saya sangat menyarankan agar kita semua mulai menjauhi diri dari sampah-sampah yang dengan sengaja dibuat oleh kaum borju - sinetron, advertisement, dan sampah-sampah lainnya. Mulailah membaca buku. Mulailah mengenalkan anak-anak kecil disekitar anda dengan budaya membaca buku. Sebanyak apapun paham kotor yang ada dalam buku, seorang pembaca akan dengan mudah bisa melakukan metode 'pick and choose' mana yang baik dan mana yang buruk.
Note:
  • Cultural Studies tidak sesimplel yang saya jelaskan di atas. Didalam mata kuliah ini kami juga belajar tentang hubungan antar 'budaya' dan 'otoritas', tentang proses globalisasi dan bagaimana globalisasi mempengaruhi budaya lokal, tentang budaya bawah dan budaya tinggi, tentang mass culture atau budaya pop. Dan lain-lain.

0 comments: